Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit akhirnya Vero dan Vera sudah sampai di sebuah gerobak penjual ketoprak pinggir jalan.
Wangi bumbu kacang menjadi ciri khas ketoprak pinggir jalan. Ketika Vero sudah sempurna memarkirkan motornya di dekat gerobak penjual ketoprak tersebut. Vero dan Vera menduduki kursi plastik yang memang di sediakan oleh sang penjual.
"Pak ketopraknya dua ya." Ucap Vero ketika sudah duduk sempurna di atas kursi plastik berwarna biru.
"Pedes Mas?" Tanya sang penjual.
"Yang satu pedas yang satu sedang Pak. Yang sedang gak pakai toge ya Pak." Jawab Vero.
"Gue gak suka pedas Ver." Kata Vera ketika ia mengira bahwa Vero memesankan pedas untuk dirinya.
"Yang pedas buat aku kok." Jawab Vero.
"Kok kam-." Vera sempat diam beberapa detik. "Kok lo tau kalo gue ga suka pakai toge?" Lanjut Vera.
Vero mendekati wajahnya ke Vera. Terus maju hingga berhenti ketika tepat di samping telinga Vera. "Aku tau semua tentang kamu." Lanjutnya.
Dan untuk kesekian kalinya wajah Vera dibuat memanas dan memerah karena Vero.
Menunggu lima menit akhirnya ketoprak yang di pesan sudah disajikan oleh sang penjual.
"Masnya sama Mbanya pacaran ya?" Tanya sang penjual yang terkesan biasa.
"Iya Pak." Jawab Vera.
Vero yang mendengar jawaban dari Vera merasa tak percaya dan langsung menoleh bahagia kepada Vera.
Vera menatap Vero bingung. Vero membalasnya dengan senyum.
Mereka membuka aktifitas baru yaitu memakan ketoprak. Vera memakan ketoprak miliknya dan Vero memakan ketoprak miliknya. Ketoprak disore hari memang sudah menjadi santapan setiap warga ibu kota. Tidak ada suara ketika keduanya sedang sama-sama menikmati ketoprak. Hanya sesekali Vero melirik ke arah Vera.
Dua menit berikutnya ada seorang laki-laki yang memesan ketoprak. Dengan perawakan tinggi, rambut bergaya quiff, dan berkulit putih.
Ketika Vera melihat seseorang itu, hatinya seperti kembali ditusuk oleh sejuta bambu runcing. Nafasnya terasa sesak. Jiwanya seperti tak berteman lagi dengan raganya. Otaknya kembali mengolah semua keadaan. Rasa ketopraknya kini benar-benar hambar.
Seseorang itu di kenalinya. Seseorang yang pernah menanamkan sejuta keindahan namun memanennya dengan sejuta kekecewaan. Orang itu adalah Ridho, lebih tepatnya Ridho Priatama. Vera sangat kenal sekali dengan Ridho, bukan hanya kenal tetapi sangat dekat, bukan hanya sangat dekat tetapi benar-benar sangat dekat.
Ridho menduduki salah satu kursi plastik berwarna biru yang berada di samping Vera. Vero yang melihat perubahan sikap Vera merasa kebingungan.
"Kamu sakit Ra?" Tanya Vero.
Vera menggeleng.
"Kenyang?" Tanya Vero selanjutnya.
Vera tetap menggeleng.
Ridho menoleh dan selama lima menit memperhatikan wajah Vera. Wajah yang dulu selalu membuatnya tersenyum, Wajah yang selalu menjadi alasan Ridho untuk tertawa tanpa beban.
Ridho menyadari bahwa itu benar-benar Vera. Tak sadar terukir senyum tipis di bibir Ridho.
"Vera?" Ridho membuka suara.
Vera menoleh, menoleh kaget karena Ridho masih mengenali dirinya.
Yang ditegur masih terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vero & Vera
Roman pour Adolescents- Hal yang paling bahagia adalah ketika saya menjadi seseorang yang bisa membuatmu tertawa lepas tanpa ada beban - Vero Fariz Pratama - aku akan menunggu saat itu dimana kamu dan aku menjadi kita tanpa ada kata dia - Vera Khanza Wijaya