Tentang Kita Yang Pernah Satu

222 5 0
                                    

Srek!

Meira membuka pintu kamar mandi dengan pelan. Perlahan dan hati-hati. Menahan napasnya sejenak. Satu..., dua..., tiga detik berlalu. Ternyata masih sama. Hening, hanya terdengar suara detak jantung di layar monitor EKG. Hanya ada suara tarikan napas tanpa suara menyapa ataupun kalimat motivasi yang selalu menguatkan. Bau obat-obatan menyeruak ke dalam ruangan. Ia melangkah perlahan menuju ranjang. Ranjang yang ditempati oleh perempuan yang sedang tertidur pulas. Hingga kini matanya tidak ingin terbuka. Meira menatap nanar wajah perempuan di hadapannya.

"Ma, Meira berangkat ya." Suara Meira terdengar lirih dan serak. Ia menunduk, mengangkat tangan Sarah perempuan yang ia panggil dengan sebutan mama dan menaruh di hidungnya cukup lama. Buliran air matanya jatuh tepat di punggung tangan Sarah. Meira tidak lagi menahan air matanya. Sedih, sakit dan hancur. Itu yang Meira rasakan.

"Meira kangen Mama."

Beep....Beep...Beep

Gelombang yang terdapat di dalam monitor masih bergerak ke atas ke bawah. Artinya Sarah masih dapat mendengar apapun yang di ucap oleh gadis di sampingnya. Ia masih bisa merespon dan mendengar dengan baik semua yang ada di dunia. Meski tubuhnya kini sedang mati sementara, hatinya masih hidup di dalam sana. Sarah masih bisa merasakan ada seseorang yang masih menginginkan dirinya di dunia ini. Meira masih membutuhkannya.

***

Kring! Kring! Kring!

Suara bel istirahat berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju kantin dan ada juga yang menuju lapangan basket untuk melihat pertandingan antar sekolah. Sementara Meira menaruh kembali buku akuntansi keuangannya ke dalam tas dan berencana menuju perpustakaan untuk menyelesaikan buku yang kemarin ia baca. Sebuah buku tebal yang berisi ratusan halaman dan berjudul 'Akuntansi Perpajakan'. Iya, gadis itu memilih bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan dan mengambil jurusan Akuntansi dan Keuangan Lembaga.

"Et! Et! Et! Mau kemana? Pasti mau ke perpustakaan kan?" ucap seorang gadis yang tiba-tiba mencegat jalannya. Meira yang terkejut, memberhentikan langkahnya hati-hati.

Baru saja Meira ingin membuka mulut, gadis yang selalu membawa cermin kecil itu sudah menariknya menuju koridor. Dia sahabat Meira sejak kecil. Carmelia. Gadis keturunan Jawa yang sering dipanggil Amel. Kalau disuruh memilih cermin atau gorengan. Sudah dipastikan ia akan memilih cermin. Setiap saat gadis itu selalu memperhatikan setiap inti wajahnya. Jika ada satu gundukan merah yang akan muncul, ia akan berteriak dan heboh sendiri. Cape deh!

"Mau ngapain sih, Mel?" Amel menunjuk papan pengumunan di depannya. Ada beberapa kertas yang tertempel di papan tersebut. Namun, mata Meira tertuju pada satu kertas yang bertuliskan 'Kompetisi Piano Pelajar'. Matanya melebar ketika mengetahui salah satu jurunya adalah Joey Alexander. Pianis muda yang meraih prestasi di dunia internasional dengan mendapat dua nominasi Grammy Award di awal tahun 2016. Meskipun belum berhasil menggondol piala, pria itu telah mampu mengharumkan nama bangsa di level internasional.

"Gimana, Ra? Kamu mau ikut kompetisi ini kan?"

Meira menunduk, ia terdiam sejenak. "Nggak, Mel," ucapnya dengan nada lesu.

Sontak saja jawaban itu membuat Amel terkejut. Gadis itu tahu Meira sangat mengagumi sosok Joey Alexander. Bahkan dulu jika ada kompetisi seperti ini, Meira akan tersenyum dan sangat bersemangat untuk mendapatkan puluhan piala yang kini berada di rumahnya. "Loh, Ra bukannya kamu pengen banget ketemu Joey? Atau paling nggak kamu bisa nyibukin diri."

"Terus? Aku harus lebih banyak luangin waktu untuk kompetisi ini daripada nemenin Mama?"

"Bukan gitu, Ra...."

Tere LiyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang