Apa yang bisa dilakukan oleh anak sepolos Icha selain pemikiran-pemikiran sederhana dan tidak kompleks. Begitu pula rencana yang akan dia rancang dengan bantuan Atul. Sebuah rencana sederhana melesat-lesat di dalam kepalanya. Dia yakin betul akan pingsan lagi seperti kemarin karena tidak membawa bekal. Dan istirahat pun tiba.
"Tul, nanti kalo Icha pingsan, Atul perhatikan bener-bener!" Pesan Icha. Dalam tempurung kepalanya dia sudah membayangkan sosok cowok yang akan menggendong dan memeluknya ke ruang UKS. Apalagi kalau teringat kehamilan akan sukses karena rencana yang menurutnya hebat ini, Icha sampai tak sadar senyum-senyum sendiri.
Atul mengangguk-angguk. Seketika dia jadi ikut-ikutan polos. Benar kata pepatah, kalau kita berteman dengan penjual parfum, kita akan terkena wanginya. Namun yang Icha tularkan bukanlah wangi parfum, melainkan sisi negatif dalam dirinya. Hebatnya lagi, Atul sama sekali tak merasa aneh dengan kelakuan Icha. Barangkali pertemanan sejak SMP yang membuatnya sudah terbiasa.
"Atul sembunyi di balik tiang koridor aja buat ngintipin Icha," lanjut Icha terkesan menasehati. Atul mendadak dianggapnya orang bego, meski sebenarnya mereka sama begonya. "Gimana Atul paham, kan?"
"Itu gampang, Cha." Atul memainkan jari telunjuk dan jempolnya sehingga berbunyi seperti suitan. "Terus gue harus apa lagi?"
"Atul pura-pura cemas aja, terus lari ke ruang UKS. Jangan sampe cowok yang bawa Icha pergi duluan. Pokoknya Atul harus tiba di UKS bertepatan dengan cowok itu."
Atul mengangguk paham. "Terus apa lagi?"
"Atul interogasi dia. Tanya-tanya siapa namanya, dari kelas berapa, dimana rumahnya, sudah punya gebetan atau belum, sudah punya pacar atau belum, nomor sepatunya berapa, ukuran bajunya apa, dia anak ke berapa dari berapa bersaudara, Papanya kerja apa dan dimana, pokoknya tanya-tanya gitu, deh!"
Atul mendelik. "Gila lo, Cha. Detail amat nanyanya. Yang ada gue bakal ditabok sama tu cowok. Lagian buat apa, sih, lo tau ukuran baju, nomor sepatunya sama identitas orang tuanya segala?"
"Udahlah, Tul, ikutin aja maunya Icha. Nanti Icha traktir shopping, deh. Ini penting, Tul, demi kelangsungan hidup Icha, demi harga diri seorang perempuan."
Sejujurnya Atul semakin bingung dengan jalan pikiran Icha yang rada-rada, tapi mendengar imbalan traktir shopping itu membuat Atul mengabaikannya. Kapan lagi dia bisa beli ini-beli itu sepuasnya dengan gratis. Biarlah sesekali ikut bagian dari kegilaan teman polosnya itu, meski ia sama sekali tak paham apa maksud dari pernyataan Icha tentang harga diri perempuan.
"Ok, Cha. Janji, ya, Icha bakalan traktir Atul shopping!"
"Janji."
Atul tersenyum bahagia sambil membayangkan baju-baju baru, celana-celana bagus, tas-tas cantik, topi-topi lucu dan makan enak di restoran mewah.
"Tapi, Tul, kok, sampe sekarang Icha masih segar bugar, ya? Padahal ini, kan, sudah jam istirahat. Seharusnya Icha mulai lemas karena belum makan dari tadi pagi."
"Lo tadi pagi nggak sarapan, Cha?"
Icha menggeleng. "Nggak."
"Pembokat lo nggak bikin masakan buat sarapan emang?"
"Ada, sih, tapi Icha sengaja nggak sarapan demi rencana yang maksimal ini."
Atul geleng-geleng kepala. "Ya ampun, Cha. Nggak segitunya kali. Kalo lo beneran sakit nanti gimana?"
"Atul jahat ih, doain Icha yang nggak-nggak. Nggak jadi aja, deh, traktir shopping-nya. Icha nggak papa, kok, kalo rencana ini nggak dijalanin."
Padahal dalam hatinya berharap semoga Atul takut dengan ancaman itu. Tentu saja Icha resah kalau sampai rencana ini tidak terlaksana. Ini semua demi harga wanita, demi kehamilan yang menjadi prioritasnya sekarang. Tak boleh sampai gagal. Bahkan dia masih punya satu alternatif rencana lagi seandainya ini tak berjalan mulus.
"Eh jangan, jangan, Cha. Atul cuma bercanda, kok." Icha sukses membuat Atul ketakutan tidak ditraktir. "Atul nggak bermaksud doain Icha yang jelek-jelek, kok."
"Bener?"
"Iya bener! Maafin Atul, ya, plis! Atul janji bakal bantuin Icha sampe tuntas hari ini. Maafin, ya! Jadi ditraktir, ya, plis!" Atul menguncupkan tangan di bawah dagu seperti orang mau berdoa minta hujan.
Icha mengeluarkan sebuah kartu dari dalam tasnya lalu memutar-mutarnya dengan sela-sela jari. "Sekarang Icha sudah boleh pake kartu kredit. Tadi malam Papanya Icha telpon dari Jepang. Dia minta maaf karena belum bisa pulang Minggu ini. Urusan bisnisnya belum kelar katanya. Sebagai permohonan maafnya, Icha akhirnya dibuatin kartu kredit ini, Tul." Icha tersenyum berbunga-bunga.
Senyum Atul juga tak kalah berbunganya. Bahkan dibarengi dengan tatapan berbinar-binar. "Jadi Icha mau, kan, maafin Atul! Mau, kan, traktir Atul shopping!"
"Iya, iya."
"Asyik."
Namun yang menghampiri Icha kemudian justru perasaan resah. Dia bingung dengan mekanisme di dalam tubuhnya yang tak sama seperti kemarin. Kenapa sampai sekarang dia tampak sehat sekali? Tanda-tanda mau pingsan sedikit pun tak menghampirinya. Bagaimana rencana akan berjalan dengan mulus kalau begini?
🚼🚼🚼
Untuk yang kedua kalinya, Adly menemukan cewek pingsan di koridor. Dan yang sangat ironis adalah cewek ini cewek yang kemarin. Dia berlari secepat mungkin. Cewek itu harus segera digendong ke ruang UKS sebelum suasana semakin gaduh. Dia tak rela kalau ada cowok lain yang menggendong Icha. Sejak awal Adly memang sudah suka sama Icha pada pandangan pertama. Pertolongan semacam ini adalah cara lain yang membuatnya bahagia seandainya Icha tak bisa menjadi pacarnya.
Adly jadi teringat pesan mamanya.
Jangan sampe Adly jadian sama cewek! Nanti cewek itu bisa hamil.
Jadi Adly harus apa, Ma?
Pokoknya Adly nggak boleh sampe nembak cewek. Kalo dia nerima cintanya Adly dan kalian resmi pacaran, berarti Adly telah menghamili anak perempuan orang. Paham?
Paham, Ma.
Dan sekarang, Adly bergumam dalam hati, tapi kalau cuma menggendong cewek nggak papa, kan, Ma. Nggak bakal bikin dia hamil, kan, Ma.
Adly mengkhayalkan jawaban mamanya. Lebih tepatnya dia buat-buat sendiri untuk membenarkan perilakunya saat ini. Iya, Sayang, nggak papa kalo cuma digendong. Toh, Adly, kan, nyelamatin dia, bukan mau pacaran sama dia.
Sempat ada senyum tipis yang mengembang dari sudut-sudut bibir Adly.
Sekuat tenaga Adly mengangkat Icha. Karena cinta, berat badan yang menjadi tanggungannya justru terasa sangat ringan. Dia bahkan bisa berlari dengan mudah ke ruang UKS. Padahal menggendong Icha malah lebih berat daripada mengangkat satu sak semen.
Kepanikan membuat Adly tak sadar ada yang tengah mengintip dan mengikutinya dari belakang. Tak lain adalah Atul. Adly juga tak sadar kalau ternyata Icha hanya pura-pura pingsan. Terbukti dari mata yang terbuka-tertutup dalam gendongannya itu. Dengan saksama Icha memerhatikan posisi tangan-tangan Adly sambil menimbang-nimbang apakah ini layak disebut sebagai pelukan.
Dalam hati Icha berharap, plis, peluk gue lebih erat lagi dari ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...