SHALAT BERSAMA JIN

2.1K 82 0
                                    


     Shalat bersama jin muslim ini masih menjadi misteri baginya saat mengira makmum yang ikut shalat adalah manusia namun pada kenyataannya makmum tersebut ada jin muslim yang ikut shalat.

Awal kisahnya saat pagi-pagi buta Wawan sudah bangkit dari ranjangnya. Masih dalam keadaan setengah mengantuk, Wawan bergegas menyiapkan diri, Tentu saja mau pergi ke masjid. Dia ke masjid mau shalat Tahajud, jarak dari Asramanya Wawan ke masjid Jami memang lumayan dekat.
Cuma,Wawan harus melewati Sebuah lapangan bola gitu. Kira-kira jauhnya seratus meter.

Meskipun suasana masih gelap, Wawan tetap semangat melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak. Wawan semakin mempercepat langkahnya. Dia semakin semangat karena dari kejauhan, dia melihat banyak orang berjalan menuju masjid.

Tentu mereka mau shalat/ hanya belajar saja di, pikirnya.

Wawan memang nggak bisa melihat dengan jelas karena kondisi saat itu masih gelap. Yang pasti, dia bisa melihat banyak orang dalam bentuk siluet, berjalan berbondong-bondong menuju masjid.

Mereka terlihat seperti tergesa-gesa jumlahnya banyak. Sangat banyak. Wawan pun terkagum hal-hal seperti ini selalu membuatnya tentram. Dia nggak menyangka kalo ternyata Santri-santri di pondok pesantren ini sangat taat beribadah.

Apalagi waktu shalat tahajut. Belum pernah dia mengalami situasi seperti ini, Santri-santri dengan kompak melaksanakan secara berjamaah di masjid. Wawan sangat bersukacita. Nggak kalah cepat, Wawan pun ikut tergesa melangkahkan kakinya.

Dia sudah nggak sabar bertemu dan berkenalan dengan saudara-saudara seimannya. Dia sama sekali nggak memperdulikan dinginnya angin yang menusuk sendi-sendinya. Dia cuma ingin cepat-cepat sampai di masjid, pandangannya lebih banyak dia habiskan menatap jalanan supaya nggak terpeleset.

Musim hujan membuat tanah yang di injaknya licin. Nggak sampai semenit kemudian dia pun tiba di masjid. Wawan celingak-celinguk kesana kemari, mencari orang-orang yang tadi datang bersamanya.

Aneh, mereka nggak ada, Wawan melangkah memasuki masjid. Dia memperhatikan seluruh penjuru ruangan. Nggak ada seorang pun. Wawan bergidik. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Jelas-jelas tadi dia melihat banyak santri berbondong-bondong berjalan menuju masjid ini, Matanya nggak mungkin salah lihat.

Bulu kuduk Wawan berdiri. Dia merasakan suasana yang lain di ruangan ini. Dia masih bertanya-tanya, kemana para Santri tadi kalau bukan ke tempat ini? Dia sendiri sudah memastikan nggak ada lagi masjid selain di sini. Sesekali dia memejamkan matanya. Bibirnya komat-kamit mengucapkan lafal Al-Quran supaya dikasih perlindungan. Setelah menenangkan diri dan mengambil wudhu, Wawan kembali ke memasuki masjid.

Bangunan masjid di pesantren ini cukup besar. Tapi, sayang kurang perawatan. Wawan prihatin bagaimana mungkin masjid sebesar ini terlantar begitu saja tanpa ada yang merawat. Bahkan, debu-debu di teras pun sudah tebal.

Dia semakin percaya, orang-orang yang tadi ia lihat mungkin cuma halusinasi. Kalo memang benar masjid ini sering dipakai buat shalat berjamaah, paling tidak, tanpa disapu pun debu nggak akan setebal itu karena sering di injak orang.
Suaranya cukup lantang meskipun nggak memakai pengeras suara. Suaranya terdengar sangat merdu.,

Wawan mengerjakan shalat Tahajud. Sempat dia menengok ke belakang. Entah kenapa, dia seperti masih berharap ada orang datang menemaninya shalat. Wawan memulai shalat tahajud.

     “Allahu Akbar” Wawan berdiri di shaf paling depan sendirian sangat hening dan dingin. Karena shalat Tahajud, Wawan menyaringkan bacaan shalatnya.

Suaranya terdengar menghiasi ruangan sangat merdu, syahdu, dan penuh rindu. Sampai pada waktunya dia melafalkan ayat Al-Fatihah yang terakhir, alangkah terperanjatnya Wawan mendengar sahutan.

     “Aammiinn” Sahutan itu terdengar begitu menggema, Sangat ramai. Wawan mendengar sahutan itu begitu jelas. Begitu nyalang dan meraung. Telinga Wawan seperti disengat listrik mendengarnya. Padahal, dia sangat yakin, tadi dia sendirian.

Kalaupun ada orang yang datang, pasti terdengar suara langkah kaki memasuki masjid, tapi ini nggak. Wawan bergidik. Kakinya tiba-tiba terasa kaku. Semua konsentrasinya hilang ditelan ketakutan.
Bibirnya gemetar, matanya terpejam.

Wawan sama sekali belum pernah mendengar sahutan seramai itu. Suaranya begitu menggaung. Mungkin jumlahnya ribuan. Dia seperti sedang menjadi Imam di Masjidil Haram atau Ka’bah.

Dia merasa makmumnya seperti terhampar sejauh mata memandang. Sangat riuh, sangat ramai. Wawan masih berdiri terpaku. Nafasnya masih menderu. Dia belum melanjutkan ke bacaan berikutnya.

Dia masih shock, matanya masih kuat. Sejenak kemudian Wawan menghela napas panjang. Dia berusaha tetap berdiri kuat meskipun lututnya seperti lumpuh. Dia bertekad tetap menyelesaikan shalatnya.

Dia yakin ini pertanda baik. “Mereka” cuma ingin menjadi makmumnya, batin Wawan meraung. Mungkin karena Wawan masih terlalu muda untuk memahami peristiwa ganjil yang dialaminya. Padahal, Rasul pun dulu pernah mengalami kejadian serupa.

Setelah beberapa saat, kondisi Wawan terlihat semakin stabil. Dia tetap melanjutkan shalatnya. Dia tetap menyaringkan suaranya meskipun kali ini sudah nggak terdengar merdu.

Suaranya gemetar diserang ketakutan. begitupun di rakaat kedua, lagi-lagi sahutan itu melolong. Sangat nyaring dan riuh. Sesaat tenggorokan Wawan dibuat tercekat mendengarnya.

Wawan nggak menyangka ternyata mereka masih ada, masih mengiringi shalatnya.

Tapi, kali ini Wawan terlihat lebih siap. Bacaan yang dilafalkannya pun kembali terdengar merdu. Wawan tegar. Dia benar-benar teguh pada pendiriannya. Sampai pada tahiat akhir, Wawan menyelesaikan shalatnya.

Di sela-sela konsentrasinya yang memang sudah terpecah sejak awal, dia sempat berpikir untuk mengetahui bentuk sosok makmum yang mengiringi shalatnya. Dan, itu bisa dilakukan pada posisi salam. Dia berniat untuk membuka matanya saat menengok nanti. Dia hanya penasaran. Dia hanya ingin tahu.

Itu saja.

Lalu, saat yang ditunggu pun tiba.

      “Assalamu’alaikum warohmatulloh” ucapnya seraya memutar kepalanya ke arah kanan. Dan, ketika dia membuka matanya, jantung Wawan dibuat terperenyak melihat penampakan mereka.

Sosok-sosok itu ternyata terlihat begitu besar. Ukuran mereka sepuluh kali lipat lebih besar dari ukuran tubuh orang dewasa. Jelas saja mereka bukan manusia. Posisi duduk mereka berjajar begitu rapi dan beradab.

Semuanya berjubah putih walaupun begitu, wajah mereka terlihat sangat mengerikan. Janggut tebal menjuntai, warna kulit gelap. Mata mereka terlihat melotot dengan raut muka tajam seolah hendak menerkam.

Kulit penuh keriput kasar dengan bekas codet yang nggak beraturan menyapu wajah mereka. Wawan bergidik hebat. Dia merobohkan tubuhnya seraya menutupi mata dan kupingnya kuat-kuat.

Mulutnya kembali komat-kamit melafalkan ayat Al Quran. Wawan menangis. Tubuhnya gemetar seperti orang kesurupan. Sesaat setelah dia sadar makmum-makmumnya menghilang. Dia langsung meninggalkan masjid untuk menghubungi ustad. Dia sangat mau tahu apa makna di balik peristiwa itu.

      “Nak, mereka itu adalah jelmaan malaikat dan jin-jin muslim” terang Ustad Hamdan .

      “Sebenarnya kamu sangat beruntung bisa mengimami mereka. Tidak semua orang bisa mengalami hal yang kamu alami. Bahkan, seorang ustadz yang tersohor sekalipun.” Lanjut Ustad hamdan lagi.

     “Yang pernah mengalami kejadian ini dulu cuma Rasul. Beliau mengimami ribuan jin muslim di kerajaan mereka”. Wawan menyimaknya dengan saksama, sambil matanya berkaca-kaca. Kakekmu juga dulu pernah mengimami mereka. Tidak banyak. Hanya beberapa dari kaum mereka.

Tapi, jumlah makmum (jin muslim) kamu ribuan, nak. Sesuatu yang sangat langka, kejadian serupa yang dialami Rasul masih terulang.

Mudah-mudahan kamu mendapat berkah yang melimpah dari kejadian ini, Wawan nggak sanggup menahan tangis mendengar penuturan ayahnya. Dia mencucurkan air mata seraya bersujud mengucap syukur.

Pesantren yang Hilang (Completed✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang