Pada saat membuka mata, Wati menerka-nerka sedang berada di mana dirinya sekarang. Ingatan terakhirnya adalah di ruang tamu, tapi tempat yang terasa nyaman dan empuk ini membuatnya berpikir bahwa dia pasti berada di atas ranjang.
Ada tiga orang yang ditangkap oleh indera penglihatannya pertama kali, kakaknya, papanya Icha dan Icha sendiri. Dia langsung terkejut.
Apa? Icha?
Wati langsung bangun. Dia menyandarkan bagian belakang tubuhnya ke pangkal ranjang. Setelah dinginnya dinding mulai terasa merayap di belakang bahu-bahunya, dia menatap Icha seperti melihat kuntilanak bunting. Entah kenapa hidupnya dari dulu hanya tentang perkara kehamilan. Kali ini kehamilan Icha lagi yang menjadi momok menakutkan buatnya setelah menerima kenyataan bahwa dia sendiri belum bisa hamil selama lima belas tahun pernikahan.
"Wati, kamu nggak papa? Kamu baik-baik aja, kan!" Tanya kakaknya resah. "Kamu tenang aja, nanti Kakak bakal carikan obat lagi supaya kamu bisa hamil. Kakak ngerti perasaanmu, kok. Kamu harus yakin, Wati, Allah bakal ngasih kamu anak nanti. Yang penting kita usaha terus."
Icha menyambung sambil meletakkan tas yang sejak tadi dijinjingnya. "Tante kenapa bisa pingsan, sih? Icha malah dapat kejutan dari Tante, bukannya dari Papa."
Papanya Icha hanya mengangguk. Pria kurus tinggi berewokan itu bingung musti melakukan apa. Namun dia punya sedikit ide. "Ma, gimana kalo kita bawa Wati ke rumah sakit aja? Kasian, kan, kalo begini. Jangan-jangan dia kurang darah atau nggak cocok minum obat kehamilan yang kamu kasih!"
"Gimana, Ti, kita ke rumah sakit aja, ya?" Kakaknya masih tampak khawatir. "Kakak takut terjadi apa-apa sama kamu. Dari tadi kamu ngigau hamil-hamil terus. Rupanya kamu betul-betul pengen punya anak, ya!"
Wati terengah. "Apa, Kak, dari tadi aku ngigau hamil terus?"
"Iya. Bahkan kamu sampe teriak-teriak hamil tadi. Dalam mimpimu kamu hamil, ya, Ti?"
Bukan aku yang hamil, Kak, tapi Icha. Atau jangan-jangan tadi waktu aku ngigau ada nyebut namanya Icha lagi. Wah, gawat! "Kak, tadi dalam ngigauku, aku nyebut apa aja? Nyebut hamil aja atau ada tambahan kata lagi?"
"Iya cuma teriak-teriak hamil aja. Nggak ada kata-kata lain, kok."
Wati mendesah. Duh, untung aja! Bisa runyam, nih, urusannya kalo sampe mereka tahu Icha hamil.
"Gimana, Ti, mau nggak kalo kita ke rumah sakit?"
Wati menggeleng. "Nggak usah, Kak. Aku nggak papa, kok. Mungkin cuma kelelahan aja. Pasti sembuh kalo istirahat cukup."
"Beneran?"
"Bener, Kak. Wati nggak papa, kok."
"Tapi Icha nggak mau kalo Tante Wati sampe kenapa-napa." Sambung Icha manja. "Icha, kan, sering ngobrol sama Tante, sering curhat sama Tante. Pokoknya Tante udah kayak sahabat Icha-lah. Ke rumah sakit aja, ya, Tan?"
Karena hatinya yang gelisah itu, bahkan Wati tak mampu tersenyum melihat sikap manja Icha. Dia hanya menyahut biasa. "Nggak usah, Icha. Tante nggak papa, kok."
"Bener, Tan?"
"Iya bener."
"Janji?"
"Iya janji."
"Ya sudah," mamanya Icha mengajak Icha dan suaminya untuk pergi. "Kamu istirahat aja. Nanti Kakak suruh Bibi buatkan bubur, ya. Kakak sama Papa dan Icha keluar dulu. Mudahan kamu cepat sembuh, ya!"
Wati tersenyum dipaksa. "Iya, Kak, makasih."
Mereka pun pergi. Wati masih bisa mendengar suara Icha di depan pintu kamarnya yang tampak senang dengan kedatangan papanya. Icha juga menagih oleh-oleh.
Namun tiba-tiba kakaknya itu kembali ke kamarnya. Dia tampak mengeluarkan sesuatu dari saku dasternya, lalu menunjukkannya kepada Wati. "Oh iya, Ti, sampe lupa. Tadi Kakak nemuin ini tercecer di lantai kamarmu. Masih gagal, ya?"
Wati mendelik. Itu, kan, test packnya Icha. Astaga aku lupa buang ke tempat sampah. "Oh iya, Kak, i-itu punya, pu-punyaku. I-iya, Kak, masih negatif."
Test pack itu diletakkan oleh kakaknya di meja yang tak jauh, lalu dia mengusap-usap pundak Wati. "Sabar aja, ya, Ti. Anugrah itu akan datang pada waktunya. Yang penting selalu berusaha dan berdoa."
"I-iya, Kak, makasih."
Wati langsung menyambar test pack bekas itu dan menyembunyikannya di bawah bantal, entah apa tujuannya, sementara pandangannya tak luput dari melihat kepergian kakaknya keluar kamar.
Sejenak dia berpikir ketika menyadari tentang test pack itu. Test pack ini, kan, negatif. Seandainya pun Icha berhubungan badan sama cowok bernama Adly itu, kalau garis test pack ini cuma satu, berarti Icha nggak hamil, dong.
Seketika senyum sesegar botol minuman dingin tergambar di wajahnya. Seluruh rasa lemas yang sejak tadi menjangkiti tubuhnya mendadak hilang. Dia bangkit dengan penuh tenaga. Apalagi ketika melihat ada sebuah tas di ujung ranjangnya.
"Icha kebiasaan, deh. Selalu aja ninggalin barang sembarangan."
Wati meraih tas itu dan hendak mengantarkannya ke kamar Icha. Namun ada yang aneh. "Ini, kan, bukan tas sekolah Icha. Ini tas jalan. Icha dari tadi beli apa aja, sih, di mall sama Atul? Jadi penasaran. Apa betul dia ada beli obat kuat sama test pack baru?"
Wati pun memeriksa isi di dalam tas jalan Icha itu. Dia berharap yang pertama kali ditemukannya adalah obat kuat, entah kenapa dia berharap begitu, barangkali karena ingin suaminya lebih perkasa lagi di ranjang. Namun harapan itu keliru. Yang pertama kali ia temukan justru test pack.
"Ini, kan, bukan test pack baru. Loh, kok sudah dibuka?"
Wati pun mengeluarkan isi test pack itu dan terkejut bukan main ketika melihat garis dua di permukaannya, pertanda penggunanya positif hamil. Test pack tersebut terjatuh kembali ke dalam tas Icha tanpa dia sadari karena ada getaran hebat di telapak tangannya.
Keterkejutan itu terurai menjadi pandangan yang berpendar. Wati pingsan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...