09 : Leaving

3.7K 591 36
                                    

Pagi hari menyapanya dengan cerah. Tak ada gumpalan awan hitam pekat seperti kemarin senja. Hanya matahari yang bersinar tak terlalu terik dengan awan putih tipis yang berarak tersapu tiupan angin musim gugur. Jinan menarik selimutnya ke bawah. Membawa tubuh ringkihnya ke kamar mandi dengan rasa malas yang masih tersisa sedikit.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, dengan lekas ia memakai pakaian casual seperti biasa. kemeja stripe hitam putih dan celana jeans biru dongker. Menyambar tas punggung yang tergantung di belakang pintu lalu bergegas ke luar rumah tanpa sarapan.

Lupakan sarapan. Yang terpenting ia bisa masuk kelas tanpa ada kata terlambat. Itu sungguh memalukan.

Terakhir kali Jinan terlambat, ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas dan berakhir dengan tugas tambahan yang diberikan dosen tanpa tanggung-tanggung. Membuat makalah tentang ekosistem tumbuhan setebal 100 halaman. Mampu membuat Jinan layaknya orang kebakaran jenggot, berlari-lari ke perpustakaan secara berulang kali dalam kurun waktu 3 hari lamanya hanya untuk mencari referensi yang pas dengan materinya.

Biarkan itu menjadi yang terakhir, pikirnya.

Jinan tiba di halte seberang. Duduk manis dengan tas yang ia lepaskan dan ditaruh ke pangkuannya. Mengambil sebuah catatan kecil lalu membuka lembarannya perlahan. Hari ini kuis akan berlangsung. Dan sayang beribu sayang, Jinan tidak sempat membaca bukunya tadi malam karena ia masih merasakan pening sehabis sakit yang dideritanya.

Rasanya sudah hampir lima belas menit ia duduk di sini namun belum ada bus yang lewat. Dengan gusar Jinan kembali melirik ke arah pergelangan tangannya, 30 menit lagi kelas akan dimulai. Semuanya bisa kacau jika ia tidak mendapat bus dalam sepuluh menit ke depan.

Jinan menyampirkan kembali tas punggungnya. Dengan secuil harapan, ia pun bangkit dan memutuskan berjalan kaki sembari menunggu kalau-kalau ada taksi yang lewat.

Buliran keringat mengalir di pelipisnya. Ah, Jinan juga sadar kalau ia belum sarapan. Ia merasa lelah hanya dengan berjalan tak kurang dari 200 meter. Ya, Jinan memang payah. Sangat payah.

Walau sedikit enggan—mengingat waktu yang tersisa tidak banyak, Jinan kembali memutuskan untuk duduk di pinggir jalan. Menatap lalu lintas yang tidak begitu ramai. Irisnya menerawang ke depan pada sebuah minimarket yang sepi pengunjung, menaruh sedikit harapan kalau saja ia bertemu dengan teman satu kampus lalu bisa ikut menumpang.

Tapi bukannya teman satu kampus yang menghampiri, malah Jimin si laki-laki penjaga toko buku. Seulas senyum manis kembali dilontarkan. Kedua tangannya terlihat membawa bungkusan plastik yang sama sekali tidak Jinan ketahui.

"Hei, Ji. Kenapa masih di sini? Tidak pergi ke kampus?" tanya Jimin sembari menengok ke samping kanan lalu menyebrang jalan dengan hati-hati.

Jinan hanya tersenyum miris. Lantas otaknya berpikir bagaimana kalau minta bantuan Jimin saja. Tapi, sepertinya Jimin tidak membawa kendaraan, buktinya ia menghampiri Jinan dengan berjalan kaki. Huh, bagaimana ini?

"Eum ... kurasa hari ini aku tidak pergi ke kampus," ucap Jinan dengan lesu. Semangat dalam dirinya perlahan menguap bersamaan dengan sinar matahari yang mulai meninggi.

Jimin meletakkan bawaannya di atas trotoar. Mendekat lalu duduk di samping Jinan. "Kenapa? Kau tidak belajar karena hari ini ada kuis?"

Mungkin tebakan Jimin ada benarnya juga, sebab ia baru saja membaca catatannya tadi—beberapa menit yang lalu. Tapi masalah utamanya bukan itu. Pun Jinan menggeleng pelan, surai miliknya yang terurai ikut terbawa bersama gerakan tersebut. "Tidak. Ah, maksudku mungkin ya. Tapi saat ini tidak ada satu pun bus yang lewat. Aku tidak tahu harus pergi pakai apa." Jinan kembali tersenyum miris pada dirinya sendiri.

"Memangnya kau tidak meminta Taehyung untuk mengantarmu?"

Jinan mengangkat wajahnya, menatap Jimin dengan raut bertanya. "Tunggu ... kau kenal dengan Taehyung?"

Jimin menganggukkan wajahnya beberapa kali sebelum kembali menyahut, "Tentu. Aku mempunyai hubungan yang cukup dekat dengannya."

Jinan tercenung memikirkan kalimat yang baru saja Jimin katakan. Hubungan yang cukup dekat. Benarkah? bahkan dirinya tidak tahu-menahu sama sekali tentang hal ini. Apa karena sifatnya yang tidak mau peduli dengan orang lain yang membuatnya seperti ini?

Lamunan Jinan terhenti saat Jimin berucap dengan cukup keras, tangannya pun ikut menepuk keningnya sendiri. "Astaga, aku lupa, Ji. Taehyung pergi kemarin malam. Maaf baru memberi tahumu."

Taehyung pergi?

Straight to Hell | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang