"Selamat malam para pendengar radio 98 FM. Ketemu lagi dengan gue, Arkano Airlangga, yang pastinya akan menceritakan gimana indahnya negara kita, Indonesia. Tapi sebelum itu, kita dengarin dulu lagu favorit gue, ya!"
Kirana tersenyum sambil mendekatkan telinga ke radio di meja belajar, ini sudah menjadi hal terpenting dalam hidupnya.
Lihat awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahuIngin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus ku jalaniBerdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabutEntahlah. Setiap mendengar suaranya dari radio, rasa rindunya terobati. Sebelum dimulai, Arkan pasti memutar lagu itu. Sudah beberapa tahun berlalu, kini lagu itu menjadi lagu jadul.
pernah bilang jika lagu itu adalah lagu istimewa. Pernah dia nyanyikan bersama Kirana tujuh tahun lalu.
"Arkan, aku rindu."
Sekarang Arkan adalah penyiar radio terkenal, seperti mimpinya waktu kecil dulu. Bunda Arum pernah memberitahu Kirana kalau sekarang Arkan juga tampan sekali. Arkan pernah datang ke panti asuhan tetapi di saat Kirana tidak berada di sana.
Flashback On
Malam yang dingin, Kirana dan Arkan masih berada di luar. Tepatnya di loteng. Kirana menemani Arkan melihat indahnya malam. Bersama radio yang sedang menyala.
"Kirana, bintangnya banyak!" Arkan begitu semangat ketika bintang-bintang itu mulai bermunculan.
"Benarkah? Pasti indah sekali."
"Iya, pasti mereka juga bahagia disana."
"Mereka siapa?"
"Kata Bunda Arum, orang yang meninggal akan menjadi bintang dan menempati langit tertinggi."
"Itu cuma dongeng, Arkan."
Arkan hanya diam dan tiba-tiba meraba tangan Kirana. "Sini aku tunjukkan bintangnya. Coba kamu bayangkan bintang itu ada di dekatmu."
Kirana mengangguk lalu mengikuti perintahnya.
Arkan mulai mengangkat tangan Kirana dan mengarahkan ke kanan. "Itu sirius. Bintang penunjuk arah barat. Dia adalah bintang yang paling terang. Zaman dulu bintang digunakan sebagai penunjuk arah. Kirana bisa menggunakannya saat tersesat."
"Sayangnya aku tidak bisa melihat," ucapnya sedikit lesu.
Ketika tersadar, Arkan jadi merasa bersalah. "Maaf."
"Aku nggak apa-apa, kok. Kamu nggak usah merasa bersalah."
Sebelum keheningan itu terjadi, Kirana langsung menyambar dengan topik lain.
"Oh iya, Arkan, kalau besar mau jadi apa?"
"Mau jadi penyiar radio."
"Kenapa?"
"Karena aku mau kamu terus mendengar suaraku. Meski nanti kita berpisah."
Mendengar kata terakhir yang di ucap Arkan rasanya Kirana belum siap. Kirana takut jika esok pagi dia tidak akan melihat Arkan. Kirana takut ada orang tua asuh yang ingin mengangkat Arkan menjadi anak angkatnya. Kirana pasti akan sendiri lagi.
"Wah, pasti Arkan bisa. Kamu kan pintar, mudah bersosialisasi, dan punya banyak teman lagi. Ngga kayak Kirana."
"Kamu juga bisa, Kirana. Tapi kamu ngga pernah mencoba berinteraksi dengan mereka. Besok kamu harus ikut aku main sama Elsa, Cia, Aldo sama teman-teman yang lain juga ya."