The Spring [III]

147 18 20
                                        

Musim salju yang membekukan perasaan mulai mencair. Sembari menapaki jalan berlandai yang sudah terbebas dari lapis salju, Chorong mengamati dedaunan yang perlahan menghijau, menyembul dari ranting-ranting pohon. Pertanda bahwa musim semi akan segera tiba.

Malam ini, usai menghabiskan waktu hampir setengah hari bersama Howon, Chorong berhasil merapikan kembali keruwetan pikirannya. Ia pulang dengan langkah ringan tanpa melirik kembali ponselnya yang masih bergeming, terjejal dalam salah satu saku di tasnya. Tidak ada yang ia khawatirkan.

Begitu tiba di lobi apartemennya, Chorong menunggu lift turun sambil tersenyum tipis mengingat kembali betapa konyol dirinya memikirkan terlalu banyak hal yang sebagian besar hanya prasangkanya sendiri. Gadis itu mengetuk pelan pelipisnya, memberi hukuman kecil untuk pikirannya yang hampir selalu melantur tak terkendali. Dalam hati bertekad, seterusnya ia akan berusaha lebih keras memprasangkai segala peristiwa dari sudut pandang positif.

Denting lift tiba-tiba berbunyi. Menandakan lift apartemen itu telah turun dan siap mengangkutnya naik. Chorong menegakkan tubuh, bersiap masuk. Namun begitu pintu lift bergeser terbuka, sekujur tubuhnya terpaku. Tak ada satu pun helai saraf atau lembar ototnya yang bekerja untuk melangkahkan kakinya. Kelopak matanya membulat bersitatap dengan seseorang yang juga tidak kalah terkejutnya, mematung di dalam lift yang masih terbuka lebar.

“W-Woohyun?” Chorong tergagap.

Tak berapa lama, Woohyun mulai dapat mengendalikan diri dan akhirnya melangkah ke luar untuk menghampiri Chorong.

“Aku kira kau sudah tidur,” Woohyun buru-buru menjelaskan, “Aku berniat menemuimu sebentar, tapi kau tidak membuka pintu.”

Chorong ternganga sejenak sebelum menjawab, “Aku tadi menemui Howon di kafe. Ada apa?”

“Oh…” Woohyun tersenyum lembut, lalu mengangkat bahu. Dia menggaruk tengkuknya dengan canggung, sementara Chorong mengerjap mendapati rona samar perlahan menyebar di kedua ujung telinga laki-laki itu. Akan tetapi, perhatian Chorong cepat teralihkan oleh pengakuan Woohyun selanjutnya yang ragu-ragu. “Sebenarnya, tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin melihatmu sebentar.”

“O-oh…”

Keduanya terdiam dalam beberapa detik yang membingungkan. Chorong menimbang satu demi satu topik yang mungkin bisa ia lontarkan dalam situasi secanggung ini. Beruntung, akhirnya Woohyun mengambil alih dengan mengajak hati-hati.

“Sebelum ke atas, ingin keluar dulu bersamaku?” Woohyun menyemat senyum tulus sambil menatap Chorong penuh harap, “Sebentar saja.”

Chorong mengangguk tanpa susah payah menyembunyikan lengkung senyum di bibir tipisnya. Ibarat salju yang dilelehkan oleh hawa musim semi, hati Chorong diluluhkan oleh uluran tangan Woohyun yang lembut meraih tangannya saat melangkah menuntun Chorong pergi.

Jemari mereka bertautan satu sama lain.

-----

Kota Seoul tak pernah sepi oleh hiruk pikuk masyarakat modern yang disibukkan oleh putaran waktu. Namun Chorong bersyukur. Di antara lautan manusia yang tak henti berpapasan dengan mereka, Woohyun tidak melerai genggaman tangan mereka satu kali pun.

Setelah keluar dari gang sempit yang dihimpit oleh perumahan penduduk, Chorong dan Woohyun berbelok menyusuri trotoar jalan yang lebar nan panjang. Pekik klakson atau bising suara manusia yang perlahan menyatu bak kepak lebah dinamis tak teratur, mewarnai langkah mereka yang hening dan damai. Woohyun belum memulai kembali pembicaraan, sementara Chorong masih asyik menikmati keramaian yang menyelimuti keduanya.

Tanpa Chorong sadari, mereka berdua telah melangkah cukup jauh hingga tiba di jembatan Sungai Han yang berhias kerlap-kerlip lampu aneka warna. Woohyun menghentikan langkahnya dan menyandarkan punggungnya pada teralis besi jembatan, tanpa melepas genggaman tangan mereka. Woohyun tersenyum tipis sambil mengetukkan jemari dari tangan satunya pada permukaan jeans yang melekat di pahanya.

Reach Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang