Akhirnya kami tiba di desa Pualam, desa yang tak terdeksi lokasinya jika dicari lewat internet. Jalanan yang kami tempuh tidak begitu curam, namun cukup banyak tanjakan yang harus kami lalui. Suasana desa Pualam begitu sepi, rumah-rumah penduduk terlihat sangat berjarak satu sama lain. Menurut Anton, setelah melewati jembatan gantung panjang yang terbentang di hadapan kami, tak lama lagi kami akan tiba di rumah yang akan kami tempati selama enam minggu. Masalahnya, tak semua anggota berani melewati jembatan itu dengan alasan takut jatuh atau semacamnya.
"Ayolah, kalian pasti bisa kok melewatinya. Mobil yang angkut barang-barang kita aja bisa jalan di atas jembatan ini." Kata Anton, namun ucapannya itu sama sekali tidak menggerakan keberanian anggota regunya.
Selain Aku, Ririn, Jun, Gio, Violet, Fanya dan Anton tidak ada lagi yang berani untuk melewati jembatan itu. Kendala besar kami adalah Miranda, Ocha dan makhluk yang bernama Momo karena mereka bersikeras tidak ingin melewati jembatan, hal ini mempengaruhi keberanian Ninin karena ia merasa berat tubuhnya akan menjadi beban padahal sepupuku tak seberat itu. Niko tampangnya saja yang sangar dan suka cari perhatian dengan anak-anak perempuan, nyatanya dia sendiri pengecut ikutan menolak untuk melewati jembatan gantung. Sedangkan Boris aku maklum, dia tidak percaya diri untuk melewati jembatan karena tubuhnya yang tinggi dan besarnya dua kali lipat dari tubuhku. Mau tak mau kami berhenti beberapa saat tepat di depan jembatan tersebut, di bawah jembatan itu terbentang jurang yang lebar dan aku yakin di dalam sana terdapat sungai yang arusnya mengalir dengan deras.
Sudah sekitar 30 menit berlalu dan kami masih berdebat.
"Gue takut!" seru Ninin tampak cemas.
"Nggak bisa lewat jalan lain apa? Jurangnya lebar gitu, ntar kalau jembatannya putus gimana??" keluh Miranda dengan suara melengking.
"Nggak ada. Ini jalan satu-satunya. Kalian bisa lihat sendiri jembatannya kokoh gitu. Ini nggak seperti jembatan yang di film-film itu. Mobil pick-up aja bisa lewat. Aman kok," jelas Anton, ketua kami itu terlihat mulai tak sabaran.
"Gini aja deh, kita jalannya berpasangan, yang takut ditemenin sama yang berani. Satu orang jalan duluan, tunggu di sebrang sana. Abis itu gue nyusul bareng yang mau ditemenin sama gue. Gimana?" tanyaku berusaha untuk memberi solusi.
Sepertinya usulku barusan dapat diterima oleh mereka, meskipun masih ada beberapa di antara mereka yang tampak ragu.
"Kalau gitu gue mau nyebrang sama Ririn!" cetus Ninin dan Ririn setuju.
"Oke, ada yang mau nyoba jalan duluan?" tanyaku. Teman-temanku itu mulai saling pandang, berharap ada yang mau duluan mengorbankan diri.
"Gue aja." Fanya mengajukan diri.
Seketika pusat perhatian kami tertuju ke arah cewek tomboy itu, dan Fanya segera melangkah maju terlebih dahulu.
"Gapapa?" tanyaku memastikan dan Fanya mengangguk mantap.
Tanpa disuruh dua kali, Fanya langsung memijakan kaki di atas jembatan. Dalam sekejap terasa ketegangan di antara kami, bahkan aku pun menahan nafas melihat Fanya. Namun dengan santai cewek itu melangkah ringan dan menapakan kaki di jembatan bagai berjalan di atas tikar.
Kurang dari dua menit Fanya sudah tiba di ujung jembatan dan cewek itu melambaikan tangannya dengan wajah sumringah menandakan bahwa jembatan itu aman untuk di lewati. Akupun ikut lega melihatnya.
"Sekarang siapa yang mau ikut gue?" tanyaku.
"Ocha!"
"Gue!"
Aku sedikit terkejut karena di luar dugaan Ocha dan Miranda serentak mengajukan diri.
"Tadi mewek-mewek protes nggak mau nyebrang. Cih!" cibir Ninin membuatku tersenyum geli. Aku tahu dia tidak terlalu menyukai Ocha dan Miranda.
YOU ARE READING
Puan
HorrorDesa Pualam katanya merupakan desa terpelosok dari sekian desa yang terpilih untuk menjadi lahan Kuliah Kerja Nyata (KKN) program kampus yang ditempati Biru, Violet, Ririn dan Ninin. Awalnya Biru merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pengal...