25
Accident"Tubuh kita adalah titipan Tuhan. Tuhan mempercayakannya untuk kita jaga. Bukan dirusak sedemikian rupa. Tuhan bisa murka."
◾◽◾
"Bener, kamu nggak mau liburan?" Alfi bertanya pada anak gadisnya yang sejak libur akhir semester dimulai, lebih sering murung. Yang dilakukannya hanya tidur sepanjang hari; mengurung diri di kamar tanpa semangat melakukan apa pun. Sudah hari ketiga dan ia masih sama.
Nayya menggeleng lemah. Nasi di piringnya masih utuh, napsu makannya berkurang akhir-akhir ini.
"Sayang ... ada apa, hm?" Kali ini sang mama yang bertanya. Mereka tahu, anak gadis mereka sedang memiliki masalah. Namun bertanya berapa kali pun, Nayya tak pernah mengatakan yang sebenarnya.
Nayya menghela napas panjang. Kembali menggeleng. Tanpa menatap kedua orang tua yang mencemaskannya.
"Nggak papa kok. Cuma ada masalah sama temen. Mama sama Papa nggak perlu khawatir. Nayya baik-baik aja."
"Gimana nggak khawatir, kalau kamu murung terus, makan jarang habis, loyo begitu."
Nayya tak menjawab lagi, ia hanya tersenyum sedikit. "Umm, Pa, sepeda Nayya masih ada di gudang kan?"
"Kenapa? Mau dipake?"
Nayya mengangguk. "Nggak bakal jauh-jauh kok."
"Ya udah nanti papa suruh Pak Jajang buat ambilin. Sekarang abisin dulu makannya. Di luar sana, banyak yang tidak bisa makan. Susah payah hanya untuk mendapat sesuap nasi, kita yang serba kecukupan, jangan membuang-buang makanan...." Dan mengalirlah ceramah Alfi tiap kali Nayya susah makan. Papanya seolah tidak bosan mengingatkan hal itu.
Nayya pun mulai makan. Alfi tersenyum melihatnya. Ia hendak berkata untuk mengajak Arkan bersama, namun urung karena tahu Nayya pasti akan menolak.
Ia berdeham. "Gimana kamu sama Arkan?" tanya Alfi hati-hati.
Nayya menatap papanya, heran. "Gimana apanya? Kita baik-baik aja, kok."
Alfi mengangguk. Nayya menaruh sendok; menyudahi makannya, lantas berdiri. "Biar Nayya ambil sendiri sepedanya, kuncinya di Pak Jajang, kan?"
"Habiskan dulu sarapannya, Sayang...." Afanin menegur.
"Nayya udah kenyang, Ma...." Nayya menatap kedua orang tuanya sejenak, menghembuskan napas kemudian berbalik. "Nayya pergi dulu. Assalamu'alaikum." Lantas ia pun melenggang pergi setelah mendengar jawaban dari kedua orang tuanya.
Udara pagi Jakarta tidak sesegar di kampung mamanya. Mentari sudah naik dan menghangatkan hiruk pikuk ibu kota. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin karena banyak yang sedang berlibur atau masih tertidur, mengingat sekarang adalah libur akhir semester. Tapi gadis itu bahkan tak berminat sedikit pun untuk berlibur. Ia terus mengayuh tanpa lelah, menerpa angin beserta bayangan-bayangan yang datang menerpa wajahnya. Bayangan tentang kebersamaannya dengan Kei.
Bagaimana bisa selama ini aku tak tahu apa pun?
Nayya sampai di tempat yang biasa ia datangi saat merasa banyak pikiran. Dengan datang ke taman kanak-kanak ini, ia selalu bisa membayangkan tawa anak-anak yang baru belajar banyak hal baru, tertawa, riang, tanpa dosa, tanpa beban. Ia pun membayangkan dirinya di masa lalu. Bersama sang mama yang selalu ada di sampingnya.
Ia kemudian duduk di ayunan seperti biasa. Mengayunkannya perlahan. Pikirannya kembali berkelana pada Kei. Hal yang membuatnya murung dan tidak bersemangat untuk liburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Love (Completed)
Teen FictionSequel of The Dearest (Duhai Pendampingku) . Ainayya Dzahin Rafanda. Gadis cantik dan periang. Awalnya hidupnya baik-baik saja, hingga ia merasakan sebuah rasa yang selayaknya dialami remaja lainnya pada seseorang. Juga sebuah kenyataan hidup yang l...