Jam pulangan pun tiba. Icha masih saja tersenyum dan senyumnya itu sesegar minuman yang baru dikeluarkan dari lemari es berjam-jam. Dia buru-buru berdiri, menggendong tasnya dan hendak melangkah secepat mungkin keluar dari kelas. Kabar gembira ini harus segera disampaikan kepada Tante Wati.
"Cha, tunggu, tunggu!" cegat Atul. "Bentar, Cha, gue mau ngasih tahu sesuatu!"
Icha sedikit kesal. Dia memasang tampang cemberut dan seolah malas meladeni obrolan apa pun dan dengan siapapun selain tantenya. "Kenapa lagi, sih, Tul? Dari tadi lo manggil gue mulu. Udah, ah, Icha mau cepat-cepat pulang. Ada yang musti Icha kerjain. Penting! Bye, Atul!"
"Tapi, Cha-"
Icha keburu pergi waktu Atul akan menyampaikan sesuatu itu. Dia rasa tak perlu lagi mencegat Icha karena itu hanya akan sia-sia saja. Dia sudah paham dengan kata 'penting' yang diucapkan Icha barusan. Oleh sebab itu, dia membiarkan saja Icha lenyap dari pandangannya. Mungkin ada baiknya kalau besok pagi saja menyampaikan semua ini.
🚼🚼🚼
Senyum tak henti-hentinya mengalir dari bibir mungil Icha. Hatinya merekah bagaikan bunga mawar yang baru tumbuh. Berulang kali dia memegangi permukaan perutnya sambil dielus-elus. Dalam perjalanan menuju gerbang, dia berbicara sendiri.
"Wah, nggak lama lagi bakal ada sesuatu yang bergerak dari perut Icha. Tante Wati pasti bakal seneng banget kalau tahu sekarang Icha hamil. Icha pasti dianggapnya keponakan yang berhasil mengikuti instruksi-instruksinya. Wah, lo hebat, Cha, hebat banget. Cuma dalam satu hari aja lo udah bisa mewujudkan sesuatu yang selama lima belas tahun nggak bisa didapatin sama Tante Wati. Icha gitu loh!"
Mobil Avanza hitam telah menunggu Icha tak jauh di luar gerbang. Icha segera menghampirinya.
"Non Icha udah siap pulang?" tanya supirnya ketika melihat Icha telah berdiri di samping mobil.
Icha menggeleng. "Bapak duluan aja, ya! Icha masih ada urusan, nih."
"Non Icha mau kemana?" tanya pak supir penuh cemas.
"Icha mau ke suatu tempat dulu, Pak. Icha bisa pergi sendiri, kok. Jadi Bapak duluan aja, ya!"
"Duh, jangan atuh, Non. Nanti Bapak yang dimarahin sama Mamanya Non Icha. Udah, pokoknya Bapak antar, deh, gimana?"
Icha berpikir sejenak. Mungkin ada benarnya juga kata Pak Soni. Nggak ada salahnya, kan, kalo dia ngantarin Icha ke apotek. Yang penting dia nggak tahu kalo Icha mau beli apa. Lagipula, kasihan Pak Soni kalau nanti sampai dimarahin sama Mama gara-gara nggak jemput Icha pulang sekolah. Icha kemudian terkekeh. "Iya, deh, Pak."
"Memangnya Non mau kemana, sih?"
"Ke apotek."
"Non mau beli obat apa? Non sakit?" Mendadak pak supir resah.
"Icha nggak papa, kok, Pak. Icha mau beli sesuatu buat tugas, ya, buat tugas sekolah, Pak. Bapak nggak usah khawatir. Icha sehat-sehat aja, kok."
Pak Soni tersenyum sambil mengelus-elus dadanya. "Oh buat tugas sekolah, toh, Non. Kirain Non Icha sakit. Ya udah, ayo naik, Non! Bapak antar."
Icha pun naik ke mobilnya. Senyuman masih saja terlukis di wajah imutnya. Rambut kepang duanya bergerak-gerak gemulai seiring dengan mulai berjalannya mobil itu.
🚼🚼🚼
"Pak, saya mau beli test pack, ada?" tanya Icha kepada penjaga apotek.
Seorang ibu-ibu yang kini ada di sampingnya yang kebetulan juga akan membeli barang yang sama, wajahnya mendadak mencibir. Dia merasa heran dengan kelakuan anak SMA berkepang dua ini.
"Ada, De. Kebetulan Ibu ini juga mau beli. Bentar, ya!" sahut penjaga apotek sambil melangkah pergi ke ruangan yang berbeda.
"Kamu hamil juga, De?" tanya ibu-ibu itu.
Icha tersenyum seolah kehamilan anak SMA adalah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. "Iya, Bu. Ibu beli test pack juga, ya! Ibu hamil juga?"
Kalo aku, sih, wajar hamil karena punya suami. Kalo kamu? "Iya, De. Beberapa hari ini Ibu muntah-muntah terus. Ya semoga saja Ibu beneran hamil."
"Oh jadi tanda-tanda orang hamil itu muntah-muntah, ya, Bu?" tanya Icha polos.
Ni anak bego apa, ya? "Ya iyalah, De. Masa' kamu nggak tahu, sih? Ade ini hamil sama siapa? Pacarnya, ya?"
"Bukan, Bu. Icha belum kenal, sih, siapa cowoknya, tapi yang jelas dia udah berhasil hamilin Icha," kata Icha dengan aura wajah yang tampak sangat senang sekali.
Ibu-ibu itu sontak merasa heran. Tak lama setelah itu, penjaga apotek datang membawa dua buah test pack. "Ini, Bu, De, test pack-nya."
"Berapa, Pak?"
"Lima belas ribu, De."
Icha mengeluarkan sejumlah uang dan diberikannya kepada penjaga apotek itu. Setelah mengantongi test pack itu, Icha tersenyum ke arah penjaga. "Makasih, ya, Pak!"
Penjaga membalas senyumnya. "Iya, De, sama-sama."
Icha menatap ke arah samping sambil menunjuk test pack milik ibu-ibu itu. "Ibu tahu nggak cara pakenya ini gimana?"
Makanya kalo masih SMA itu jangan kebanyakan ulah. Cara pake test pack aja nggak tahu, tapi hamilnya bisa. "Di dalam test pack-mu, kan, ada petunjuk penggunaannya. Nanti kamu baca aja."
"Oh iya, Icha lupa. Maaf, ya, Bu. Ya udah, Icha pulang duluan. Icha udah nggak sabar pengen tahu hasilnya. Doain aja semoga Icha beneran hamil ya, Bu!"
Ibu-ibu dan penjaga apotek itu menatap heran ke arah Icha yang kini telah pergi. Mulut mereka ternganga karena tak percaya ada anak SMA yang bisa berkata seperti itu.
Ibu-ibu itu kemudian menggeleng. "Amit, amit, mudahan anak perempuanku nanti nggak kayak gitu, ya, Pak!"
"Iya, ya, Bu. Masih SMA, tapi, kok, kaya'nya pengen banget hamil. Dasar anak muda zaman sekarang," sahut penjaga apotek sambil menggeleng-geleng.
"Begitu sudah, Pak, kalau kurang perhatian dari orangtua. Pergaulannya jadi bebas. Tadi dia juga bilang gini, Pak, dia bahkan belum kenal sama cowok yang sudah menghamilinya. Ya Allah!"
"Astaga! Jadi dia hamil bukan sama pacarnya, ya, Bu?"
"Bukan."
"Astaga."
"Duh, amit-amit jabang bayi punya anak perempuan model begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...