The Winter

235 30 21
                                    

Suara chorong tertahan. Kemudian, ia tersenyum lebar menatap Woohyun. Sedikit tertawa, "Karena aku tidak punya nomormu."

Chorong tertawa saat mengatakan hal itu, sebab ia tidak punya motif apapun selain mencairkan suasana dan bercanda. Tapi, begitu Woohyun membalas candaannya, tawanya terhenti.

"Apakah itu semacam kode tersembunyi?"

Pipi Chorong sontak merona. Ia menunduk, mengalihkan pandangan, kemudian menunduk lagi. Bertingkah aneh dengan wajah tersipu.

Hingga kini pun setelah ia tiba di kamarnya dan merebahkan diri, memandangi langit kamarnya yang polos, wajahnya masih memanas. Ia menggembungkan kedua pipinya, mengerucutkan bibirnya. Berulang kali menepuk kedua pipinya agar pikirannya dapat teralihkan. Tapi, otaknya terus menerus memutar kejadian yang sama.

"Haish, memalukan..." gumamnya. Ia berguling dan berputar kesana-kemari. Kemudian, membenamkan wajahnya pada bantal yang dingin. Berharap suhu dingin bantalnya dapat menjalar ke wajahnya dan turut serta mendinginkan pipinya.

Nam Woohyun.

Nam Woohyun... Tidak.

Chorong buru-buru berusaha untuk berpikir lebih serius. Bukankah seharusnya ia khawatir? Kenapa kejadian sesederhana itu mudah sekali memperdayai ingatannya sehingga kejadian tidak menyenangkan hari ini jadi terdominasi?

Ia berusaha untuk kembali khawatir, sebab itu hal yang lebih normal dari memikirkan senyuman Woohyun yang meledeknya saat laki-laki itu akhirnya mengetikkan nomor telepon Chorong di ponselnya.

Tapi, ia tidak bisa.

Chorong kembali tersenyum malu begitu teringat akan ucapan Woohyun sebelum mereka berpisah di depan blok apartemennya.

"Aku akan menghubungimu," janjinya.

Mungkin niat Woohyun tidak sejauh khayalan Chorong yang konyol. Mungkin laki-laki itu hanya ingin menenangkannya dan menjanjikan rasa aman untuknya agar ia bisa tidur nyenyak. Bukan karena Woohyun begitu peduli pada Chorong. Hanya saja, dia memang baik hati.

Lagipula, Woohyun berkata begitu karena saat itu mereka tidak bertukar nomor. Ponsel Chorong telah mati karena kehabisan daya. Woohyunlah yang menyimpan nomornya. Bukankah itu sesuatu hal yang wajar diucapkan dalam situasi semacam itu?

Chorong menghela nafas panjang. Kali ini, merasa sedikit muram.

Alisnya kemudian berkerut samar. Kenapa suasana hatinya selabil itu? Ia bukan remaja yang tengah jatuh cinta, kan? Atau...?

Chorong menggelengkan kepalanya keras-keras. Memaksa kelanjutan dari pikiran anehnya itu untuk keluar dari otaknya. Sebab, jika sudah terpikirkan, tidak ada jalan keluar lain selain menyetujui. Karena hal yang sudah terpikirkan hampir selalu berpotensi mengandung pembenaran. Dan ia tidak akan membenarkan ide bahwa ia tengah jatuh cinta. Tidak, untuk sekarang ini.

Chorong kembali menghela nafas panjang.

Tapi, baru saja ia menyelamatkan diri dari imajinasi super tidak realistis, ponselnya yang tengah dicas dayanya, bergetar singkat.

Ia tidak ingin terlalu bersemangat. Namun pada kenyataannya, ia tetap menyambar ponselnya dengan antusias.

Satu pesan diterima.

Jantungnya berdebar tak karuan saat sebuah nomor yang belum disimpan dan tidak ia kenal terpampang di layar ponselnya.

Selamat malam. -Nam Woohyun.

Chorong mengulang kembali empat kata tersebut hingga kehilangan maknanya. Selamat... Malam... Nam Woohyun...

Ia melempar ponselnya dan kembali membenamkan wajah sambil menggumamkan kata acak tak bermakna. Pipinya memanas.

Reach Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang