Beberapa kali Jinan menoleh ke belakang, Taehyung tetap mengikutinya kemana pun ia pergi. Tersenyum lebar saat kedua manik mereka bertabrakan dan membuat Jinan merasa sedikit risih. Apa yang dilakukan laki-laki itu membuatnya dilirik oleh orang-orang yang berpapasan dengannya.
Setidaknya ini sudah kelima kalinya ia menoleh. Dan senyum bodoh itu. Astaga. Segera Jinan menghentikan kerja kedua tungkainya. Berdiri dengan tangan yang sedikit mengepal, lalu membalikkan badan seluruhnya.
Jarak mereka tidak begitu jauh, berkisar antara lima meter, mungkin. "Sampai kapan mau mengikutiku?" Alis Jinan berkerut tak suka. Menatap Taehyung yang saat ini mengangkat kedua alisnya tak mengerti.
Ini sungguh menyebalkan.
Rasanya Taehyung yang sekarang itu lebih kekanakan dibanding sebelumnya. Tarik kembali jika ia pernah mengatakan kalau laki-laki itu terlihat dewasa—walaupun itu hanya dalam hati. Buktinya sekarang ia seperti anak sekolah tingkat akhir yang sedang jatuh cinta pada adik tingkatnya.
Jemari Taehyung bergerak mengusap surainya yang menghalangi penglihatan, mencoba tersenyum setenang mungkin, lalu menyahut, "Oh ayolah, Ji. Ini jalanan untuk umum."
Jinan menyipitkan matanya tidak suka. Menurut gadis itu, jawaban Taehyung sama sekali tidak memuaskan. Seakan ada keingin yang lebih dibalik kalimat yang terlontar itu.
Kalau ingin dekatku bilang saja, batin Jinan.
Sepersekian detik kemudian, Jinan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Tungkainya bergerak cepat. Bahkan ia tak mengindahkan wedges yang memiliki tumit cukup tinggi. Ya, begitulah perempuan.
Sebelum menuju gang sempit yang hanya berukuran kira-kira tiga meter, Jinan berbelok ke arah kiri menuju toko buku. Mencari beberapa bahan referensi untuk kuis minggu depan tentunya. Di perpustakaan kampus bahkan tidak banyak menyediakan buku-buku pelajaran, isinya rata-rata hanyalah novel picisan dan terjemahan.
Mendorong pintu kaca tersebut perlahan dan Jinan bisa merasakan hawa sejuk yang menguar dari AC. Hari ini matahari tidak begitu menyengat, tapi tetap saja ia merasakan keringat mengalir di balik blouse yang dikenakan.
Memilih-milih sebentar dan saat menemukan apa yang ia cari, dengan lekas Jinan membawanya ke kassa.
Tepat di depan kassa sana ada Jimin. Si pekerja paruh waktu yang sangat baik. Selalu memberikan senyum sehangat matahari jika bertemu, memberikan gula-gula pada anak kecil, ataupun meminjami para anak sekolah beberapa pulpen bila mereka perlu. Baik sekali bukan?
"Hallo, Ji." Seperti biasa, Jimin tersenyum hangat. "Oh, kau membeli buku itu? Syukurlah kau tidak kehabisan. Itu adalah stok terakhir di toko ini."
Jinan melirik buku yang ada di tangannya lalu menyerahkan ke Jimin. "Benarkah? Tapi sungguh, buku ini sulit dicari. Aku bahkan hampir membongkar buku-buku tebal yang berada di atasnya," canda Jinan.
"Apa ada tambahan?"
Terdiam sejenak untuk memikirkan perlengkapan apa yang akan ia perlukan lagi dan gadis itu teringat sesuatu yang sudah menipis, "Tolong, kertas HVS 100 lembar."
Di saat itu juga ponsel yang di saku Jimin bergetar. Laki-laki itu hanya meliriknya sebentar, lalu kembali fokus menghitung lembar-lembar kertas. Namun, ponsel tersebut tetap berdering. Jinan jadi merasa tidak nyaman.
"Kau bisa mengangkatnya, aku akan menghitungnya sendiri."
Jimin melirik gadis di hadapannya dengan rasa bersalah. Sebenarnya ia tidak rela harus mengangkat panggilan ini dan membiarkan Jinan menghitungnya sendiri. Lagipula panggilan ini hanya dari ibunya, bukan dari atasan tempat ia bekerja. "Apa kau tak apa?"
Jinan tersenyum tipis menanggapi. "Tentu."
Segera Jimin beranjak menjauh menuju sudut ruangan dan mulai berbicara. Sesekali tersenyum manis. Ah, Jinan suka sekali melihat senyuman itu.
Dengan cekatan Jinan mengambil tumpukan kertas yang kira-kira setebal 2 senti, lalu mulai menghitungnya secara manual. Sebenarnya ada sebuah alat yang bisa membantu mempercepat penghitungan, tapi benda itu telah hilang.
Tepat dihitungan ke-12, kertas itu terangkat ke atas, seseorang mencoba mengambil alih benda tersebut. Tapi sayangnya, hal tersebut malah secara tidak sengaja melukai telunjuk Jinan. Percikan darah langsung saja meresap ke putihnya kertas.
Jinan meringis, sang pelaku langsung melepaskan kertas tersebut ke bawah. Membiarkannya berserakan dan terinjak oleh sepatu kotor miliknya. "Oh Tuhan, maafkan aku, Ji."
Jemari Jinan yang terluka langsung dilumat oleh Taehyung.
Bolehkah saat ini Jinan memalingkan wajahnya? Ia malu. Tapi jujur, Jinan juga tidak bisa menampik kalau dirinya bisa merasakan kerja jantungnya mulai berpacu lebih cepat dari biasanya. Menatap Taehyung dari jarak seperti ini mempunyai efek yang sangat luar biasa.
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa perasaan itu kembali muncul kepermukaan? Jinan enggan mengakui kalau ia masih mengharapkan Taehyung. Tapi satu hal, gadis itu merasakan sesuatu yang aneh secara bersamaan. Kenapa wajah Taehyung terlihat begitu menikmati lumatan itu?
Ini aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018