• 13 - Harusnya aku tolak.

43 2 2
                                    

Sejuk sekali udara Sekolah kali ini, daun-daun pohon bebas menari dengan angin. Rumput-rumput bergoyang searah. Tapi langitnya gelap, seperti biasa setiap mulai memasuki pukul dua sore, langit mulai gelap dan akan segera menjemput hujan yang siap turun.

Vera masih berdiri di depan balkon kelasnya. Sedang menatap lurus kearah lapangan yang membentang luas di depan matanya, ada beberapa anak yang sedang mengobrol di pinggir lapangan, ada juga yang sedang bermain basket, dan satu lagi selalu ada, Pak Asep yang sedang menyapu daun-daun yang berjatuhan akibat angin.

"Hey, mikirin apa sih?" Tiba-tiba saja ada tangan yang mengacak rambutnya dari belakang.

Vera menoleh kaget.

"Vero, kirain siapa." Kata Vera sambil tersenyum manis.

"Kiarin siapa emang?" Tanya balik Vero nadanya tidak serius.

"Pak Santo." Jawab Vera meledek.

"Tuh kan Pak Santo lagi." Jawab Vero tidak semangat.

"Emang kenapa? Dari pada Bu Mega." Jawab Vera meledek.

"Nakal ya sekarang hm?" Ucap Vero sambil menggelitik pinggang Vera.

"Ishh geli dih." Kata Vera menghindar sambil tertawa menahan geli yang dirasakan.

"Biarin." Kata Vero.

Aduan menggelitik diantara keduanya terus berlangsung sampai saat Vera menabrak bahu Pak Santo dan berhasil mendapat tatapan tajam dari pak santo.

"Ma—maaf Pak." Ucap Vera gelagapan.

"Nama kamu siapa?" Ucap Pak santo sambil membuka buku catatan kasus-nya.

"Zahra Pak." Teriak Vero yang berjarak dua meter dari jarak Vera dan Pak Santo.

Pak Santo segera menulis nama yang didengarnya di dalam buku kasus.

Kemudian setelah mencatat-nya Pak Santo memberikan tatapan tajam sebelum akhirnya beranjak dan pergi.

"Kok Zahra sih?" Tanya Vera bingung sekaligus kesal.

"Emang mau namanya di catet?" Tanya Vero yang kemudian mensejajarkan wajahnya dengan wajah Vera yang padahal jaraknya tidak jauh.

"Yeu panjul." Ucap Vera lalu satu jitakan berhasil mendarat di jidat Vero.

"Adduuuhhh sakittt." Kata Vero meringis sambil memegang jidatnya yang sebenarnya tidak terlalu sakit.

"Kasian banget sih." Ucap Vera meledek.

"Raaaaa." Panggil Vero merengek seperti anak TK yang minta dibelikan permen.

"Apa?" Jawab Vera.

"I love you." Kata Vero ketika Vera menoleh kearah-nya.

Vera tersenyum.

Kemudian Vero berlari kearah Vera dan merangkul bahu Vera. Vero mengajak Vera ke lapangan basket Sekolah karena sekarang sedang berlangsung pertandingan basket antara SMA Dirhanjaya dengan SMA Kebanggaan 1. Memang baru kali pertama SMA kebanggaan 1 ikut berpartisipasi dalam acara-acara yang di buat oleh SMA Dirhanjaya. Pertandingan basket kali ini tidak terlalu banyak melibatkan peserta didik SMA Dirhanjaya.

Sampai pada saat memasuki area pinggir lapangan atau lebih tepatnya tempat penonton, rangkulan Vero berganti menjadi sebuah gandengan. Seperti biasa tidak sedikit pasang mata yang melihat keduanya dengan tatapan sinis, ada juga yang melihatnya dengan senang. Contohnya seperti kelas-kelas atas yang perempuannya menatap Vera dengan sengit. Siapa yang tidak suka dengan anak Band yang 'hampir' terkenal seperti Vero.

Vera berusaha melupakan semua arti dari setiap tatapan yang dilihat-nya. Ketika melihat salah satu dari sekian banyak tatapan yang sinis kini tangannya yang di genggam oleh Vero semakin di genggam balik oleh Vera, lebih erat genggamannya karena hanya itu cara satu-satunya untuk menghilangkan rasa takutnya.

"Sini aja ya Ra." Ucap Vero ketika melihat salah dua kursi masih kosong.

Vera mengangguk.

Keduanya mendudukin kursi yang kosong itu, Vero sepertinya sangat menikmati jalan-nya pertandingan, lain hal dengan Vera yang sangat kaget dengan apa yang di lihat-nya. Ridho. Kenapa Ridho ada di sekolah-nya? Kenapa Ridho berada di sini? Bagaimana dengan sekolah-nya di Bandung? Pertanyaan tentang Ridho kembali muncul di pikiran Vera dan berhasil membuat dirinya tidak nyaman dengan keadaan yang sedang di alami-nya.

"Kamu kenapa?" Tanya Vero yang melihat ketidak nyamanan yang di alami Vera.

"Hah? Ga—gapapa." Jawab Vera gugup.

Vero mengangguk paham seolah tidak ingin lagi menanya lebih lanjut lalu memilih untuk menyaksikan kembali apa yang sejak tadi ia lihat.

***

"Hai cantik." Sapa seseorang yang sangat Vera kenali.

Vera menoleh lalu tersenyum.

"Tante sama Om ada dirumah?" Tanya Vero karena melihat kekasihnya sedang duduk menunggu di kursi teras.

"Ada di dalam, kenapa?"

"Mau bilang makasih" Ucap Vero.

"M—Makasih?" Tanya Vera bingung.

"Aku mau bilang makasih ke Tante sama Om karena sudah melahirkan seorang putri cantik seperti kamu." Ucap Vero disertai dengan senyuman manis-nya.

"Ehem, gombal."

"Om Aji." Sapa Vero kemudian meraih tangan Aji dan memberi salam.

"Tadi Vera curhat ke Om, katanya lagi pengen makan Batagor di taman kompleks." Ucap Aji menyindir Vera.

"Papah apaan sih." Ucap Vera malu.

"Pas banget dong Om." Kata Vero.

"Pas gimana Ver?" Tanya Vera.

"Om mengerti." Kata Aji. "Ajak saja Vera. Asal jangan di kasih keju ya." Lanjut Aji.

"Papah!" Kata Vera kesal.

Setelah obrolan-nya dengan Aji tadi Vero mengajak Vera ke taman kompleks. Tidak menggunakan motor apalagi mobil tetapi dengan jalan kaki. Karena taman-nya tidak jauh.

Mereka jalan sambil bergandeng tangan, seperti film romance yang ada di bioskop-bioskop. Keduanya terlihat serasi. Di tengah perjalanan, Vera baru ingat bahwa setiap malam minggu tukang batagor jarang sekali jualan. Alasannya karena tukang batagornya butuh libur dengan keluarga.

"Vera?" Tiba-tiba saja Ridho muncul dari arah depan dengan membawa sebuah kantong plastik berawarna hitam.

"Ridho?" Vera bingung. Merasa kikuk karena disisinya kini ada Vero.

"Ro." Sapa Ridho ketika melihat Vero.

"Vero." Sahut Vero yang tidak suka dengan panggilan yang diberikan oleh Ridho.

"Besok ada acara gak? Bunda mau ketemu sama kamu. Kangen katanya." Ridho langsung ke intinya.

Vera mematung. Kemudian menatap ke arah Vero.

"Gue gak ada acara." Jawab Vera. "Yaudah besok jam tiga gue kerumah lo." Lanjut gadis yang hatinya sangat dilema.

Setelah pembicaraannya selesai dengan Ridho. Vera memutuskan untuk meninggalkan Ridho lebih dulu. Menggandeng tangan Vero. Mengajaknya berjalan menjauhi Ridho. Tidak ingin ada perkara baru di hubungannya.

"Maafin aku." Ucap Vera di tengah-tengah perjalannya menuju rumah.

"Kenapa minta maaf?" Vero menatap Vera.

"Harusnya tadi aku tolak."

Vero mengacak rambut Vera. "Santai aja Ra."  

hi semuanya, apa kabar? hehe

Vero & VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang