33
Pain"Aku bahagia. Tapi rasa sakitku lebih besar dari bahagiaku. Rasa sakit ini tak kan bisa terlupakan ataupun tersembuhkan."
-Akbar Fahreza***
Pria kecil itu nampak rikuh; begitu khawatir melihat kondisi neneknya yang terbatuk tanpa henti dan mengeluarkan darah. Ia membantu mengusap darah di sekitar mulut, memberinya minum air hangat, lalu membaringkan sang nenek.
"Nek, istirahat ya. Adam pergi dulu," ucapnya lantas pergi tanpa menunggu balasan dari sang nenek. Ia harus membelikan obat untuk neneknya, bagaimanapun caranya.
"Adam!"
Adam yang baru saja berlari, berhenti dan berbalik menatap seorang laki-laki sebayanya.
"Kamu mau ke mana?" tanya pria itu.
"Mau beli obat buat nenek."
"Memangnya kamu punya uang?"
Adam terdiam. "Aku akan mencarinya. Tolong jaga nenek selama aku pergi."
Temannya terdiam sebentar lalu mengangguk. "Semoga kamu bisa dapat uang."
Adam mengangguk dan tersenyum lantas berlari menyusuri setiap sudut kampung. Mencari pekerjaan, apa pun itu asal ia mendapat bayaran. Di sore itu ia ke sana ke mari melakukan apa pun yang bisa ia lakukan dengan upah yang tak seberapa. Hingga petang menjelang, ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar rupiah. Ia tersenyum puas dan senang. Lalu dengan tubuh letih dan kumalnya, ia pergi ke apotik, bermaksud membeli obat untuk sang nenek.
"Maaf Dik, uangnya tidak cukup," ucap penjaga apotik menyurutkan semangat yang sempat naik di diri pria kecil itu.
"Nanti saya tambah lagi uangnya, saya mohon. Nenek saya sedang sakit," pintanya sepenuh hati.
"Maaf Dik, tidak bisa," tolak penjaga tersebut lantas meninggalkan Adam yang masih setia memohon.
Merasa tak dihiraukan, ia pun menyerah. Langit sudah gelap, tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia pergi ke tapi danau tempat ia merenung dan melampiaskan seluruh emosi. Sedih, kecewa, dan marah. Ia marah pada kehidupan. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa apa-apa. Lalu ia menangis, teringat sang ibu yang lebih dahulu meninggalkannya.
"Bu, Adam mau ikut ibu saja," ucapnya terisak di tepi danau. Pikirnya, mati mungkin akan lebih baik.
Saat sedang tenggelam dalam perasaan sedih dan pemikiran dangkalnya, ia mendengar suara ribut-ribut di desanya. Ia juga melihat asap yang mengepul tebal di udara. Lantas, ia pun menuju ke sumber keributan. Semakin dekat, ia sadar jika kericuhan itu berasal dari rumahnya. Ia pun berlari dan langkahnya terhenti saat matanya menangkap kobaran api yang begitu besar, menyelimuti rumah kecilnya.
Pria berusia sepuluh tahun itu mematung. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, sulit digerakkan. Lidahnya pun kelu. Hanya mata yang menatap tak percaya kobaran api dan orang-orang yang lalu-lalang sibuk memadamkan si jago merah. Namun sia-sia, karena api terlalu besar. Hingga pemadam kebakaran datang, mereka semua menyingkir.
Ia masih tak bisa berkutik, teringat sang nenek dan sahabatnya, apakah mereka masih di dalam? Ia mengedarkan pandangan dan hanya mendapati kedua orang tua sahabatnya. Tidak ada nenek atau pun Akbar, teman baiknya. Sampai api berhasil di padamkan. Warga meminta mereka masuk untuk melihat barangkali ada korban.
Adam masih berdiri di atas pijakannya. Hingga petugas pemadam keluar dari gubuk yang sudah hangus, membawa dua mayat yang sudah tak bisa dikenali. Namun ia tahu betul siapa dua orang itu. Tubuhnya luruh ke atas tanah. Dadanya berdebar hebat. Sesak tak tertahankan. Ingin berteriak tapi tak mampu. Ingin berlari tapi tak kuasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Love (Completed)
Teen FictionSequel of The Dearest (Duhai Pendampingku) . Ainayya Dzahin Rafanda. Gadis cantik dan periang. Awalnya hidupnya baik-baik saja, hingga ia merasakan sebuah rasa yang selayaknya dialami remaja lainnya pada seseorang. Juga sebuah kenyataan hidup yang l...