Kurang dari lima belas menit, Fanya baru saja tiba di depan rumah Kepala Desa Pualam bersama Anton dan Tari. Gadis tomboy dan berambut pendek itu melirik jam tangannya yang masih menunjukan pukul 11.00, namun rumah kepala desa terlihat tak berpenghuni. Pintunya tertutup rapat. Rumah itu terlihat sederhana dengan pekarangan cukup luas, dindingnya dilapisi cat hijau tosca yang warnanya sudah memudar karena termakan usia.
"Sepi banget, ada orangnya nggak nih?" Tanya Fanya pada Anton dan dijawab dengan gelengan kepala tanda lelaki itupun tidak tahu.
"Apa mungkin di kantor kepala desa? Ini kan hari kerja. Ngomong-ngomong di sini kantor kadesnya dimana sih?" tanya Fanya lagi.
"Di dekat rumah saya..."
"Wah, gila, itu artinya kita kudu jalan dua jam lagi kalau Pak Kadesnya di kantor? Kenapa bangun kantor kadesnya bisa di sana?"
"Di sini penduduknya nggak banyak, dan juga merupakan desa kecil. Jadi, kantornya masih tergabung dengan desa Pualam Sari."
"Hmm, terus ini gimana? Kayaknya nggak ada orang. Mau nunggu? Atau balik ke rumah? Atau jalan kaki dua jam ke kantor kades?" Tanya Fanya, ia berusaha mengintip dari jendela rumah tersebut namun tak terlihat apa-apa karena kaca yang gelap.
"Coba ketuk dulu pintunya, kalau nggak ada yang nyahut kita pulang, sore kita kesini lagi. Gimana?" saran Tari.
Fanya menurut, iapun mengetuk pintu kayu yang terlihat kokoh itu dengan cukup lantang, "Permisi? Kami dari mahasiswa yang akan melakukan KKN di desa ini!"
"Kamu ngapain ngomong kayak gitu?" protes Anton.
Fanya hanya nyengir sambil mengangkat bahunya santai, tak merasa bersalah, baginya hal itu bukan masalah besar.
Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka, mengejutkan Fanya, Anton dan Tari. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan menunjukan setengah badannya yang mengenakan daster hijau bermotif batik, sedangkan setengah badannya lagi terhalang oleh pintu. Rambutnya diikat secara asal dan mata wanita itu menatap dengan pandangan menyelidik terhadap Fanya, Anton dan Tari secara bergantian.
Merasa risih, Anton segera berinisiatif untuk mulai bertanya, "Permisi, Pak Kadesnya ada?"
Wanita itu bergeming, sebagai jawaban ia hanya menggeleng kaku masih dengan tatapan yang sama.
"Kira-kira Pak Kadesnya di rumah jam berapa?" Anton kembali bertanya, ia tak ingin pulang begitu saja.
Keheningan dengan perasaan tegang kembali menggantung di antara mereka, wanita itu hanya menatap datar terhadap Anton dan tak menjawab.
"Kami boleh menunggu di sini, Mbak?" kali ini Fanya turut bertanya.
Masih tanpa jawaban, membuat Fanya, Anton dan Tari saling berpandangan karena bingung. Tiba-tiba nafas wanita itu menderu, matanya melotot pada arah yang sama kemudian ia berseru dengan suara parau, "PERGI!!"
Kaki Anton dan Fanya refleks melangkah mundur, kaget akan seruan yang tak terduga.
"Seharusnya kalian tidak boleh ada di sini!! Pergi kalian dari tempat ini! Puan suka anak muda, dia akan datang menghampiri kalian! Cam kan itu!" seru wanita itu masih tetap di balik pintu, jemarinya mencengkaram pintu dengan kuat, matanya menatap nanar kepada ketiga tamunya.
Otak Fanya berusaha mencerna baik ucapan wanita itu, meskipun jantungnya berdebar kencang karena perlakuan tak terduga.
"Kita harus pergi dari sini!" ajak Anton cepat, wajahnya tampak kaku karena menutupi perasaan cemas, dan Tari yang sedari tadi terlihat kalem juga berusaha menunjukan ketenangan.
YOU ARE READING
Puan
HorrorDesa Pualam katanya merupakan desa terpelosok dari sekian desa yang terpilih untuk menjadi lahan Kuliah Kerja Nyata (KKN) program kampus yang ditempati Biru, Violet, Ririn dan Ninin. Awalnya Biru merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pengal...