Wati terkekeh-kekeh sambil memandangi kotak bekal yang ada di hadapannya sekarang. Tadi pagi, sebelum Icha berangkat sekolah, dia memang sengaja mengeluarkan kotak bekal ini dari tas sekolah Icha.
Semoga dengan cara ini aku berhasil membuat Icha berpikir kalau dia sedang hamil.
"Wati," panggil Camah, ibunya Icha, yang merupakan kakak kandung dari Wati. Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. "Wati, bisa keluar sebentar!"
Wati kelabakan dan segera menyembunyikan bekal sekolah milik Icha itu ke dalam laci terdekat. Bisa bahaya kalau kakaknya sampai tahu masalah ini.
"Iya, Kak, bentar!" teriak Wati seraya menutup laci meja.
Wati menyambangi pintu kamar dengan merapi-rapikan penampilannya. Dia juga memegang-megang pipinya supaya tidak terlihat kaku ketika berhadapan dengan Camah nanti. Dia ingin menunjukkan aura seolah tidak terjadi apa-apa.
Suara gagang pintu bergerak terbuka menjadi suara berikutnya. Dia tersenyum ketika mendapati kakaknya berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?"
"Ikut aku, yuk! Katanya dikomplek sebelah ada promosi obat agar bisa cepat hamil. Siapa tahu aja, kan, usahamu kali ini berhasil, Ti."
Bola mata Wati berbinar. "Serius, kak?"
"Iya." Camah tersenyum. "Ayo siap-siap! Kita langsung ke sana."
"Ok, Kak."
🚼🚼🚼
Icha sibuk menggeledahi tas sekolahnya. Dia tampak begitu panik dan wajahnya pucat. Atul, teman SMP-nya yang ternyata menjadi teman sekelasnya juga, menghampirinya dengan aura yang ikut-ikutan resah.
"Cha, lo nyari apaan, sih? Ke kantin, yuk! Gue lapar banget, nih."
"Aduh, Tul, Icha juga lapar banget. Bukan lo aja. Bekal yang biasa disimpan Mama di tas ini mana, ya? Icha nggak bisa makan kalo bukan bekal dari Mama."
Atul mendengus. "Astaga Icha, ternyata lo masih aja bawa bekal, ya, ke sekolah! Kita udah SMA, Cha, udah gede. Masa' masih bawa bekal, sih! Kaya' anak TK aja."
"Bekal dari Mama itu makanannya bersih. Emangnya lo mau sakit perut gara-gara makan di kantin yang makanannya belum jelas kebersihannya. Lagian, emang kenapa kalo kita udah SMA? Justru semakin kita gede itu makanya kita harus perhatiin kesehatan. Atul gimana, sih, gitu aja, kok, nggak ngerti!"
Atul memasang tampang kecut. Bola matanya bergerak ke arah lain, bukan menatap Icha. "Jadi lo masih nyariin bekalnya? Kan udah jelas nggak ada di tas sekolah lo!"
Icha seperti berpikir. "Apa mungkin Mama lupa naruh, ya, tadi pagi? Tapi perasaan tadi pagi Icha periksa masih ada, kok."
"Udahlah, Cha. Kalo nggak ada, ya, nggak ada. Buat apa dipaksain. Kita makan di kantin aja. Sekali-sekali, kan, nggak papa."
"Nggak, ah! Icha nggak mau nyoba-nyoba. Kata Mama, jangan berani nyoba-nyoba. Kebanyakan hal yang buruk itu terjadi karena awalnya nyoba-nyoba."
"Ya elah, kata Mama lagi. Kenapa nggak kata Papa aja sekalian, Cha?" Atul mendengus kesal. Bola matanya menatap ke plafon kelas.
"Atul, kok, jahat, sih? Bantuan Icha, dong, nyariin bekalnya!"
"Mau nyari dimana, Icha?" Atul menegaskan. "Udahlah, gini aja, lo mau ikut gue ke kantin atau nggak?"
"Nggak."
"Jadi lo lebih milih kelaparan?"
Icha mengangguk pelan. "Daripada nanti Icha sakit perut."
"Ya udah, deh. Gue ke kantin sendirian aja."
Atul pergi dengan perasaan kesal. Dia merasa aneh punya teman seperti Icha. Selain culun, Icha juga anak mami. Sedikit-sedikit selalu mengandalkan mamanya. Baginya, seumuran anak SMA sudah tidak pantas lagi terlalu bersikap manja.
Tak lama setelah itu, suasana menjadi heboh. Icha pingsan karena kelaparan.
🚼🚼🚼
Icha membuka mata dan mendapati Atul sedang mengipas-ngipasinya dengan koran. Atul duduk tak jauh dari ranjang pembaringannya. Icha mengerjap-ngerjapkan mata dan mengeluarkan suara lenguhan seperti orang menahan sakit. Dia memegangi pinggiran dahi.
"Coba tadi lo ikutin saran gue buat makan di kantin, lo nggak bakalan pingsan kaya' gini, Cha!" sapa Atul dan berhenti mengipasi Icha. Koran itu ia letakkan di meja yang tak jauh.
"Icha dimana, nih?"
"Lo di UKS. Makanan kantin itu bersih, kok, Cha. Lo tenang aja. Buktinya gue sehat-sehat aja, kan. Udah, pokoknya habis ini, Icha harus makan makanan kantin. Icha nggak mau tambah parah, kan!"
"Atul, ya, yang bawa Icha ke sini?" Icha sama sekali tak memedulikan ocehan Atul soal makanan kantin itu. Baginya, makanan kantin tetap saja tak higienis, apa pun alasannya.
"Bukan."
"Terus siapa?"
"Tadi ada cowok."
Icha terkejut. Dia langsung duduk seolah rasa sakitnya sirna seketika. "Cowok? Serius, Tul? Anak kelas berapa?"
Bagian tengah hidung Atul berkerut. "Ya gue nggak tahu, Cha. Anak-anak kelas kita yang ngasi tahu gue kalo lo dibawa ke ruang UKS. Nanti lo tanya aja sama anak-anak. Udahlah, itu nggak penting. Pokoknya habis ini, Icha harus makan di kantin, ok!"
Mata Icha melebar. Tak sengaja sebuah senyuman kecil tersungging di sudut-sudut bibirnya yang mungil. "Berarti cowok itu tadi gendong Icha, dong!"
"Ya iyalah. Gimana caranya coba lo bisa ada di sini kalo bukan digendong? Terbang?"
Mata Icha semakin melebar. "Berarti cowok itu sempat meluk Icha, dong!"
"Kalo udah digendong berarti bisa aja dia meluk juga waktu mau baringin lo di ranjang. Emangnya kenapa, sih? Tenang aja, Cha, dia nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok!"
Icha langsung turun dari ranjangnya dan berlari meninggalkan ruang UKS. Dia sumringah dan senang bukan kepalang. Dia tak memedulikan Atul yang teriak-teriak di belakangnya berusaha menghentikan larinya. Dia berteriak dalam hati, akhirnya ada cowok yang meluk Icha. Akhirnya Icha menjadi cewek yang seutuhnya. Akhirnya Icha hamil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...