Di sore itu, awan mulai merapat dan menyatu dari berbagai arah. Warnanya hitam pekat, rapat menghalau cahaya matahari senja. Sudah lama sekali musim kemarau dan tak turun hujan. Mungkin hari inilah saatnya alam memuntahkan timbunan air untuk membasahi bumi yang kerontang.
Cahaya kilat bergiliran muncul di balik gumpalan awan yang terlihat mengamuk.
Suara guruh yang bergema mengikuti cahaya kilat turut menambah suasana menjadi semakin menakutkan.
Di balik suasana yang mengerikan itu, para santri malah merasa senang, karena sudah lama mereka tidak mandi dengan air bersih.Sekitar dua minggu sebelumnya, para santri harus merelakan tubuh kurusnya disiram oleh air bor yang sangat bau dan berwarna kecoklatan.
Suasana mendung sore itu memberi harapan untuk merasakan mandi air hujan. Segera para santri menyiapkan ember-ember dan menjejerkannya di bawah seng masing-masing asrama.
Polah seperti itu juga dilakukan oleh Aran, Wawan, Nardi, Madan, Ito dan Yogi. Di kamar mereka, Hanya Ito dan Aran yang bersemangat untuk menadah air hujan yang akan turun. Sementara Nardi, Wawan dan Yogi masih tidur, karena tidak puas dengan tidur siang yang singkat beberapa jam yang lalu.
Segera ember bekas cat berukuran besar dan ember hitam ukuran sedang disimpan di bawah talang air yang mencurahkan air hujan disamping kamar.
Tidak lama setelah itu, hujan pun turun. Hujan turun begitu deras menghantam bumi dan atap seng asrama, sehingga membuat suara ribut. Begitu ributnya, Aran dan Ito sampai berteriak untuk saling memanggil satu sama lain.
Angin juga begitu kencang, menghempas apa yang ada di sekitarnya. Pelepah dan daun kelapa sawit dibawa hilir mudik bergoyang karena dihantam angin.
Aran dan Ito tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja.Segera mereka mengambil peralatan mandi yang tersusun di dalam gayung dan membawanya keluar kamar. Aran dan Ito tidak keluar lewat pintu asrama, melainkan langsung melompat dari jendela kamar.
Disitulah Aran dan Ito mandi, di bawah pancuran air hujan yang jatuh deras dari talang air. Aran dan Ito seperti suku Afrika yang tidak pernah menemukan air. Rasa senang mereka luar biasa, bahkan tak ingin rasanya melepas air hujan yang jatuh begitu saja dari langit ke permukaan tanah.
Karena badan sudah menggigil dan jari tangan sudah berkerut, mereka memutuskan untuk berhenti mandi air hujan. mereka berdua kedinginan, menggigil, dan disertai gertakan gigi dan bibir yang sudah berubah menjadi biru kehitam-hitaman.
Aran dan Ito mengambil handuk yang digantung di jendela, dan mengelap serta membalutnya ke badan. Segera mereka naik lagi ke kemar lewat jendela dan berlekas untuk memasang pakaian.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Nardi, Wawan, Madan dan Yogi tidur mati.Suara berisik dan hembusan angin yang masuk ke kamar tidak sama sekali menganggu tidur mereka. Nardi tidur dengan posisi bujur kaku dengan telapak tangan bersedekap seperti mayat fir'aun. Wawan tidur dengan posisi melengkung seperti udang yang digoreng di minyak yang panas.
Madan tidur dengan tangan satu di bawah kepala yang satunya lagi di antara dua paha. Sedangkan Yogi posisi tidurnya sangatlah tampan seperti Aliando sariff sedang tidur ( WKWKWK, di puji sedikit biar makin besar kepala )
Ito membangunkan Nardi, Wawan, Madan dan Yogi dengan menggoyangkan badan mereka.
"Woi, woi, bangun!. Udah jam 5, ambek nasi lagi!".
Wawan membalikkan badannya dan meregangkan badan seperti kucing yang habis tidur panjang. Matanya masih mengantuk dan sulit membuka. "Jam berapa Tok ?", Kata Wawan dengan mata yang masih terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesantren yang Hilang (Completed✔️)
HorrorSuara guruh yang bergema mengikuti cahaya kilat turut menambah suasana menjadi semakin menakutkan. Di balik suasana yang mengerikan itu, para santri malah merasa senang, karena sudah lama mereka tidak mandi dengan air bersih. Sekitar dua minggu sebe...