Deringan alarm dari ponsel Ninin membangunkan aku, Ririn dan Fanya. Alarm dari ponsel gadis itu begitu nyaring mengusik kami, tapi Ninin terlihat sama sekali tak terganggu. Kuambil ponsel Ninin dan langsung mematikan dering alarm milik sepupuku yang masih tertidur pulas itu. Ponsel milik Ninin menunjukan pukul 5.30 pagi. Sesuai kesepakatan, kami akan mulai berangkat menuju desa Pualam pada pukul delapan pagi dan barang-barang pribadi harus sudah dikemas rapi karena mobil pick-up akan mengantarnya ke rumah tempat kami akan tinggal selama enam minggu.
Aku memutuskan untuk mandi dan beranjak dari kasur, sedangkan Ririn kembali merebahkan tubuhnya karena masih mengantuk. Kulihat Fanya sedang membongkar tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah permen asam, gadis tomboy itu kemudian melirikku dengan sungkan.
"Mau?" katanya menawarkan dan aku menggeleng sebagai jawaban.
"Lo tau kan gue perokok, tapi di tempat seperti ini gue harus jaga sikap untuk nggak ngerongkok sembarangan. And this candy really help me much." Jelas Fanya sambil memakan permen. Aku mengangguk paham, melihat seorang perempuan merokok di kota besar mungkin sudah bukan hal yang mengherankan. Namun, di sini kami harus mampu membawa diri dengan baik karena masyarakat pedesaan bisa dengan mudahnya mengusir kami jika ada etika yang tidak berkenan di mata masyarakat. Hal itu tentu akan mengganggu program KKN kami.
"Lo mau mandi?" tanya Fanya lagi dan aku mengangguk.
"Oke deh, gue antre setelah lo pokoknya."
"Oke."
Cuaca pagi itu sangat dingin, membuatku terus merapatkan kardigan yang kukenakan. Langit masih belum terlalu terang karena matahari masih bersembunyi dibalik awan kelabu. Sepertinya keputusanku untuk mandi di pagi hari adalah suatu kesalahan, kulitku yang langsung tertusuk oleh dinginnya siraman air es membuatku tak berhenti menggigil.
Selesai mandi aku kembali ke kamar dan mendapati Ririn dan Ninin sudah bangun. Mereka berdua sedang asyik melihat sesuatu di laptop milik Ririn. Fanya pun bergegas mengambil handuk di kopernya saat melihatku selesai menggunakan kamar mandi.
"Liat apaan?" tanyaku sambil mengeringkan rambut yang terkena air dengan handuk.
"Foto-foto kita pas pertemuan pertama, ada di kamera Fanya nih jadi gue mintain." Jawab Ririn, ia tengah memilih-milih foto yang akan ia pindahkan dan Ninin juga ikut memilih. Memang, pada pertemuan pertama sebelum kami pulang Ocha mengusulkan untuk mengambil foto bersama yang katanya mau ia unggah di akun Instagram pribadinya. Kebetulan Fanya membawa kamera saat itu. Gadis itu memang selalu membawa kamera kemanapun.
"Nin, si Jun ternyata ganteng juga ya.." Kata Ririn tiba-tiba, saat ini ia tengah melihat foto candid Jun yang terambil oleh kamera Fanya. Di foto itu Jun tampak serius memperhatikan Biru yang tengah bicara dengan teman-temannya.
"Hah, masa?" sahut Ninin cuek.
"Lo nggak merasa dia ganteng gitu?" tanya Ririn lagi.
"Nggak sih, menurut gue ya biasa aja.."
"Lo beneran nggak tertarik dengan dia, Nin? Kata lo si Jun juga lumayan banyak yang naksir kan?"
"Yee, ni anak dibilangin kok masih aja nanyain hal yang udah lo sendiri tau. Udah berkali-kali gue bilang hubungan gue sama Jun nggak akan lebih dari temen. Berani janji gue." Kata Ninin dengan nada malas, akupun sering mendengar ia berkata seperti itu.
"Beneran?" tanya Ririn tak yakin.
"Ya, beneran. Lo kenapa sih?" tanya Ninin balik.
"Gapapa, nanya doang kok." Kata Ririn cepat. Kemudian mereka membicarakan hal lain dan kembali asyik memilih-milih foto untuk dipindahkan ke laptop.
YOU ARE READING
Puan
TerrorDesa Pualam katanya merupakan desa terpelosok dari sekian desa yang terpilih untuk menjadi lahan Kuliah Kerja Nyata (KKN) program kampus yang ditempati Biru, Violet, Ririn dan Ninin. Awalnya Biru merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pengal...