Nada untuk Nadi (1)

359 33 2
                                    

Aku dan Jepitanku

---

NADI

---


"Nadi..."

Panggilan itu membuat aku berhenti sejenak dari aktivitasku yaitu, memasukkan binder ke dalam tas. Kemudian aku berkata, "Apa Zay?"

Laki-laki yang aku panggil dengan sebutan Zay itu bernama lengkap Zayan Zuhdi. Teman satu jurusanku yang sering sekali mampir ke kelasku akhir-akhir ini.

"Mau liat Nadi, hehe. Cover lagu yuk Nad?"

"Gue nggak bisa nyanyi," ucapku seraya bangkit dari kursi dan menyampirkan tas gendongku pada bahu sebelah kiri. Ah iya, aku adalah seorang mahasiswi. Jadi tasku bukan seperti apa yang ada di bayangan kalian. Bayangkan aku memakai tas hitam berbahan kulit sintetis dan hanya berisi binder, tempat pensil, dompet dan beberapa alat make up sederhana.

"Bohong, waktu acara gathering jurusan, lo kan nyanyi bareng Thariq." Zayan mengikuti langkahku, tapi aku mencoba untuk tidak peduli. Iya, aku sedang mencoba.

Bukan tanpa alasan aku berusaha mati-matian untuk tidak peduli pada Zayan. Aku tidak ingin terperangkap seperti teman-temanku yang lain, sudah banyak berjatuhan korban akibat gombalan atau tingkah manis Zayan yang berakhir sia-sia karena Zayan adalah salah satu laki-laki paling berbahaya di jurusanku. Iya, pesonanya yang berbahaya.

Sudah beberapa orang yang berkata kalau aku adalah calon korban Zayan selanjutnya. Namun, tak seperti teman-temanku yang lain, aku lebih santai saat menghadapi Zayan. Aku meresponnya selayaknya teman biasa, tanpa ada embel-embel bahwa dia sedang berusaha mendekatiku. Aku terus menekan diriku sendiri agar tidak mempercayai Zayan sama sekali.

"Ya itu lo udah denger suara gue kan? Pas-pasan gitu."

"Pas-pasan apaan sih Nad, bagus. Gue suka."

"Ah tapi... Nggak deh Zay. Gue beneran nggak bisa," ucapku sambil mencepol rambutku menggunakan jepit gurita.

"Tapi kalau pulang bareng gue, bisa?"

Ini bukan pertama kalinya Zayan menawarkan tumpangannya untukku, dan bukan pertama kalinya pula aku mencari berbagai macam alasan untuk menolaknya. Tapi, Zayan selalu bisa mematahkan semua alasanku. Misalnya, aku beralasan mengenai kesibukkanku dia selalu berkata, "Gue tungguin sampai selesai." Jika aku berkata ingin makan bersama teman-temanku, dia bilang, "Gue yang anter ke sana." Sinting.

"Lo abis ini nggak ada matkul lagi?"

"Ada."

Aku berdecak, "Terus ngapain lo mau nganter gue pulang?"

"Matkulnya jam satu kok, sekarang kan baru mau jam sebelas."

"Oh... Tadi kelas lo jam berapa?"

"Nanti jam satu kelas pertama gue hari ini."

Aku menghentikan langkahku kemudian menatapnya heran. "Ngapain lo jam segini ke kampus kalau matkul lo jam satu? Lo mau shalat Jumat di sini?"

"Gue udah bilang, gue mau liat lo."

"Dih, gue kalau jadi lo sih mager." Aku meneruskan langkahku, dan dia masih mengikutiku. Aku menekan tombol lift lalu menunggu pintu lift terbuka.

"Kan biar bisa nganter lo pulang dulu. Gue ga tega aja kalau liat lo jalan kaki."

"Tapi kan gue emang dari dulu jalan kaki Zay," ucapku yang masih berusaha menolaknya. Kamipun masuk ke dalam lift, di dalam sana kami tidak berkomunikasi karena lift lumayan ramai.

LiNo (Lima November)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang