Mata Icha perlahan-lahan terbuka. Dia seperti baru saja terkena paparan sinar terang setelah begitu lama berada di dalam kegelapan. Lebih dari setengah jam tak sadarkan diri, membuat Adly sangat puas memandangi wajahnya yang imut-imut itu. Icha mengucek pelan matanya, tapi ada rasa sakit di daerah perut yang begitu melintir.
Adly gelisah. Dia bangkit dari posisi duduknya. Lebih tepatnya terbangun dari tidur panjang memandangi wajah Icha. Di satu sisi dia senang karena Icha sudah siuman, tapi di sisi lain dia kecewa karena itu artinya berakhir sudah masa-masa menatap wajah indah Icha.
"Lo udah sadar, Cha. Syukurlah!" Senyum adalah ekspresi yang dikeluarkan Adly untuk mengelabui Icha. Biar bagaimanapun, dia tak ingin Icha tahu ada cowok yang memandanginya begitu lekat tadi.
Icha mengangkat kepalanya sedikit. "Icha dimana ini? Dan lo siapa?"
"Icha di ruang UKS. Waktu di lab tadi Icha pingsan. Adly yang bawa Icha kemari."
Icha langsung duduk, tapi rasa sakit di perutnya itu membuat gerakannya tak sebebas biasanya. Alhasil terpaksa telapak tangan yang harus memeganginya sebagai wujud berjuang menahan sakit.
"Lo Adly?"
"Iya."
"Adly yang tadi gendong Icha waktu pingsan pada jam istirahat?"
"Iya. Hari ini lo pingsan dua kali, Cha. Icha memang sering pingsan begini, ya, mulai dulu?"
Icha tak menghiraukan pertanyaan itu. "Serius lo beneran Adly?"
"Iya gue Adly. Adly Helsal Pranata. Anak kelas 10 Anggrek 1."
"Icha nggak percaya. Seingat Icha, Adly itu pakai kacamata."
"Oh, itu."
Adly langsung menggerakkan tangannya ke belakang. Dia meraih kacamatanya yang sejak tadi diletakkan di atas meja. Tak ada lagi alasan untuk tidak memakainya. Dia memamerkan. "Kalau sekarang, apa sudah mirip sama Adly yang Icha kenal?"
Icha terpana. Dia sempat bingung harus berkata apa. Hati yang senang perlahan menghiasi karena cowok yang sejak kemarin dicari-carinya kini berada di depan matanya. Berarti tak perlu melakukan banyak hal lagi. Hanya harus memastikan.
"Adly tadi gendong Icha, kan!"
"Iya."
"Coba jelasin!"
Mata Adly melebar. Dia bingung harus menjelaskan apa. Yang dia pahami adalah mungkin maksud Icha dia harus menjelaskan kronologis waktu pingsan itu.
"Tadi, kan, begini, Cha. Icha itu mau kembali ke mejanya Adly. Nah dalam perjalanan Icha tiba-tiba rebah. Adly langsung ngangkat Icha, deh. Terus bawa Icha ke UKS ini. Gitu, Cha, kronologisnya."
Icha menggeleng-geleng. Rambut kepang duanya ikut bergerak gemulai. "Bukan itu, Adly. Aih, Adly nggak ngerti-ngerti, ya, maksud Icha. Maksud Icha-"
"Oh, Adly tahu!"
"Iya jelasin yang itu, Adly!"
"Karena Icha pingsan, jadinya kita berdua nggak bisa ikut pelajaran Biologi tentang reproduksi, deh. Oh iya, Adly baru ngerti. Icha malu, kan, mau ngebahas masalah pelajaran itu. Sori, Cha, Adly baru sadar." Adly terkekeh.
"Aduh, Adly masih nggak paham-paham juga, ya. Bukan itu, Dly."
Adly semakin bingung.
Icha turun dari ranjangnya. Tekadnya sudah bulat untuk memastikan sendiri. Dia berdiri di hadapan Adly sehingga mereka mendadak beradu tatap. "Maksud Icha, waktu Adly gendong Icha tadi itu gimana posisinya? Adly meluk Icha, kan!"
Sebenarnya Adly agak malu berdiri berhadapan dengan Icha seperti ini. Sehingga dia terpaksa dia menarik diri untuk menjauh. Walau dalam hati dia ingin sekali lebih dekat lagi dari sekadar posisi seperti ini.
Icha menahan Adly yang ingin beranjak pergi itu. Tangan-tangan lembutnya menyentuh tangan-tangan Adly. "Adly mau kemana? Sini aja!"
"Tapi, Cha-"
Icha memasang tampang manja. "Awas, ya, kalau Adly pergi lagi! Icha nggak bakalan maafin Adly. Adly sini aja temanin Icha!"
Adly terpaksa kembali ke posisinya semula. Lebih tepatnya memang itu yang dia inginkan. "Dari tadi, kan, Adly udah nemanin Icha. Udah lebih setengah jam loh. Kita harus kembali ke lab, Cha. Pelajaran reproduksi tinggal dua puluh menitan lagi."
Icha menggeleng manja. "Nggak mau! Buat apa, sih, belajar tentang produksi itu. Udah kayak buruh pabrik aja kita."
Adly tersenyum kecil. "Bukan produksi, Icha Cantik, tapi reproduksi."
"Ah, sama aja, kan. Cuma ditambah re aja depannya."
"Beda arti, Cha. Kalau reproduksi itu artinya-"
Icha menutup bibir Adly dengan telapak tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih memegangi tangan kiri Adly. "Udah, itu nggak penting. Yang terpenting sekarang itu hubungan kita. Adly mau, kan, jelasin bagaimana cara Adly meluk Icha tadi! Icha sengaja nahan lapar, nih, demi Adly aja. Perut Icha sebenarnya sakit banget karena kelaparan. Icha sengaja nggak bawa bekal dari Mama cuma untuk mastiin kalo Adly beneran meluk Icha."
Seiring dengan diturunkannya telapak tangan Icha dari mulutnya, perasaan bingung semakin merayap di dalam otak. Adly sama sekali tak paham apa maksud Icha ini. "Adly nggak paham maksud Icha apaan."
"Adly suka, kan, sama Icha!"
Adly terkejut. Entah kenapa cewek berkepang ini mendadak seperti dukun. Adly salah tingkah dan tak mampu berkata-kata.
"Jawab, Dly! Adly suka, kan, sama Icha?"
"Icha, Icha sembarangan, deh. Kita, kan, baru kenal," Adly semakin salah tingkah dan gugup. Itu justru membuat Icha semakin yakin.
"Kalau nggak suka, kenapa selalu Adly yang gendong Icha ke UKS? Cowok lain, kan, banyak di sekolah kita. Kenapa Adly nggak ngasih kesempatan aja ke mereka?"
"Eng, anu, itu-"
"Udahlah, Dly, jujur aja. Adly suka, kan, sama Icha! Nggak papa, kok, Dly. Icha malah senang kalo Adly suka."
Akhirnya anggukan tak sadar pun menjadi gerakan di wajah Adly. Dia tak memikirkan apa-apa lagi. Termasuk sabda-sabda mamanya. "Iya, Cha, Adly suka sama Icha."
"Kalo Adly suka sama Icha, mana pernyataan cintanya yang ngajak pacaran gitu?"
Mata Adly melebar, tapi kemudian menjadi sayu ketika melihat pancaran indah di mata Icha. Ia tak berkutik dan menurut. "Jadi Icha mau Adly nembak Icha, gitu?"
Icha mengangguk manja. "Iya."
"Ok, deh!"
Petuah mamanya kini menjadi seperti burung yang bersayap dan meninggalkan isi kepalanya. Rasa cinta yang begitu besar membuat seseorang bisa buta akan segalanya. "Cha, Icha mau nggak jadi pacar Adly?"
Icha tersenyum senang. "Kalau Adly mau tahu jawabannya, rangkul dulu pinggang Icha sekarang!"
Adly merasa tak perlu lagi untuk menanyakannya kenapa. Dia menurut. Dia merangkul pinggang Icha dengan erat sehingga bagian depan tubuh mereka kini berhimpitan satu sama lain. Hanya tinggal sedikit lagi akan menyandang sebutan berpelukan.
"Sudah, Cha. Sekarang apa jawabannya?"
"Ulangin lagi, Dly!"
"Apanya?"
"Nembaknya."
Adly berdeham sebentar. "Cha, Icha mau nggak jadi pacar Adly?"
Dengan cepat Icha menjawab, "Icha mau jadi pacar Adly asalkan Adly bisa hamilin Icha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...