23 : Toxic relationship

2.3K 379 42
                                    

Ibu pernah bilang untuk tidak selalu memberikan kepercayaaan penuh pada seseorang, sekalipun ia adalah orang terdekatmu. Orang tidak bisa diduga. Mereka mempunyai pikiran yang mudah berubah. Bisa jadi sekarang dia temanmu dan besok harinya menjadi musuhmu.

Tepat saat di lorong rumah sakit itu. Jinan bisa merasakan Taehyung yang mendadak merasa gelisah. Laki-laki itu sesekali menggaruk tengkuknya yang mulai tertutup akan rambut panjangnya yang sudah melewati telinga.

Aroma penghangat ruangan yang khas dan aroma lemon dari pengharum ruangan menyeruak melalui indera penciuman. Entah kenapa rasanya sesak melihat Taehyung seperti ini. Gelagatnya nampak seperti ada yang ditutupi.

Dan dugaannya saat itu benar. Jimin sendiri yang mengatakannya. Membongkar semua rahasia Taehyung, mulai dari dirinya yang mengidap penyakit anxiety hingga kekasih gelapnya yang berada di Jerman. Jinan tahu. Hanya saja ia bingung, kenapa Taehyung berusaha mati-matian menutupi ini semua? Kenapa laki-laki itu bisa bertingkah bahwa yang ia lakukan adalah benar?

Seharusnya Taehyung melepaskan Jinan. Tidak perlu bertingkah layaknya pasangan yang sangat setia. Jinan tidak marah, sama sekali tidak marah. Ia hanya merasa sedikit kecewa. Dan ini sudah kedua kalinya ia dibuat kecewa. Sulit rasanya untuk membalikkan keadaan seperti semula.

Panggilan dari Taehyung yang masuk ke ponsel, Jinan abaikan. Pesan-pesan singkat tak juga ia balas. Bahkan saat laki-laki itu mencoba mengejarnya yang hendak menaiki bus, Jinan dengan lekas keluar dari dalam transportasi itu, berlari sekuat yang ia bisa dan menghampiri taksi. Meninggalkan Taehyung yang terengah-engah sembari menekan dadanya yang barangkali sakit.

Puncaknya malam ini, Taehyung menelponnya hingga ratusan kali. Jinan hanya bisa mengerang frustasi karena wajah Taehyung sedari tadi terus muncul di benaknya. Ia rindu dengan Taehyung, tapi rasa kecewanya lebih besar.

Hingga akhirnya Jinan sudah tidak kuat lagi. Persetanan dengan rasa kecewanya, ia merindukan suara Taehyung-teramat sangat. Ia ingin suara itu menyapa lembut pendengarannya. Memanggil nama Jinan sesekali atau bahkan menyanyikan lagu kanak-kanak dengan suara berat.

Hening. Telepon masih tersambung. Tidak ada sapaan. Jinan meremat ponsel miliknya. Menunggu dengan jantung yang berdegup begitu kencang, menanti sepatah kata yang terlontar dari bibir manis Taehyung.

Lima menit berlalu dengan hening hingga akhirnya Taehyung berkata dengan lirih, "Aku membutuhkanmu."

Sial. Sial. Sial.

Jinan menghempaskan ponselnya. Dengan lekas ia menyambar mantel tebal yang berada di belakang pintu lalu memasang sepatu boots berwarna cokelat tua. Udara begitu dingin hingga rasanya hampir menggerogoti tulang belulang. Tujuannya hanya satu, rumah Taehyung.

Persetanan dengan transportasi. Berlari mungkin jauh lebih cepat. Nyatanya, saat berlari kira-kira sejauh lima ratus meter, Jinan sudah tidak sanggup. Dadanya sesak. Terpaksa ia harus menunggu di pinggir jalan untuk mendapatkan taksi.

Tak butuh waktu yang lama untuk sampai di rumah Taehyung. Setelah membayar sejumlah uang, langsung saja Jinan menyambar pagar besi yang sudah berkarat itu. Memanggil nama Taehyung dengan nyaring.

Tak ada sahutan. Jinan berkali-kali melirik ke arah gembok yang melingkar di pagar ini. Tak ada cara lain untuk memasuki rumah ini selain memanjat, itu adalah pilihan yang terakhir. Beruntung pagar ini tidak terlalu tinggi. Hampir saja Jinan jatuh tergelincir saat menginjak lumut-lumut hijau itu. Sungguh, itu sangat buruk sekali bila terjadi. Salah-salah ia bisa mengalami Pendarahan hebat dan mati.

"Taehyung, kau di mana?"

Jinan mencoba menyusuri area rumah Taehyung. Lampu-lampu tidak ada yang berfungsi sama sekali. Berbekal cahaya dari layar ponselnya, Jinan mencoba memasuki satu persatu ruangan. Dan ternyata ada yang lebih mengejutkan dibandingkan menemukan Taehyung, mungkin.

Senapan panjang?

Samurai?

Pistol?

Sial. Untuk apa Taehyung mengoleksi benda-benda ilegal seperti ini?

Jinan berusaha untuk tidak terlalu memerdulikannya, yang terpenting adalah Taehyung.

Satu-satunya ruangan yang belum ia periksa adalah bilik kamar mandi. Firasat Jinan mengatakan kalau memang benar Taehyung berada di sana. Dengan sekali dorongan, pintu terbuka, menampilkan tubuh Taehyung yang berbaring di atas lantai yang basah. Air keran mengalir hingga membuat banjir ruangan ini, kira-kira setinggi mata kaki.

Jinan menghampiri Taehyung. Menepuk pelan pipi laki-laki tersebut beberapa kali sebelum membawanya ke tempat yang lebih kering.

Diperhatikannya wajah Taehyung yang benar-benar kacau. Memar di pelipis, mata yang menghitam dan juga sudut bibirnya yang terluka. Ini sungguh membuat Jinan hampir menangis. Tidak tega rasanya melihat seseorang yang masih berstatus kekasih dalam keadaan seperti ini, tak peduli jika Taehyung bahkan sudah mematahkan harapannya lagi terlebih dahulu.

"Tae," panggil Jinan lirih. Perempuan itu mati-matian berusaha untuk tidak menangis. "Aku di sini, Tae. Buka matamu." Tapi yang namanya perempuan pasti mudah menangis.

"Jangan putuskan aku Yess," racau Taehyung. Jemarinya berulang kali mencoba meremat pergelangan Jinan. Mengatakan dengan setengah frustasi dan hendak mengisak. Sedangkan sang perempuan hanya terdiam, Yess? Jinan yakin pendengarannya masih bagus. Yess? Hei, namanya Jinan bukan Yessa.

Kebenaran kembali terungkap. Sekarang Taehyung sendiri yang mengatakannya. Tepat di hadapan Jinan. Sandiwara apa yang sedang tengah Taehyung mainkan hingga rasanya ia ingin memberikan tepuk tangan yang meriah atas hal ini?

Jinan mencoba melepaskan jemari Taehyung yang semakin erat. Tidak ada gunanya ia di sini. Taehyung tidak benar-benar membutuhkanya. Atau hanya Jinan saja yang memang terlalu sayang pada laki-laki ini? Padahal bisa saja saat Taehyung menelpon ia menyebutkan nama Yessa tepat sebelum Jinan melempar ponselnya ke sembarang arah karena terlalu kalut akan kondisi kekasihnya.

"Lepas, Tae!"

Taehyung semakin menggila. Ia bahkan menarik baju Jinan-membuat perempuan itu terjatuh di atas dadanya. Dalam posisi seperti ini, Jinan bisa mencium aroma alkohol. Ah, laki-laki ini memang terlanjur busuk. "Lepaskan aku sialan!"

Iris Taehyung membuka lebih lebar. Telinganya langsung terbuka lebar saat mendengar kata sialan. Kedua mata itu memerah. Ini pertanda buruk. Sekali hempasan saja kini posisi sudah terbalik. Jinan terlempar dan terbaring di atas lantai. "Siapa yang kau sebut sialan?"

Sedikit demi sedikit Jinan bisa mengingat bagaimana beringasnya Taehyung. Kalau sewaktu dulu ia hanya bisa berdiam diri, tapi tidak kali ini. Jinan bangkit, ditariknya surai Taehyung hingga kepalanya mendongak. "Kau. Kau yang kusebut sialan!"

Straight to Hell | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang