The Rain [II]

244 33 4
                                    

Chorong baru akan membenahi buku terakhirnya ke dalam tas ketika secarik kertas terjatuh dari kolong mejanya. Kertas itu bukan miliknya, dan bisa jadi milik siapa pun yang terdaftar sebagai mahasiswa konsentrasi sastra anak di universitasnya. Chorong perlahan meraih kertas itu, memutuskan untuk mengembalikannya ke tempat semula.

Tapi, gerakan tangannya terhenti. Matanya menangkap skribel huruf yang ditulis kasar, terlihat terburu-buru.

Park Chorong, kita harus bicara.

Terdapat jeda sekian detik sebelum pikirannya rampung. Seseorang mengiriminya surat. Mengajaknya berbicara. Dan ia tahu tulisan siapa itu. Sudah seringkali ia membacanya pada catatan kecil di kertas ujiannya saat nilai kuis dibagikan.

Profesor Yeosok.

Chorong memijat pelipisnya dengan tangan kanannya sesaat. Tangan kirinya sigap meremukkan kertas tersebut hingga tak apik lagi lipatannya.

Apa yang akan ia hadapi kali ini? Ia tahu jawabannya.

Chorong memutuskan untuk menyimpan surat itu dalam tasnya. Ia menoleh beberapa kali, memastikan bahwa ia benar-benar sendirian dan menjadi mahasiswa terakhir yang keluar kelas.

Pintu kelas ia buka. Chorong berjalan lesu menuju perpustakaan. Ia berusaha mengontrol emosinya, mengabaikan surat itu, dan memutuskan untuk menjalani hari ini seperti biasanya.

Tenang, Chorong-ah... Ia tinggal berpura-pura seperti tidak pernah membaca surat itu. Yeosok tidak akan menemuinya. Tidak akan, jika ia berkeliaran saja di komplek kampus sampai malam hingga ia benar-benar sendiri.

Setibanya di perpustakaan, ia lantas memilih dua buku, lalu duduk di kursi baca paling menyudut dan paling jarang dilewati orang lain.

Chorong menghela nafas. Mulai membuka lembaran pertama buku teori sastra sambil meluruskan niat, hendak membaca sekaligus lima bab literatur anak sore ini. Jika sanggup, ia akan membaca buku kedua dan sekalian saja mengerjakan tugas sastra bandingan yang batas waktunya masih lumayan lama. Ya, ia akan produktif hari ini dan melupakan segala hal mengenai Profesor Yeosok.

"Chorong-ssi."

Bruk!!!

Mata Chorong membelalak. Ia memandangi kekacauan yang dihasilkannya karena terkejut mendengar seseorang memanggilnya, ditambah dengan lengan orang itu yang terjulur meletakkan sekaleng espresso di hadapannya secara tiba-tiba. Kedua bukunya jatuh. Terdengar debam yang cukup kencang hingga membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh dengan alis berkerut samar.

"Juisonghaeyo!" Chorong mengangkat wajah menatap Woohyun yang membungkuk padanya beberapa kali.

"Ah, Woohyun-ssi."

Bukan marah, Chorong justru menghela nafas lega. Karena beberapa alasan yang absurd dan memalukan--karena ketakutannya akan Profesor Yeosok, ia merasa lega Woohyun di sini saat ini.

"Maaf, aku tidak berniat mengagetkanmu. Sungguh."

Chorong tersenyum memandangi ekspresi Woohyun. Terlihat sungguhan merasa bersalah dan tidak enak hati.

"Tidak apa, Woohyun-ssi."

"Aku.. I-itu, pengganti traktiranmu."

Chorong melirik sekaleng espresso yang masih dingin, lalu kembali memandangi Woohyun yang super gugup.

"Aku melihatmu tadi di lorong, aku memanggilmu. Tapi, kau tidak mendengarku," Woohyun mengusap tengkuknya, "maaf, aku tahu kau sibuk."

Mereka terdiam sejenak sebelum akhirnya Woohyun menambahkan dengan cepat, "baiklah, aku pergi dulu."

Reach Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang