Hari sudah sore waktu Wati dan kakaknya, Camah, pulang ke rumah. Mereka tampak membawa belanjaan yang tidak sedikit. Tawa riang menghiasi dua pasang bibir itu. Sambil berjalan masuk rumah, mereka berbincang sedikit.
"Kak, mudahan obat ini manjur, ya!"
"Iya, Ti. Kakak doain kamu cepat hamil dan punya anak. Maaf cuma ini pertolongan Kakak. Semoga semuanya maksimal."
"Nggak papa, Kak. Kakak udah baik banget. Seharusnya aku yang minta maaf sama Kak Camah karena sudah sebulanan ini saya dan suami terpaksa menumpang di rumah Kakak dulu. Kalau aja nggak ada kejadian kebakaran itu, ya, Kak!"
Mereka berdua menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu, duduk sesaat sambil mengatur napas karena kelelahan dari pagi beraktifitas di luar.
"Itu namanya musibah, Ti. Kamu nggak boleh nyesal terus begitu, dong. Itu sudah kehendak Tuhan. Kakak sama Papanya Icha nggak keberatan, kok, kamu tinggal di sini. Malahan senang karena Icha punya teman ngobrol."
Wati tersenyum. "Makasih, ya, Kak. Wati janji bakal cari rumah yang sesuai secepat mungkin. Masih harus nabung dulu, Kak. Ngumpulin gaji-gaji suami."
"Iya, nggak papa!" Camah mengelus pundak adik kandung satu-satunya itu.
Mendadak Icha datang sambil berlari-lari kecil. Rambut kepang duanya bergoyang-goyang lucu. Wajahnya agak cemberut waktu di hadapan mereka.
"Mama sama Tante Wati kemana aja, sih? Icha, kan, nyariin dari tadi. Jahat, ih!"
Camah melambaikan tangan, sebuah isyarat agar anaknya itu mendekat. "Sini, Sayang, duduk dekat Mama." Camah mencium kening Icha. "Icha sudah makan, kan! Tadi hari pertama di sekolah gimana?"
Icha melirik-lirik Tante Wati. "Biasa aja, sih, Ma." Icha terpaksa harus berbohong. Tidak mungkin dia bilang kalau tadi di sekolah dia pingsan karena kotak bekalnya ketinggalan. Mamanya bisa kalut luar biasa. Icha memang sangat disayang. Maklum anak semata wayang.
"Icha ditempatkan di kelas 10 Mawar 1, Ma. Di situ Icha ketemu sama Atul."
"Atul yang teman SMP-mu itu, kan!"
"Iya, Ma. Mama sama Tante dari mana aja, sih?"
"Tadi kita dari komplek sebelah. Ada penawaran obat kehamilan yang siapa tahu aja cocok sama Tantemu. Doain aja Tante cepat hamil, ya!"
Icha sedikit terkejut. Apalagi waktu melihat ekspresi Tante Wati yang tampak girang. "Tapi, kok, sampe sore banget begini, sih, Ma? Icha, kan, kangen sama Mama."
Camah mengecup kening Icha lagi. "Duh, maafin Mama, ya, Sayang. Tadi kita langsung ke mall beliin baju buat Tantemu. Gara-gara kebakaran yang menimpa rumahnya waktu itu, Tante Wati jadi kehilangan banyak baju."
Icha mengangguk-angguk. Sejurus kemudian, Icha berkedip-kedip ke arah tantenya. Semoga saja dia paham.
"Ya udah, ayo kita ke dalam! Mama ada beliin baju juga, nih, buat Icha."
Camah melirik Wati. "Ti, aku sama Icha ke dalam dulu, ya. Gini, nih, rasanya kalo punya anak yang manjanya nggak ketolongan."
"Iya, Kak. Icha jangan bobo larut malam, ya!"
"Iya, Tante. Icha sayang Tante Wati."
Wati pun tersenyum. Sedikit banyaknya dia iri melihat kakaknya punya anak seperti Icha yang menggemaskan dan imut. Terbit hasrat di dalam hatinya ingin punya anak semacam itu. Namun lamunannya segera buyar ketika mendapati suaminya sudah pulang kerja. Mungkin ada baiknya kalau dia bermanja-manja dulu dengan pangeran berkudanya itu.
🚼🚼🚼
Hari sudah gelap. Maghrib terlangkahi. Icha mengendap-endap keluar dari kamar, takut ketahuan mamanya. Padahal seharusnya tak ada yang musti dia takutkan. Dia hanya ingin memastikan kepada Tante Wati mengenai kepergian mereka tadi siang yang mengunjungi komplek sebelah untuk melihat promosi obat kehamilan.
Icha ingin segera mengetuk pintu kamar Tante Wati begitu tiba di hadapannya. Namun yang terjadi berikutnya adalah Icha justru mendengar suara bermanja-manja dari suami tantenya itu. Icha lupa kalau ternyata sang pangeran tantenya sudah pulang.
Dari dalam terdengar begini.
"Mama, kok, makin cantik aja, sih. Papa tambah sayang, deh. Apalagi kalau Mama jujur dan mau buka bajunya sekarang."
Icha langsung pergi. Dia tak mau mendengar suara mereka berikutnya.
🚼🚼🚼
"Buka baju?" Wati sedikit kaget. "Tadi pagi, kan, sebelum berangkat kerja, Mama sudah kasih, Pah. Pengen lagi, ya? Kayaknya Papa ini kebanyakan nonton film porno, ya."
Juki mengernyit, tapi langsung mengambil posisi duduk di samping Wati. Dia mengelus-elus pundak istrinya itu. "Papa nggak ada nonton, kok, Mah. Wah, kalau begini capek Papa jadi hilang, Mah. Kenapa, sih, Mama nggak jujur aja dari kemarin-kemarin?"
"Jujur apa, Pah?"
Juki malah tersenyum-senyum. "Papa pengen anak laki-laki, ya, Mah, biar jadi jagoan kayak Papa. Hm, anak perempuan juga nggak papa, sih. Biar jago masak kayak Mama. Laki-laki atau perempuan sama aja, yang penting punya. Akhirnya!"
Wati semakin tak paham. "Kamu ngomong apa, sih, Pa? Mama nggak ngerti."
"Udahlah, Ma, jujur aja. Papa nggak bakalan marah, kok. Justru Papa malah senang."
"Jujur apa, sih, Pa?"
"Test pack di kamar mandi itu punya Mama, kan. Kenapa Mama nggak bilang, sih, kalo hamil? Mama nakal, ih, main sembunyi-sembunyian."
"Test pack?"
"Iya, yang di tempat sampah."
Wati mengernyit. "Mama nggak pernah beli test pack, Pa. Mana, mana, ayo kita lihat!"
Mereka pun menyambangi toilet.
Juki memungut test pack itu, lalu memerlihatkannya. "Ini punya Mama, kan! Jujur ajalah, Ma, nggak papa, kok!"
Wati semakin heran. "Ini bukan punya Mama, Pa. Mama nggak pernah beli ini. Lagipula, Papa bisa lihat ini, kan! Garisnya cuma satu."
"Memangnya kenapa kalo cuma satu garisnya, Ma?"
"Itu artinya negatif, Pa, bukan positif."
"Jadi Mama negatif hamil, ya? Astaga gagal lagi!"
Wati rasanya ingin mengamuk. "Ini bukan punya Mama, Pa. Mama nggak pernah lagi pake beginian. Lagian, kan, Mama baru aja selesai halangan. Mana mungkin langsung hamil. Papa gimana, sih? Gitu aja, kok, nggak ingat."
Juki menepuk jidat. "Astaga! Terus test pack ini punya siapa, dong?"
Wati hanya mengangkat bahu, tapi sejurus kemudian wajah Icha langsung terbersit di kepalanya.
Ini pasti ulahnya Icha. Atau jangan-jangan Icha beneran berhubungan intim lagi sama cowok teman sekolahnya. Jangan-jangan ini maksud dari kedipan matanya tadi. Tidaaaaaakkkkk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih SMA Kok Pengen Hamil?
Teen FictionUPDATE TIAP JUMAT [Baca cepat di Karyakarsa] "Tante bilang kehamilan adalah sebuah cara untuk menjadi wanita seutuhnya. Sejak saat itu aku pengen hamil dan melakukan segala cara agar bisa hamil meski aku sendiri masih SMA kelas 10, pastinya belum me...