"Selamat pagi, Bunda," sapa Alika dengan sopan.
Perempuan paruh baya yang sedang merapihkan bunga itu membalas dengan senyuman dan membersihkan tangannya yang kotor. "Eh, Neng Geulis. Long time no see."
"Pasti mau beli bunga lagi kan?"
Gadis berkuncir kuda itu terkekeh pelan. "Iya. Dua puluh tangkai bunga matahari ya, Bun."
"Banyak pisan euy. Wait for five minutes."
Alika mengacungkan jempol dan duduk di kursi yang telah disediakan. Bunda Tiara, itu namanya. Waktu kecil, saat Alika mengunjungi tokonya, ia memanggil dengan sebutan tante. Tiara yang mendengarnya langsung mencubit pipi Alika dan berkata, "Budak geulis, dont call me aunty. Call me Bunda Tiara. Kamu teh understand?"
Tiara sudah seperti bundanya. Setiap gadis kecil itu pergi ke tokonya, Tiara pasti memberikan bunga matahari dan mengajaknya bermain di Taman seberang toko.
Alika tersenyum kecil mengingatnya.
Ia terdiam sejenak. Perlahan menarik napas lalu hembuskan. Ia menikmati udara segar di pagi hari. Ditambah dengan aroma bunga yang masih segar, membuat Alika ingin berlama-lama disini.
Ia tersenyum lalu mengambil post-it yang berada di tas kecilnya.
08 Februari 2018
Hari ini cuacanya indah dan sejuk. Kayaknya awan udah bosan menangis deh, Yah. Alika sekarang di toko bunga favorit ayah. Sesuai dengan pesanan. Alika bawa bunga matahari kesukaan ayah.
Selamat pagi, Ayah.
I love you"Neng." Mendengar panggilan itu ia mengembalikan post-it itu ke tempat semula dan bangun dari kursi.
"This is mangrupa sunflower for you."
Alika mengambil bunga itu dari tangan tiara dan mengeluarkan tiga lembar uang merah dari dompet. "Jangan ditolak lagi ya, Bun. Alika sakit hati ditolak mulu."
"Hatur nuhun, Neng. But ini teh banyak pisan." Tiara hanya mengambil selembar uang kertas merah itu dan mengembalikan dua uang kertas lainnya. "For you. Bunda teh ingat."
"Happy Brojol, Neng Geulis."
Mendengar itu, membuat mata Alika berkaca-kaca. "Makasih, Bunda," ucapnya sambil memeluk Tiara.
***
Perlahan Alika menaiki rumah rumah pohon yang dulu sengaja ayahnya buat untuk bundanya. Rumah pohon itu menjadi saksi kesetiaan ayahnya kepada bundanya, meski bundanya telah tiada.
Sesampainya di atas, Alika meletakkan sebuket bunga matahari itu di meja, tepat di depan figura. Matanya beralih menatap foto-foto yang tergantung di dinding. Ia menatap setiap foto-foto yang tergantung rapi disana.
"Selamat ulang tahun, Yah."
"Hari ini Alika bawa dua puluh bunga matahari untuk Ayah, untuk Alika dan untuk Bunda." Hari ini adalah hari kelahiran Alika, tepat saat itu juga bundanya meninggal.
Sekarang umurnya sama seperti bunga matahari yang ia bawa. Seharusnya ia merayakan bersama ayahnya. Sama-sama merayakan ulang tahun di rumah pohon seperti dulu.
Alika menengok ke belakang,"Burung kertas yang waktu itu kita buat sekarang udah selesai, Yah," ucapnya yang melihat burung kertas yang tertata rapi menjadi gantungan.
Astaga, hampir lupa!
Alika mengambil pos-it yang berada di tas kecilnya. Ia merobek selembar kertas yang tadi ia tulis dan menempelnya di papan yang kini banyak kertas-kertas kecil yang menempel disana. Alika menyebutnya sebuah papan kisah.
Semua yang ia lakukan akan ia tulis di kertas lalu ia tempelkan disana. Sudah beberapa tahun ini ia melakukan hal itu, agar ketika ayahnya tidak khawatir disana. Gadis kecilnya itu baik-baik saja hingga kini.
Namun ia kesepian.
Flashback On
Saat itu Alika hendak menuruni tangga rumah pohon dan pergi menemui ayahnya sambil membawa sebuket bunga matahari. Senyum terukir, pasti ayahnya akan menepati janji.
Ponselnya berdering. Menampilkan nama Om Dion di layarnya. Ia langsung menggeser tombol hijau.
"Halo, Om."
"Alika, cepat ke rumah sakit ya."
"Kenapa, Om?"
Tidak ada jawaban.
"Om? Ada apa?"
"Alika."
"Ayah kamu sudah tiada."
DEG!
Ponsel yang ia pegang kini terjatuh.
Ayah...
Alika berlari secepat mungkin, Ia terus melangkahkan kakinya dan sesekali terantuk, bahkan terjatuh. Air mata tidak berhenti mengalir. Ia bahkan tidak peduli ponselnya itu masih tergeletak di bawah rumah pohon.
Ia mengingat wajah bangga Ayahnya ketika membawa Alika kecil ke kantor dan memperkenalkan kepada rekan kerjanya serta karyawan. Ia juga mengingat lelaki hebat yang mengajari segala hal dengan sabar. Dan ia terus mengingat cerita yang selalu Ayahnya bacakan dengan mimik wajah lucu.
"Wah, Alika pintar. Ayah baru buat tiga, kamu udah sepuluh. Aduh..., kalah Ayah."
"Iya, kan Ayah yang ngajarin Alika," ucapnya yang masih semangat melipat kertas.
"Memangnya harapan Alika apa kalau sudah ada seribu burung kertas?"
"Alika mau Ayah terus ada di samping Alika. Alika juga mau buat istana yang besar untuk Ayah. Nanti Alika ajak temen-temen Alika tinggal disana biar ramai dan Ayah nggak kesepian."
"Ayah cuma mau kamu bawakan tujuh belas bunga matahari disaat kamu berumur tujuh belas tahun, Alika."
"Oke, Alika bawain untuk Ayah. Sesuai pesanan." Ayahnya terkekeh, mencium pipi Alika.
"TAXI," teriak Alika, namun tidak ada satupun taxi yang berhenti.
"Taxi...," lirihnya.
Ia kembali berlari tanpa tahu kelopak bunga mataharinya mulai berguguran terkena angin.
***
"Ayah...." Alika berlari menghampiri tubuh kaku ayahnya. Ia memeluk dengan erat.
"Ayah..., bangun. Dimana Ayah Alika yang kuat? Dimana Ayah Alika yang selalu tersenyum? Ayah harus bangun...."
Alika memperlihatkan sebuket bunga yang ia genggam dari tadi. "Alika bawa ini, Yah. Alika bawa bunga matahari. Tujuh belas bunga matahari untuk ulang tahun Ayah dan Alika ketika umur Alika tujuh belas tahun." Beberapa bunganya hanya tinggal tangkai. Tak terhitung berapa kelopak bunga matahari yang telah terjatuh saat ia lari tadi.
"Ayah...."
Flashback Off
Sejak hari itu, 8 Februari 2015. Ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan kisah-kisah yang akan membuat Alika rindu.
Tidak ada lagi lelaki berperut buncit yang mengantarnya ke toko bunga, tidak ada lagi yang bersusah payah menaiki tangga rumah pohon demi menggantungkan burung kertas disana dan tidak ada lagi tawa menggelegar milik ayahnya.
Tetapi, Alika senang pernah merasakan kasih sayang seorang ayah yang sekaligus menjadi ibu. Beliau adalah lelaki yang hebat. Cinta pertama Alika.
"I love you, Yah."