Hal yang paling tidak aku sukai adalah ketika seseorang menggunakan barang-barangku tanpa izin. Seperti pagi ini, kudapati jaket denim kesayanganku tergantung dalam keadaan basah di jemuran tampak habis dicuci. Mengingat dalam seminggu ini aku sama sekali belum menyentuh jaket itu, pastilah seseorang telah menggunakannya secara diam-diam. Di rumah ini, siapa lagi yang bisa kutuduh selain kembaranku, Ririn. Gadis itu memang sering meminjam pakaianku, nyaman katanya, karena size-nya lebih gede.
"Riiiiin, elo yaaa??" tudingku langsung saat Ririn baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut gadis itu terbalut handuk karena ia habis keramas. Ririn memandangku dengan tatapan bingung,
"Elo kan yang make jaket gue? Tuh, baru abis lo cuci," kataku lagi bermaksud memperjelas. "Kan gue udah bilang, kalau lo mau make barang gue, ngomong aja, gue nggak masalah kok..."
Sebenarnya Ririn selalu meminta izin setiap ingin meminjam sesuatu dariku. Namun, apabila gadis itu terburu-buru, biasanya ia lupa untuk mengatakannya padaku. Hal itu sering terjadi, dan ia akan selalu siap menerima omelanku setiap kepergok lupa untuk meminta izin. Aku sudah mengenal Ririn sejak lahir, dan aku akan sangat tahu kapan ia berbohong atau tidak. Begitu juga sebaliknya. Namun, kali ini aku yakin, Ririn benar-benar tampak bingung dengan ucapanku.
"Hah??"
"Kok 'hah'? Bener kan, elo abis make jaket gue?" ulangku.
"Bukannya elo yang nyuci tadi pagi buta?"
"Maksud lo?"
"Gue denger ada yang nyuci jam 3-an, tapi nggak pake mesin. Jadinya kayak suara 'kucek-kucek' gitu. Itu elo, kan?" Ririn tampaknya berharap aku meng-iya-kan apa yang ia katakan. Namun, aku hanya menggeleng kaku
"Rin, gue aja baru bangun..."
Kami berdua sama-sama terdiam. Suasana rumah mendadak terasa lenggang, ada hawa dingin seolah ikut menyelimuti percakapan kami.
"Papa-Mama belom pulang? Mungkin Mama yang nyuci..." tanya Ririn, ia mencoba mencari alasan yang masuk akal.
"Mobilnya nggak ada di garasi. Lagian kan, semalem mereka udah ngabarin bakal pulang besok Minggu."
"Trus siapa? Masa iya jaket gue bisa kecuci sendiri? Emangnya ini rumah punya penunggu ghaib?" seketika aku menutup mulutku sendiri karena sadar akan ucapanku. Ririn pun tampaknya ingin menyentil mulutku yang kebablasan.
"hahaha....hihi.."
Suara tawa bernada dingin tiba-tiba terdengar di tengah pembicaraan kami.
Suara yang memang sudah sering kudengar di tengah malam.
Ririn menatapku nanar, aku pun turut balik menatapnya. Seolah saling meyakinkan diri bahwa kami memang mendengar hal yang sama.
Lagi-lagi kami terdiam, seketika perasaan dingin menjalari tubuhku.
YOU ARE READING
Puan
HorrorDesa Pualam katanya merupakan desa terpelosok dari sekian desa yang terpilih untuk menjadi lahan Kuliah Kerja Nyata (KKN) program kampus yang ditempati Biru, Violet, Ririn dan Ninin. Awalnya Biru merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pengal...