"Selamat pagi Biru," sapa Tari lembut saat melihat Biru memasuki dapur hendak mengambil air minum.
"Pagi juga, Mbak. Masih pagi udah sibuk aja," balas Biru dengan ramah, ia melihat Tari sedang mencuci sayuran segar yang dibekali oleh Abah. Berkat kemurahan hati Abah, Biru dan teman-temannya tidak perlu repot memikirkan nasib perut mereka selama beberapa hari ke depan. Abah membekali mereka dengan banyak bahan makanan seperti, beras, sayuran, buah-buahan, makanan kaleng, mie instan, dan bumbu-bumbu yang diperlukan, membuat kulkas di rumah inap tersebut padat berisi. Untungnya di rumah itu meskipun tampak tua dan tak berpenghuni sudah tersedia berbagai macam peralatan masak sehingga Abah tak perlu meminjamkan peralatan masak dari rumahnya.
"Iya, kan memang aku yang bertugas memasak untuk kalian selama KKN. Kania juga bantuin aku kok," kata Tari sambil tersenyum manis.
"Ada yang bisa gue bantu, Mbak?" Biru menawarkan diri setelah ia meneguk air yang ia butuhkan.
"Kamu bisa bantuin Kania ambil air nggak? Di sumur belakang rumah, sekalian bantuin cuci peralatan masak gapapa? Aku tadi nemuin alat masak lain yang bisa dipake, tapi pada berdebu."
"Gapapa dong, Mbak. Beres deh, gue ke sumur dulu kalo gitu." Sahut Biru, ia langsung melangkah ringan menuju pintu belakang rumah yang berada di dapur. Dua meter dari arahnya tampak Kania yang sibuk menarik katrol untuk mengambil air dari sumur tua.
"Sini, gue bantuin." Biru segera menghampiri Kania dan menggantikan posisinya untuk mengambil air. Kania tampak terkejut akan kehadiran Biru yang tiba-tiba, namun ia segera menyunggingkan senyuman karena merasa tertolong akan kehadiran laki-laki itu.
"Wah, banyak juga air yang udah lo ambil." Kata Biru saat melihat sudah terdapat tiga ember besar yang terisi penuh.
"Masih banyak ember kosong tuh di sana, penuhin aja sekalian. Buat nyuci piring dan mandi," jelas Kania sambil menunjuk ember-ember besar yang kosong.
"Yaudah, biar gue aja yang ambil air. Lo cuci dulu peralatan masaknya, udah ditungguin Mbak Tari tuh." kata Biru.
"Makasih banyak ya, Biru. Sorry ngerepotin, desa ini benar-benar minim teknologi, jangankan ada sinyal, ambil air aja harus ambil dulu dari sumur." Kata Kania sambil merenggangkan tubuhnya yang pegal.
"Santai aja, Nia. Lebih baik urusan ambil air serahkan aja ke anak cowok, lo udah nggak sakit lagi?"
"Udah mendingan kok. Berkat kalian semua yang nyuruh gue banyak istirahat." Kania tersenyum lebar, awalnya Biru mengira gadis itu bukan tipe yang banyak bicara namun ternyata Kania merupakan teman ngobrol yang menyenangkan. Gadis itu cukup ekspresif kala tidak banyak orang di dekatnya.
"Gue kira lo anaknya pendiem, ternyata seru juga buat di ajak ngobrol." Ujar Biru sembari menimba air kembali, sedangkan Kania menjauh satu meter dari Biru hendak mulai mencuci peralatan masak.
"Gue cuma ikut arus, kalau orangnya easy going kayak lo ya gue bakal lebih mudah nimbrung untuk ngobrol. Kalau ketemu orang pendiem, ya gue bakal lebih diam. Gue juga kurang bisa nimbrung obrolan kalau lagi banyak orang. Makanya tiap kita rapat, gue cuma bisa diam, nyimak, ikutin arus diskusi, kalau ditanya baru gue jawab." sahut Kania sambil mencuci piring, Biru mengangguk paham mendengar penjelasan gadis itu.
"Hoo.. ngomong-ngomong lo kenapa nggak ngaku?" Tanya Biru mengubah topik pembicaraan.
"Emangnya apa yang nggak gue akuin?" Kania tampak bingung akan pertanyaan menggantung dari Biru.
"Ehm, gue tau lo yang diem-diem sewa kafe buat pertemuan pertama kita. Padahal jujur aja ke gue kalau lo yang traktir kita semua. Yang lain pasti pada senang.."
YOU ARE READING
Puan
HorrorDesa Pualam katanya merupakan desa terpelosok dari sekian desa yang terpilih untuk menjadi lahan Kuliah Kerja Nyata (KKN) program kampus yang ditempati Biru, Violet, Ririn dan Ninin. Awalnya Biru merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pengal...