Rasanya baru kemarin sore Jinan bersantai-santai di kanopi depan rumahnya dengan segelas lemon di tangan. Menikmati angin sepoi-sepoi yang menerbangkan surai hitamnya. Kali ini, musim berlalu lebih cepat dari biasanya, kiranya begitu pikir Jinan saat kedua tungkainya menapak peron kereta api.
Benaknya berkata kalau ini bukanlah hal yang benar, melarikan diri dari kepahitan hidup yang baru saja dijalani tentu sangat sulit. Jinan harus beberapa kali terjaga sepanjang malam demi memikirkan kelangsungan hidupnya. Terdengar picisan sekali, sih, seperti dirinya sudah menikah saja. Tapi, memang itulah yang sedang ia pikirkan.
Tak ada alat komunikasi apapun yang Jinan bawa selain ponsel lipatnya, benda itu bahkan sudah mati beberapa saat yang lalu setelah ia menelpon ibu untuk memberitahukan kepulangannya ke Pohang. Wanita paruh baya itu memekik kegirangan, membayangkannya saja Jinan mampu tersenyum, setidaknya ia bisa melupakan masalahnya selama berada bersama ibu.
Jejeran kursi berbalut kain berwarna biru telihat sudah terisi sebagian. Jinan mengedarkan pandangannya pada sudut kereta dan menemukan bagian sana masih kosong. Sepertinya orang-orang tidak terlalu suka duduk di tempat terpencil seperti ini, tapi ia malah menyukainya.
Sedikit menyeret langkahnya dengan malas, Jinan mendudukkan bokongnya di atas kursi. Nyaman, pikirnya. Hanya saja ia baru menyadar kalau jendela di sampingnya itu sedikit retak. Cukup berbahaya, tapi ia tak peduli. Anggap saja Jinan tidak menyadarinya.
Setelah cukup lama duduk tanpa melakukan hal apapun selain bersandar dan memejamkan kedua mata, Jinan merasakan pergerakan. Kereta sudah melaju dengan mulus.
Dibukanya mata yang sedari tadi terpejam, mencoba mengintip sedikit pada kaca transparan yang menampilkan pemandangan luar.
Heck. Sejak kapan salju turun?
Kepingan putih rapuh itu turun perlahan, mengambang di udara lalu mendarat dengan aman di atas tanah. Ada juga beberapa yang menempel di jendela. Jinan berusaha menyentuhnya dari dalam tapi tindakannya itu malah diinterupsi seseorang.
"Permisi."
Jinan menyipitkan matanya. Di depan ada seorang nenek tua yang membawa keranjang rotan dengan tumpukan kue kering. Jinan yakin bahwa sedari tadi ia hanya diam dan tidak memanggil nenek ini. Ingin sekali mengabaikannya, tapi saat melihat iris biru cemerlang itu berkedip sebanyak tiga kali, Jinan malah melontarkan kalimat secara spontan, "Ya, ada apa?"
Nenek itu mengambil sesuatu dari balik keranjang. Jinan pikir nenek itu sedang menawarkan kuenya, tapi yang ia lihat malah sepucuk surat dengan pita merah muda terlilit di sisinya. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi pemuda di dekat pintu tadi menyuruhku untuk mengantarkan ini padamu."
Sebelum nenek itu pergi, Jinan sempat mengucapkan terima kasih.
Tunggu, bukankah nenek tadi mengatakan kalau ia disuruh seseorang? Lantas Jinan menyembulkan wajahnya ke samping, mengedarkan pandangan dengan netra yang menyipit. Akan tetapi. hasilnya nihil, tak ada orang yang mencurigakan. Hanya ada ada beberapa pasang keluarga yang sedang terlelap dengan nyaman, dan sekarang Jinan hampir menjerit ketakutan dalam keheningan.
Tidak ada siapa-siapa? Jadi, sebenarnya ini apa?
Apa sekarang masih ada hantu-hantu yang berkeliaran? Rasanya ini sudah abad kedua puluh satu, orang-orang pasti tidak akan percaya dengan hal semacam itu.
Kegelisahannya semakin menguat saat salju turun semakin lebat, udara dingin seakan siap membunuh siapa saja yang keluar malam ini tanpa baju tebal. Mantel bulu yang Jinan kenakan bahkan semakin dieratkan. Telapak tangannya nyaris membeku, pun ia lekas merogoh tas selempang miliknya yang tergeletak di atas meja; meraih sebotol jahe yang barangkali bisa membuatnya kembali hangat.
Saat ia hendak membuka tutupnya, botol tersebut sudah diangkat tinggi-tinggi oleh seseorang yang memakai pakaian hitam. Sedikit terkejut karena tangan mereka yang tak sengaja bersentuhan. Dingin sekali, bahkan lebih dingin dari milik Jinan.
Saat kesadarannya hampir kembali, Jinan menepis tangan orang tersebut. Setengah berteriak tanpa memikirkan kelanjutan yang ia perbuat, "Sialan kau! Ini minumanku, kalau kau ingin, beli saja sendiri!"
Sekiranya ada tiga pasang mata yang tadinya terlelap langsung duduk dengan tegap, memincingkan mata kesal pada Jinan yang dibalas anggukan singkat olehnya sebagai permintaan maaf.
"Woah, kau itu cari mati, ya?"
Sial, Jinan kira orang yang ada di depannya ini adalah pembunuh atau perampok yang bersiap menodongkan pisau lipat seperti di serial televisi yang ia tonton. Nyatanya ia hanya Yoongi. Ya, Min Yoongi.
"Kau menguntitku, ya!" tuding Jinan tepat di wajah pria itu. Yoongi terkekeh malas. Jemarinya menggenggam telunjuk Jinan yang tepat berada di depan hidung kecilnya, lalu menurunkannya perlahan.
"Hm, bagaimana cara mengatakannya padamu, ya?" ucap Yoongi sembari memegang dagunya seperti sedang berpikir keras.
Jinan tak habis pikir, bagaimana jalan pikiran Yoongi yang seperti ini. Menguntit? Ugh, dia bahkan sangat mirip dengan Jimin. Keduanya itu sama-sama penguntit.
"Tsk, kau memang penguntit, Yoon."
Mereka berdua tertawa. Senyum manis Yoongi mampu membuat Jinan bangkit dari rasa suntuknya. Sesekali ia meremas jemarinya yang hampir mati rasa. Padahal ini baru awal musim dingin, salju pun belum terlalu menumpuk di jalanan, tapi udara seakan mencekik tak ada habisnya.
Karena tingkat kepekaan Yoongi yang sangat tinggi bila berada di dekat Jinan, ia pun mengeluarkan sepasang sarung tangan dari mantel tebal yang dikenakan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun Yoongi menyodorkannya di hadapan Jinan yang tengah meniup-niup telapak tangannya sendiri.
Gadis itu melirik ke arah Yoongi. Mata pria itu terpejam, tapi tangannya sedang bekerja. Yoongi itu sebenarnya hangat. Tapi entah kenapa Jinan terlambat menyadari itu semua.
Dengan seulas senyum tipis, Jinan menyambut sarung tangan itu, memakainya dengan tergesa-gesa lalu dengan cepat menyelipkan ke dalam saku mantelnya sendiri.
Lagi-lagi Jinan teringat pasal surat itu.
Tunggu, apa Yoongi yang mengirim surat itu?
Sedikit ragu-ragu tangan Jinan menepuk pelan pundak Yoongi, dia berdeham pelan sebagai jawaban, menandakan bahwa dirinya masih terjaga penuh. "Apa kau yang mengirimiku surat?"
Iris Yoongi terbuka. Masih diam di posisi tanpa bergerak, namun Jinan yakin pria itu ingin mendengar penjelasan lebih lanjut darinya.
"Begini, kupikir kau yang menitipkan surat itu pada nenek tua tadi."
Yoongi menggeleng pelan. Tangannya berusaha menopang badannya guna memerbaiki posisinya agar lebih nyaman.
Menyadari raut Yoongi seperti itu, lantas Jinan sudah menyadari kalau bukan pria itu yang mengirim surat ini. Ada orang lain yang sepertinya sedang mengajak Jinan bermain tebak-tebakkan.
"Jadi kau tidak membaca suratnya, ya? Sial, aku bahkan harus melipat tanganku agar bisa bersembunyi dengan baik di bawah sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018