Icha membuka pintu rumahnya dengan perasaan yang teramat senang. Senyum bukan lagi menjadi sesuatu yang langka di bibirnya. Dia ingin segera menghampiri kamar Tante Wati. Waktu berhasil masuk ke dalam, Icha berjalan berjingkat-jingkat seperti takut ketahuan maling. Dia tidak mau kalau ibunya sampai tahu perkara membeli test pack ini. Bisa runyam urusannya, itulah yang disabdakan oleh tantenya.
Dia mengetuk pintu kamar Tante Wati pelan sekali, mirip takut membangunkan orang tidur. Dia juga memanggil dengan berbisik, "Tante, Icha pulang, Tan. Icha bawa kabar gembira buat Tante. Cepat buka pintunya!"
Akan tetapi, tak ada sahutan sama sekali. Padahal Icha sudah mengetuk pintu kamar itu berkali-kali. Ketika diputarnya gagang pintu, terbuka. "Loh, nggak dikunci, toh! Tumben. Tante nggak seperti biasanya."
Icha pun mengintip ke arah dalam, kosong, tak ada siapa pun di situ selain kamar yang lumayan berantakan. Tempat tidurnya diseraki baju-baji daster yang terhampar morat-marit. Ada juga handuk setengah basah menggantung di pinggirannya. Untung saja bukan celana dalam atau pembalut bekas.
"Tante!" Icha masih berharap ada Tante Wati di dalam kamar itu. Setidaknya mungkin di toilet. Icha segera memeriksanya, tapi tetap nihil. "Duh, Tante ke mana, sih? Padahal Icha, kan, bawa kabar gembira ini. Icha mau ngasi kejutan ke Tante. Tante pasti muji-muji Icha karena kehamilan ini. Icha berhasil, Tante. Tante di mana, sih?"
Melihat toilet itu, entah kenapa Icha punya pikiran lain. Cepat-cepat ia menutup dan mengunci pintu kamar Tante Wati. Mungkin ada baiknya kalau dia melakukan itu dulu di dalam kamar mandi sambil menunggu tantenya datang. Icha segera melaksanakannya.
🚼🚼🚼
Habis makan, Adly langsung membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia bahkan belum berpikir untuk mengganti seragam sekolahnya. Dia mendesah karena mengingat sesuatu. Lebih tepatnya karena mengingat kata-kata ibunya tadi di meja makan.
"Kalo Adly pacaran, berarti Adly hamilin anak perempuan orang," gumam Adly sambil menyilangkan lengan di atas kepala dan menjadikannya semacam bantal. "Duh, gimana, dong? Adly, kan, lagi suka banget sama seorang cewek yang dari kelas 10 Mawar 1 itu. Nggak boleh, nggak boleh. Adly nggak boleh nembak dia. Kalau dia sampai terima cintanya Adly, berarti dia bakal ha-" Adly langsung menggeleng-geleng dan terduduk. "Nggak boleh, pokoknya nggak boleh!"
Adly bergumam lagi. "Pokoknya Adly nggak boleh sampai suka sama tu cewek. Cukup sudah tadi Adly gendong dia ke UKS. Nggak boleh lagi lebih dari itu. Cukup, pokoknya cukup!"
Mendadak ponselnya berbunyi. Ada telepon masuk. Ketika dicek, ternyata Acap, ketua kelas di kelasnya, 10 Anggrek 1.
"Halo, Dly, ini gue, Acap."
"Iya gue udah tahu. Hari itu gue udah save nomor lo, kok. Kenapa, Cap? Gue baru kelar makan, nih."
"Nggak nanya. Lagian gue juga nggak peduli. Sesuai perintah dari Bu Warsih, lo yang catat namanya anak-anak yang besok gabung sama kelas lain buat belajar tentang reproduksi."
Adly terkejut. "Hah, kenapa gue?"
"Ya, nggak tau. Bu Warsih yang nyuruh. Udah turutin aja kalo nggak mau nilai Biologi lo di bawah lima."
Telepon langsung terputus. Adly menggerutu. "Dasar ketua kelas nggak tahu adat. Main matiin telpon sembarangan."
Adly segera mengambil kertas kosong untuk mencatat nama-nama yang disuruh oleh Acap tadi. Namun rupanya dia telah melupakan sesuatu. Pulpennya tidak ada. Padahal itu adalah pulpen kesayangannya. Adly kocar-kacir mencarinya, sampai masuk-masuk ke dalam toilet.
🚼🚼🚼
Dalam keadaan duduk di kloset, mata Icha mendelik sambil memandangi garis-garis yang tertera di test pack itu. "Hah, kok, negatif? Ini betul, kan! nggak salah, kan!"
Icha menggoyang-goyangkan batangan test pack itu sambil sesekali melirik petunjuk pemakaian di dalam kotaknya. "Setelah kena air pipis, kalau positif hamil maka garisnya akan bertambah menjadi dua. Kalau satu berarti negatif. Ini, ini, kan, garisnya satu aja. Huaaa ... " Icha merengek seperti anak kecil yang kecewa karena tidak dibelikan mobil-mobilan. "Berarti Icha, berarti Icha, haaa, Icha gagal hamil, dong."
Dia seketika teringat kata-kata Tante Wati. Kalau Icha sampai dipeluk sama cowok, berarti Icha sudah pasti hamil.
"Cowok itu beneran meluk Icha nggak, sih?" Icha bertanya-tanya. "Tapi, kan, dia gendong Icha sampai ke ruang UKS. Nggak mungkin, dong, kalau dia nggak meluk. Haaa ..., " Icha merengek lagi. "Ini yang benar yang mana, sih? Kenapa bisa negatif? Seharusnya, kan, Icha positif hamil. Kenapa garisnya cuma satu? Jangan-jangan ini test pack-nya lagi yang rusak!"
Icha kembali melirik petunjuk pemakaian. Matanya menceleng waktu mendapati sebuah keterangan yang menjelaskan bahwa kalau mau hasil akurat, harus melakukan tes di pagi hari tepat setelah bangun tidur.
Icha menepuk jidatnya. "Astaga! Pantesan. Ini, kan, udah siang. Jelas aja tesnya nggak akurat. Aduh, mana isinya cuma satu aja. Berarti Icha musti beli test pack satu lagi," Icha kemudian mengelus dada dan mengembuskan napas. "Tenang, Cha, lo pasti hamil, lo pasti hamil. Ini waktu tesnya aja yang kurang akurat. Huh!"
Test Pack bekas itu dibuang oleh Icha ke dalam tong sampah toilet kamar Tante Wati. Dia pergi dengan perasaan yang sedikit kecewa. Dalam hatinya bergemuruh doa meminta kehamilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...