8 - Kenapa nggak hamil-hamil, sih?

32.5K 724 79
                                    

Pagi buta Icha sudah bangun. Yang dicarinya pertama kali bukanlah buku pelajaran atau seragam sekolah, melainkan test pack baru yang dia beli tadi malam. Tempat yang pertama kali dia cari adalah toilet. Dia sudah minum banyak air putih sebelum tidur agar pagi ini tak ada alasan lagi untuk tidak buang air kecil.
 
Sampai di kamar mandi, Icha langsung pipis dan meletakkan ujung test pack itu ke posisi yang sudah jelas akan tersiram air seninya. Entah kenapa dia merasa girang sendiri saat membayangkan garisnya menjadi dua. Dia benar-benar tak sabar ingin positif hamil.
 
Selesai melakukan ritual itu, Icha bertatap muka dengan wastafel sambil menutup matanya dengan telapak tangan kanan sebelum melihat hasil dari test pack-nya. "Sabar, Icha, sabar. Lo pasti positif hamil. Hanya tinggal menunggu beberapa saat lagi."
 
Icha mengintip-intip ujung dari test pack itu persis orang yang malu-malu saat mendapati lawan jenisnya sedang tak sengaja terlepas handuknya. Jantungnya berdebar kencang dalam masa penantian itu.
 
Dan hasilnya adalah negatif.
 
Garisnya cuma satu. Icha langsung merengut. Wajahnya menjadi kusut. Dibantingnya test pack itu ke tempat sampah yang tak jauh, lalu ngomel-ngomel sendiri.
 
"Kenapa gue nggak hamil-hamil, sih? Padahal, kan, cowok itu udah pasti meluk Icha waktu ke UKS. Atau jangan-jangan dia beneran nggak meluk Icha lagi. Huaaa ... "
 
Icha ingin sekali berteriak memanggil mamanya dan merengek soal kegagalan hamil ini. Namun untung saja pikirannya masih waras. Buat apa memberitahukan kabar buruk macam begini. Kalau saja dia positif hamil, dia pasti akan dengan senang hati memberitahukan mamanya.
 
Icha keluar dengan sejuta perasaan kesal. Dia merasa harus mencari tahu apa penyebab kegagalan hamil ini.
 
🚼🚼🚼
 
"Icha, Icha, tunggu!" teriak Tante Wati sambil berlari menghampiri Icha yang saat ini berada di ambang pintu siap-siap mau turun sekolah. Mamanya sudah masuk ke dalam kamar waktu Icha selesai pamit. Papanya belum pulang dari liar kota karena urusan bisnis.
 
"Kenapa lagi, sih, Tan?" Icha menoleh dengan kecewa. "Icha lagi kesel, nih. Icha belum berhasil hamil, Tante."
 
"Ssttt ... jangan nyaring-nyaring, dong! Entar kedengaran Mamamu gimana?"
 
Icha hanya manggut-manggut.
 
"Jadi test pack di kamar mandi Tante itu beneran punya Icha?"
 
"Iya, Tan. Rencananya Icha mau buat surprise kemarin. Icha mau kasih lihat ke Tante Wati dua garis yang ada di test pack itu. Eh, ternyata masih negatif."
 
"Memangnya apa yang terjadi sama Icha, sih, di sekolah kemarin? Icha udah ikutin saran-sarannya Tante?"
 
"Udah, Tan. Kemarin itu bekal Icha, kan, ketinggalan. Icha pingsan karena kelaparan. Terus kata Atul, ada cowok yang bawa Icha ke UKS. Berarti dia udah pasti meluk Icha, kan, Tan. Icha pikir Icha bakalan hamil setelah itu. Eh, ternyata masih negatif. Kok bisa, ya, Tan?"
 
Tante Wati sempat terkekeh-kekeh sebelum merespons. "Mungkin cowok itu nggak serius meluk Icha. Mungkin Icha cuma digendongnya aja. Orang pelukan, kan, bukan seperti digendong Icha. Coba Icha cari tahu lagi, deh, nanti! Tanya-tanya lagi sama Atul."
 
"Iya, deh, Tan. Ya udah, Icha turun sekolah dulu, ya! Icha sayang Tante Wati."
 
"Iya, Icha. Tante juga sayang Icha."
 
🚼🚼🚼
 
"Lo nggak bawa bekal lagi, Cha?" tanya Atul kaget.
 
"Iya, Icha sengaja nggak bawa."
 
Atul tersenyum. "Nah, pasti sekarang Icha sudah mau makan di kantin, kan, bareng Atul. Tenang aja, Cha, makanan di kantin nggak kalah enaknya, kok, sama masakan Mama lo. Atul jamin, deh, pokoknya."
 
Raut wajah Icha malah berubah kesal. "Bukan karena itu, Atul. Icha sengaja nggak bawa bekal karena Icha punya rencana hebat hari ini." Raut wajahnya berubah lagi menjadi senang dan muncul aura kelicikan.
 
"Rencana apaan, Cha?" Atul penasaran. "Nanti kalo jam istirahat Icha pingsan lagi gimana?"
 
"Nah, justru itu yang Icha pengen!"
 
Atul tambah penasaran. Lebih tepatnya tambah merasa aneh. "Icha malah pengen pingsan? Ya Allah, plis, deh, Cha, jangan aneh-aneh!"
 
"Pokoknya nanti Atul bantuin Icha, ya!"
 
"Bantu apaan, Cha?"
 
"Nanti aja Icha kasih tahu." Icha terkekeh memikirkan rencananya yang menurutnya brilian itu.
 
"Ya udah, deh. Oh iya, Cha," Atul merogoh saku rok sekolahnya, "kemarin itu waktu pulangan sekolah sebenarnya gue mau kasih lihat pulpen ini ke Icha. Gue nemuin ini di ranjang ruang UKS pas Icha pergi. Kayaknya pemilik dari pulpen ini, deh, yang gendong Icha waktu pingsan. Namanya Adly, Cha."
 
Icha langsung merebut pulpen hitam itu. Di bagian tengahnya melingkar kertas kecil yang terikat isolasi dan bertuliskan nama pemiliknya. Icha memandanginya dengan saksama. "Atul kenal nggak sama Adly ini? Dia anak kelas berapa?"
 
Atul mengangkat bahu. "Gue juga nggak tahu, Cha."
 
"Atul kemarin nggak sempat lihat orangnya kayak gimana?"
 
"Nggak."
 
"Terus tahu dari mana kalo yang gendong Icha kemarin itu cowok?"
 
"Kakak kelas penjaga UKS yang bilang."
 
Icha cemberut. "Atul nggak nanya sekalian, sih, sama kakak kelas penjaga itu. Seharusnya Atul tanya dari kelas mana cowok itu. Oh, iya, gimana kalo jam istirahat nanti kita ke ruang UKS aja lagi buat nanyain masalah ini?"
 
"Ya, kakak kelas yang jaga pasti beda lagi, Cha. Yang piket tiap hari, kan, ganti-ganti orangnya."
 
Icha terdiam sejenak. Tiba-tiba saja dia punya ide. "Nggak papa, Tul. Pulpen ini bakalan jadi pendukung banget buat rencana Icha nanti. Pokoknya nanti Atul bantuin Icha, ya!"
 
"Bantuin apaan, sih, Cha? Gue penasaran, nih!"
 
Icha menyeringai. "Nanti bakal Icha kasih tahu. Ok!"
 
Atul hanya mengangguk. Dia mengingatkan sesuatu sebelum kembali ke tempat duduknya. "Cha, hari ini bakal ada pelajaran tentang reproduksi. Nanti Icha duduk sama Atul, ya, di lab!"
 
"Ok, Tul."

Masih SMA Kok Pengen Hamil?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang