Saat itu yang Jinan pikirkan adalah bagaimana ia bisa sampai ke puncak bukit dengan selamat tanpa hambatan apapun. Melewati jalanan terjal juga licin yang sewaktu-waktu bisa membuatnya tergelincir lalu jatuh ke bawah jurang yang terjal.
Tentu jika ia memiliki sebuah penerangan tak mungkin ia risau sendiri di kaki bukit sembari menggenggam ponsel lipat miliknya. Berjalan mondar-mandir dengan kaki yang sedikit terseok-seok.
Hatinya bedesir hebat tak kala ponselnya kembali bergetar, menandakan sebuah pesan singkat masuk. Dengan ragu, jemarinya ia arahkan untuk membuka pesan tersebut. Membaca sebuah kalimat singkat yang membuatnya semakin dirundung resah.
'Di sini dingin.'
Well, Jinan sama sekali tidak mengerti apa yang orang ini inginkan darinya? Awalnya mengatakan kalau ada sesuatu yang perlu diselesaikan dengan segera. Jika saja tidak ada ancaman di akhir pesan itu, tak mungkin Jinan akan bangkit dari tugas kuliahnya lalu menyambar jaket tipis di belakang pintu. Menyusuri jalan setapak yang lengang juga sedikit berlumpur.
Menjijikkan. Jinan dapat Melihat dengan jelas bagaimana lumpur berwarna cokelat mengotori sandal rumahannya hingga melebar ke bagian jemari kaki.
Dengan ragu Jinan perlahan mulai melangkah sedikit demi sedikit menuju puncak bukit. Mencoba mengesampingkan rasa ragunya ketika mengingat ancaman yang tertera di sana. Itu sungguh menakutkan. Membunuh jika tidak datang. Mungkin jikalau ini hanya lelucon mungkin tidak apa-apa, lantas bagaimana kalau itu memang benar adanya.
Tidak, biarkan Jinan menikmati hidup lebih lama. Ia tidak ingin mati konyol hanya gara-gara pesan bodoh. Ya, setidaknya jika ia menemui orang ini, ia akan selamat. Mungkin. Bisa juga tidak.
Hawa dingin menggelitik di balik baju dan jaket tipis yang Jinan kenakan. Semilir angin malam pertengahan musim gugur membuatnya menggigil pelan. Bahkan saat ini tak ada satu pun binatang malam yang berbunyi. Padahal di malam-malam sebelumnya Jinan yakin kalau makhluk kecil tersebut berlomba-lomba bernyanyi di sekitarnya.
Sesekali Jinan menginjak jalan yang salah, hampir membuatnya terjerembab namun masih bisa bertahan. Mencoba merutuki dirinya karena terlalu bodoh mengambil keputusan untuk melewati jalan. Namun sungguh, itu tidak membantu sama sekali. Jalanan ini terlalu gelap. Penerangan hanya berpegang pada bulan sabit yang melengkung sempurna di atas sana, bersanding dengan beberapa kerlap-kerlip bintang yang bersinar redup.
Biasanya jika pergi saat pagi atau petang, hanya membutuhkan sekitar lima sampai sepuluh menit untuk sampai. Kali ini, tepat jam 10 malam tanpa penerangan yang cukup, Jinan harus menempuh sekitar 20 menit untuk sampai di atas sana. Bahkan nyamuk-nyamuk nakal mulai menggigiti lengan pucatnya. Semakin membuat kesal saja.
Hingga akhirnya Jinan berhasil melihat pohon pir yang terletak di atas sana. Ya, walaupun hanya berupa batang dengan ranting tanpa daun apalagi buah yang menggantung di sana. Ia sadar bahwa sekarang bukanlah musim panas yang merupakan waktu yang cocok untuk memetik sebutir buah pir. Melainkan musim gugur, pembawa segala dedaunan kering yang akan mengotori halaman rumah.
Jinan sadar ada objek lain yang berdiri di samping pohon itu. Tubuhnya membelakangi Jinan. Postur tubuh yang bisa dibilang sangat tinggi dibanding tubuhnya yang sangat kecil. Apalagi ia sedikit melihat helai rambut yang berwarna perak itu tersapu terbawa angin. Entah kenapa hati Jinan jadi berdebar.
Menutup sejenak kedua mata lalu menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan seraya melangkahkan kaki mendekat. Sebisa mungkin berjalan tanpa menimbulkan suara, namun suara husky itu menyapa telinganya.
"Kau datang?"
Sontak kalimat itu membuat Jinan membeku di tempat. Mencoba mencerna dengan benar apa yang baru saja ia dengar. Perlahan gadis itu mencoba merilekskan seluruh alat geraknya, lalu berucap pelan, "Tentu. Bukankah kau yang ingin bertemu denganku?"
"Ya, aku memang ingin bertemu denganmu, Ji."
Ji? Apa orang ini mengenalku? Sungguh menggelikan jika ada orang asing yang tiba-tiba tahu namanya. Jinan jadi penasaran siapa orang ini. Tak mungkin rasanya jika orang asing. Tentu orang ini adalah orang yang pernah ia kenal. Dulu, yang sudah terlupakan.
"Kau tahu namaku?" Itu hanya kalimat pancingan murahan yang Jinan lontarkan guna si lawan bicara mengungkap jati dirinya saat ini juga.
Kekehan kecil terdengar dari bibir orang itu. "Tentu, bagaimana bisa aku melupakanmu, Jinan sayang."
Dan saat itu juga, Jinan sadar. Tak seharusnya ia meninggalkan tugas kuliahnya lalu pergi ke puncak bukit. Seharusnya ia mengabaikan pesan singkat itu. Pesan konyol yang sangat ia sesalkan karena telah membuang waktunya secara percuma. Orang yang membawa ke neraka, kembali datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfic[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018