28 : Ruin her life

2.3K 361 20
                                    

Hari kedua di Pohang. Jinan menarik syalnya lebih erat tatkala kedua tungkainya berjalan keluar dari pekarangan rumah. Salju sudah berhenti turun sejak satu jam yang lalu, hal itu tentunya tidak Jinan sia-siakan untuk pergi ke toko milik Tuan Kang di dekat persimpangan jalan. Ibu sedang kehabisan gula padahal mereka berdua berniat untuk membuat kue kering untuk menemani malam nanti menonton film bersama.

Di sisi kiri jalan banyak rumah yang berjejer rapi, halaman yang biasanya berwana hijau kini berganti menjadi putih bersih, tentunya disertai gelak tawa dari anak-anak di bawah usia sepuluh tahun yang sedang asik membuat manusia salju yang bisa Jinan katakan sangat payah. Bahkan tawa kecil hampir keluar dari bibirnya kala melihat wajah manusia salju tersebut tidaklah tepat. Mulut yang seharusnya berada di bawah malah berpindah ke bagian atas. Tapi saat melihat sang orang tua yang baru saja keluar dari daun pintu membuat Jinan menutup kembali mulutnya dan kembali melanjutkan perjalanan.

Setibanya di toko, ia lantas disambut dengan senyum hangat Tuan Kang yang sedang meletakkan beberapa makanan ringan di rak bagian atas. "Jinan? Kapan kau kembali?"

Jinan tersenyum hangat pada laki-laki yang sudah berumur itu, kacamata bulat usang bahkan masih bertengger di hidungnya yang lancip. "Kemarin pagi." Jemari Jinan bergerak melepas sarung tangan berwarna biru muda yang terpasang di tangan kanannya dan kembali melanjutkan, "Aku ingin membeli gula."

Dengan lekas Tuan Kang menuju lemari yang menyimpan sekantung gula pasir. Setelah mendapatkan apa yang ia maksud, Jinan menyerahkan beberapa lembar uang pas lalu pamit dengan mengatakan bahwa ia akan mampir lagi sebelum kembali ke Seoul.

Beberapa kali Jinan merasa sepatu yang ia kenakan terbenam pada tumpukan salju di jalanan yang ia lewati, maka berkali-kali juga ia mengumpat pelan. Rasanya jika ia mengumpat seperti ini, Jinan jadi teringat Taehyung. Hei, bahkan ini belum genap seminggu ia tidak bertemu dengan laki-laki berengsek itu, dan juga kenapa ia malah memikirkannya? Bukankah ini semua sudah berakhir? 

Kala menjejak pada pekarangan rumah, Jinan menemukan sepasang sepatu asing tergeletak di di dekat pintu. Rasanya ia tidak pernah memiliki sepasang sepatu seperti ini. Modelnya juga nampak seperti milik laki-laki. Tunggu, apa ini milik Taehyung? Tidak menutup kemungkinan jika laki-laki itu mengunjungi rumahnya. Sebab, Jinan rasa Taehyung masih berada di Pohang, menghirup udara yang sama dengannya.

Hatinya mendadak gelisah, kantong plastik yang berisi gula ia tanggalkan di atas meja kecil di samping daun pintu. Punggung dengan balutan sweater hitam dan topi putih itu menyapa indra penglihatnya. Sial. Dan saat Jinan hendak meniti anak tangga menuju kamarnya guna menghindari tamu tak diundang, Ibu keluar dari dapur dengan dua gelas cokelat panas yang masih mengepulkan asap putih tipis. "Jinan? Sini, kemari."

Jinan mendengus pelan. Bisa-bisanya ibu berubah menjadi menyebalkan seperti ini. Dengan malas dan rasa was-was yang masih bergerumul di dalam hati, Jinan mendekat dengan seulas senyum yang ia paksa, berusaha tidak membuat ibunya khawatir.

"Kenapa kau tidak bilang pada Ibu kalau kita akan kedatangan tamu?"

Sialnya, posisi duduk laki-laki itu membelakanginya. Jinan mengulum senyum seraya menyahut pelan, "Aku tidak tahu, Bu." Benaknya benar-benar dirundung gelisah.

Tiba-tiba sosok tersebut membalikkan badan, seulas senyum hangat menyambut Jinan yang kini terdiam dengan alis yang mengerut. Jimin?

"Kau. Kenapa di sini? Apakah ada yang perlu kita bicarakan hingga kau datang kemari?" tanya Jinan dengan ketus. Ibu yang masih berdiri dengan lekas meletakkan gelas yang ia bawa, mendekat ke arah Jinan dan mencubit pinggang anaknya pelan. Ringisan kecil meluncur di bibirnya, ditambah dengan mata ibu yang melebar membuat Jinan merutuk di dalam hati.

Dengan setengah sangsi, Jinan mengikuti tungkai ibunya yang bergerak menuju sofa, mendudukan paksa putrinya dengan jemari yang cukup menekan keras bahu Jinan. "Maafkan Jinan, ya, Jim. Akhir-akhir ini dia memang agak sensitif. Mungkin udara Pohang membuatnya seperti ini."

