Part 10 (Ririn pov)

189 11 1
                                    

"Tenang, sayang. Kalau capek abang mau kok gendong kamu," goda Niko ketika Ocha mengeluh karena harus jalan kami menuju desa Pualam yang akan menjadi lahan KKN kami.

Cih, gadis seleb itu sepertinya malah tampak senang mendengar godaan itu. Lihatlah, dia malah mengedipkan sebelah matanya kepada Niko.

"Bener-bener deh, tu cewek.." Fanya yang duduk di sebelahku berdecak heran, iapun sepertinya tak habis pikir dengan perilaku Ocha.

"Lo sanggup jalan kaki dua jam?" tanyaku kepada Fanya, bermaksud mengalihkan rasa muak.

"Nggak masalah buat gue, kurang lebih lah kayak naik gunung. Bedanya jalanan yang kita lewati kemungkinan nggak banyak tanjakan."

Aku mangut-mangut, Fanya memang sosok cewek tomboy yang terlihat paling supel di regu kami. Mungkin karena hal itu aku merasa nyambung bicara dengannya, selain asyik dia juga selalu bicara to the point, tak suka bertele-tele. Kami ternyata juga pernah menggeluti olahraga yang sama, taekwondo, dan kata Fanya ia sudah berhenti sejak bulan lalu. Entah apa aja yang sudah kami bahas selama perjalanan, yang jelas satu per satu kami pun tertidur. Bus melaju dengan stabil, membuat kami semakin nyaman untuk merasa lelap.

******

Bus yang membawa kami telah berhenti, Anton menyuruh kami untuk lekas turun dan mengambil barang-barang yang kami bawa. Arlojiku menunjukan pukul 17.45 WITA, langit sudah mulai gelap.

"Kania, kamu nggak apa-apa?" Mbak Tari terdengar cemas begitu kami turun dari bus.

"Nggak apa-apa, Mbak.. cuma mabuk darat.." jawab Kania lemah, wajahnya terlihat pucat. Tidak, Kania jelas tidak baik-baik saja.

"Boris, lo mau bantuin buat bawain barang-barangnya nggak?" tanyaku kepada Boris, kulihat ia hanya membawa ransel besar dan sepertinya masih bisa untuk dimintai bantuan.

"Okee." Sahut Boris tak keberatan.

"Kopernya lo aja yang bawa. Tas itemnya gue aja, biar ngurangin beban lo Bro.." tawar Biru.

"Thank you, Bradeerr!" senyum Boris mengembang.

"Oi, Ketua. Boleh minta toleransi buat Kania nggak? Gue nggak yakin dia kuat jalan 2 jam buat ke tempat lokasi KKN." Gio berkata pada Anton.

"Nanti saya coba bicarakan dengan Pak Lurah-nya ya, mungkin Kania bisa ikut naik mobil yang membawa barang-barang kita. Sekarang kita jalan dulu ke rumah Pak Lurah, nggak jauh kok dari sini. Lima menit sampai." Kata Anton.

"Kok lo kayaknya tau banget tempat ini?" tanya Gio lagi.

Anton berdehem pelan, "Tempat ini namanya Desa Pualam Sari, bisa dibilang Desa Pualam tempat kita KKN itu adalah bagian dari desa ini. Tempat ini merupakan kampung halaman saya. Bisa dibilang kalian sebenarnya sedang berada di tanah kelahiran saya.." jawab Anton. Kami semua melongo mendengar itu, tak ada satu orang pun dari kami yang mengetahui hal tersebut.

"Ehm.. Pak Lurah yang saya maksud itu.. kalian panggil saja Abah. Karena beliau adalah ayah saya." Sambung Anton, tak ada ekspresi apapun di wajahnya, bahkan cenderung datar.

Kami semua kembali melongo, benar-benar cerita baru yang tidak kami ketahui sama sekali. Hal ini membuatku teringat akan sesuatu, mungkinkah si pengirim broadcast itu adalah Anton?

"Kalau masih ada yang mau ditanyakan nanti saja kalau kita sudah tiba di rumah, lihat, langit udah gelap." Kata Anton kemudian. Kami setuju dan mulai berjalan menuju rumah Pak Lurah, yang ternyata adalah rumah Anton juga.

******

"Assalamu'alaikum. Abah, ulun sudah pulang..." salam Anton ketika kami tiba di sebuah rumah dengan pekarangan rumah yang luas. Rumah itu tak bertingkat namun cukup besar di antara rumah-rumah penduduk lain yang tadi sempat kulihat.

PuanWhere stories live. Discover now