Sambil berjalan menyusuri mall, Icha mendengus kesal. "Atul tadi apa-apaan, sih. Masa' nanya-nanya tentang test pack di depan mobil. Untung aja supir Icha nggak denger. Kalo sampe denger bisa bahaya, Tul."
Atul membela diri. "Ya habisnya gue, kan, penasaran buat apa Icha beli barang keramat kayak gitu."
"Hah, barang keramat? Maksud Atul apa?"
"Cha, test pack itu barang yang paling dihindari banyak cewek."
"Kenapa?"
"Ya karena mereka nggak mau hamil sebelum saatnya." Sahut Atul. "Buat apa, sih, Icha beli barang begituan? Icha nggak hamil, kan!"
"Kayaknya Icha hamil, deh, Tul."
Atul langsung berhenti melangkah. Dia menarik lengan Icha untuk menepi di pinggiran mall. "Apa, Cha, lo hamil? Lo bercanda, kan, Cha!"
Icha malah menggeleng. "Icha serius, Tul. Tadi waktu di UKS, Adly sudah ngelakuin itu sama Icha."
Atul semakin tak menyangka. Ini benar-benar di luar dugaannya. "Serius, Cha, Adly udah ngelakuin itu ke Icha?"
"Iya, Tul, serius. Ngapain juga, sih, Icha bohongin Atul. Makanya tadi Icha mau Atul temanin Icha beli test pack."
Pantas aja tadi Icha bener-benerin kancing baju sama rok. Ternyata mereka udah ngelakuin itu.
"Adly harus tanggung jawab, Cha. Pokoknya gue nggak terima kalo sampe Adly nggak mau tanggung jawab."
"Nah makanya Icha mau minta bantuan lagi, nih, ke Atul. Besok pagi-pagi bawa Adly ke belakang sekolah. Kita tunjukin hasil test pack yang positif itu ke dia. Soalnya tadi Adly kayaknya nggak percaya kalo Icha hamil dan dia nggak mau tanggung jawab, Tul."
"Trus kalo sampe hasilnya negatif gimana, Cha? Tadi waktu belajar reproduksi di lab, katanya kehamilan itu baru bisa diuji tiga hari setelah berhubungan."
"Berpelukan kali maksudnya, Tul!" Icha meluruskan.
Yang Atul pikirkan adalah Icha ini masih menganut paham pelukan merupakan awal dari berhubungan badan. Makanya setelah mendengar Icha berkata seperti itu, dia setuju-setuju saja. "Iya, Cha, pokoknya itulah. Trus gimana kalo sampe hasilnya negatif? Kan belum sampe tiga hari setelah lo berhub, eh, maksudnya setelah Icha berpelukan dengan Adly."
"Iya gimana, ya, Tul? Atul nggak punya ide apa gitu?"
Atul menggeleng. "Ini masalah rumit, Cha. Bukan sembarangan."
"Gimana kalo kita warnai sendiri, Tul, garis test pack-nya dengan warna merah?"
"Hm, kayaknya nggak bisa, deh, Cha. Garisnya itu, kan, kecil banget dan lurus pinggirannya. Mana bisa kita mewarnai serapi itu."
"Atul pernah lihat test pack, ya! Kok tahu banget isi dalam-dalamnya sampe garis-garisnya?"
Atul terkekeh. "Kakak gue, kan, dulu pernah hamil, Cha. Ya gue lihat aja, deh, test pack-nya iseng-iseng."
"Nah sekarang mana test pack Kakaknya Atul itu?"
"Ya udah nggak adalah, Cha. Orang dia hamil setahun yang lalu. Sekarang dia udah melahirkan." Sahut Icha merasa lucu. Dia mendadak kebelet. "Cha, kita ke toilet aja dulu, ya. Atul pengen pipis, nih."
"Ya udah, deh, ayo!"
🚼🚼🚼
"Kamu ini gimana, sih, Dimas?" Tanya cewek itu dengan kasar. Dia menggerak-gerakkan sesuatu di tangan kanannya. "Ini udah jelas buktinya. Garisnya dua. Aku hamil, Dim. Aku hamil anak kamu. Anak kita."
Dimas menggeleng-geleng. "Nggak mungkin. Itu nggak mungkin, Tin. Kita pelukan aja nggak pernah, gimana bisa hamil coba!"
"Kemarin itu kita mabuk, Dim. Kamu nggak ingat, tadi malam, kan, kita ke diskotik dan pesta bareng. Kita ngelakuin itu, Dim, dalam keadaan nggak sadar." Sahut Tina.
Dimas masih tak percaya. "Kita memang pacaran, tapi aku nggak mungkin hamilin kamu. Kita, kan, baru aja jadian. Belum juga seminggu. Pelukan aja nggak pernah."
"Terus menurutmu test pack ini bohong? Dua garisnya ini bohongan? Jadi kamu pikir aku bohongin kamu, gitu? Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab. Kamu udah hamilin aku, Dimas."
"Apa, tanggung jawab? Jadi maksudmu kita harus nikah gitu? Ih, ogah! Kita ini masih anak SMA. Masa' harus nikah."
"Jadi yang harus tanggung jawab siapa kalau bukan kamu?" Tanya Tina penuh emosi sambil mengacung-acungkan test pack positif hamil itu di muka Dimas.
Dimas menepis tangan Tina sehingga test pack itu terlempar ke bagian samping wastafel. "Gue nggak peduli. Pokoknya bukan gue yang harus tanggung jawab atas kehamilan lo. Mulai sekarang kita putus!"
Air mata mulai menetes di sepasang bola mata Tina, tapi bukan itu yang penting sekarang. Dia harus mengejar Dimas dan berjuang agar cowok itu mau bertanggung jawab atas anak yang kini tengah dikandungnya.
Namun ketika dia kembali untuk mengambil test pack yang tadi dijatuhkan oleh Dimas, Tina terkejut karena ternyata benda penguji kehamilan itu telah tiada. Dia berjuang keras mencarinya, sampai ke dalam-dalam kloset, namun tetap tak ditemukan.
🚼🚼🚼
Icha berlari kencang sambil menarik tangan Atul menuju bagian dalam mall yang lebih jauh lagi. Pandangannya sambil melirik-lirik ke belakang, takut ketahuan. Mereka baru berhenti ketika dirasa sudah cukup jauh.
Atul membungkukkan badan. Dia ngos-ngosan. "Udah, ah, Cha, lari-lariannya. Lagipula cewel itu pasti nggak bakal nemuin kita di sini. Kita udah jauh banget dari toilet."
Icha mengatur napas. "Wah, kebetulan banget, ya, Tul. Kita bisa pake test pack positif ini untuk mengelabui Adly sementara besok." Icha segera menyimpan benda keramat itu di dalam tasnya. Dia senang tak kepalang.
Atul kembali ke posisinya semula karena merasa sudah cukup baik. "Iya, iya, kita bisa pake itu besok. Trus, shopping gue ini gimana? Dari tadi kita main gila aja."
Icha terkekeh. "Ya udah kita lupain sebentar perkara kehamilan. Ayo kita berbelanja ria dulu, Tul! Tapi janji, ya, besok bantuin Icha lagi!"
"Iya, janji."
Atul kesenangan. Senyum terindah mengapung di wajahnya. Otaknya tak berhenti-henti membayangkan pakaian baru dan celana dalam baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...