Bola matanya memutar sebal. Udara? Haha, lucu sekali Ibu. Sudah Jinan katakan, jika ia melihat Jimin, maka ia seperti melihat Taehyung juga. Jinan rasanya sudah muak, hasratnya untuk membuat kue kering menguap begitu saja.

Dan sekarang di sinilah Jinan, duduk dengan suasana canggung yang menyelimuti. Di depannya ada sosok Jimin yang tengah memegang badan cangkir, mendekatkannya pada bibir merah tebalnya dan menyeruput pelan cokelat panas yang menggoda minta dicicipi. Andai saja Jinan punya keberanian yang besar, rasanya ia akan menendang bokong Jimin keluar dari daerah teritorialnya, hanya saja anacaman Ibu yang dibisikkan sebelum kembali ke dapur, membuat Jinan bergidik ngeri dan mengurungkan niat buruknya itu. "Jangan sampai membuat kekacauan, atau Ibu akan meletakkan kotoran ayam di tempat tidurmu malam ini."

Konyol memang. Terdengar menjijikkan juga. Memangnya ada yang ingin tidur bersama dengan kotoran ayam? Mencium aromanya saja mampu membuat perutnya bergejolak.

"Jadi, apa maksudmu kemari?" tanya Jinan membuka percakapan di antara keduanya. Jimin yang hendak menyeruput cokelat panas untuk kedua kaliya mendesah pelan sebelum meletakkan kembali cangkir yang ia pegang.

"Memangnya aku tidak boleh berkunjung? Lagipula, kau ini sepertinya benci sekali  denganku, ya? Bukankah sebelum kau mengetahui aku sahabat dari Taehyung kau bersikap biasa-biasa saja?"

Telak. Jinan diam. Benar apa yang Jimin katakan. Jemarinya yang ia letakkan di atas paha bertaut cemas. Aku harus menjawab apa?

Mungkin Dewi Fortuna sedang berpihak pada Jinan, sebab selang berapa detik kemudian, bel berbunyi. Sebelum ia bangkit menuju pintu, seseorang yang bertamu malah masuk dengan tergesa-gesa. Senyum hangat terpatri di bibir Jinan saat mengetahui Yoongi datang di waktu yang sangat tepat. Sedangkan Jimin hanya bisa menatap sebal pada sosok yang ia temui tempo hari.

"Oh, kau tidak bilang kalau kita akan kedatangan satu tamu lagi." Yoongi melepas mantel yang melekat di tubuhnya. Sedikit melirik pada Jimin yang menatapnya bagaikan kuman yang harus segera dibasmi. Tapi Yoongi tak acuh. Ia tidak peduli.

"Baiklah, sepertinya kehadiranku di sini mengganggu kalian berdua. Aku akan pamit. Sebelumnya, kuharap kau memaafkanku."

Segera Jimin bangkit, menghentak marmer dingin yang tengah dipijaknya dengan kasar sebelum mengambil langkah menjauh. Jinan sedikit mengernyit kala mendengar pemuda itu mengucapkan kata maaf. Itu terasa ambigu, sungguh. Namun tak berselang lama, suasana menjadi kacau balau. Suara tembakan berasal dari bagian dapur, tentu Jinan tersentak dan berteriak panik. Ibu berada di dapur.

Namun sebelum ia sempat melangkahkan kakinya, Jimin lebih dahulu melingkarkan lengan kekarnya di sekitar leher Jinan. Perempuan itu tidak bisa bernapas dengan baik. Beberapa kali ia mencoba melawan dengan cara menginjak kaki milik Jimin atau sekadar menggigit lengan yang melilitnya, tetap saja Jimin tidak goyah. Bahkan laki-laki itu semakin mempererat lengannya, membuat Jinan benar-benar kehabisan napas.

Di sudut matanya, Jinan bisa melihat Yoongi sudah terkapar dengan suntikan tertancap di lehernya. Jinan yakin laki-laki itu tidak mati, tapi ini semua benar-benar membuatnya ingin menangis. Ditambah ia tidak tahu menahu dengan keadaan ibunya di dapur.

Derap langkah samar membuat Jinan menghentikan aksi meloloskan diri. Kini ia sudah tahu siapa dalang dari ini semua. Taehyung, tentu saja.

Laki-laki jangkung itu tersenyum di ujung sana dengan tangan kanan yang memegang sebuah revolver hitam metalik yang mengeluarkan sedikit asap. Tidak, Ibu tidak mati. Sekuat tenaga Jinan berusaha menahan tubuhnya yang terasa lemas, ia tidak sanggup jika menerima kenyataan kalau ibunya benar-benar mati dalam keadaan seperti ini.

Tenggorokannya tercekat, seakan ada sebuah pisau tajam yang bersarang di dalam rongga mulutnya. Jimin masih menahannya, namun lengan yang berada di depan leher Jinan sudah beralih pada kedua tangan perempuan itu. Iris Jinan menatap sayu sosok Taehyung yang perlahan berjalan mendekatinya. "Apa yang kau inginkan, Tae?"

"I want you, Ji. Your body under mine."

Straight to Hell | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang