Well, Jimin tidak pernah mengungkapkan rasa bencinya pada siapa pun. Semenyebalkan apakah orang tersebut, Jimin pasti akan menanggapinya dengan seulas senyum, matanya bahkan menyipit daripada biasanya. Iya, mungkin itu dulu. Tapi untuk sekarang, Jimin harus menarik ucapannya. Memangnya siapa yang tidak kesal jika ada seseorang yang menyuruhmu pergi ke kebun strawberry di tengah musim dingin seperti ini? Walaupun kebunnya berada di dalam ruangan besar yang memiliki atap guna menahan salju yang turun, tapi tetap saja itu tidak berguna jika dindingnya hanya berandalkan dengan jaring-jaring dari tali kuat yang mengelilingi tiang penyangga.
Rasanya Park Jimin hampir terkena hipotermia. Separuh dari alat geraknya terasa kebas. Berkali-kali pemuda itu meniup telapak tangannya; membuat kehangatan kecil yang nyatanya tak berguna sama sekali. Udara dingin masih bisa menyelip di sela-sela mantel dan syal rajut yang ia kenakan. Dalam hatinya ia berusaha untuk tidak merutuki laki-laki yang bernama Taehyung.
Sebab ini semua perintah Taehyung. Seharusnya ucapan Jinan saat itu menjadi akhir dirinya menjadi seorang mata-mata. Nyatanya ia masih di sini, berusaha bersembunyi di balik tumbuhan yang memiliki buah berwarna merah mencolok. Tidak, di sini ia tidak mengintai Jinan. Tetapi Yoongi.
Sebelum Taehyung hendak memukul tiang setelah kepergian Jinan yang tentunya melukai segenap hati dan raganya, Jimin datang. Ia tidak sendiri, tapi ada sosok yang Taehyung kenal. Yoongi. Laki-laki pucat itu rasanya hampir mirip dengan kepingan salju yang mulai menumpuk di sisi rel kereta. Taehyung menarik kepalan tangannya, mengernyitkan kening saat menyadari bahwa laki-laki bermarga Min itu sedang melakukan hal yang tidak sopan pada sahabat karibnya.
Lantas Taehyung bergegas menuju Jimin, menarik pemuda itu ke sisinya agar terlepas dari cengkraman Yoongi di sekitar kerah kemeja yang dikenakan. "Sial. Kenapa kau memerlakukannya seperti itu? Dia bukan anjing!"
Yoongi tersenyum sinis. Merasa cukup tertarik dengan suasanya yang baru saja terbentuk. Sepertinya perkelahian singkat akan menghangatkan udara di sekitar yang hampir menyentuh titik sepuluh derajat celcius. "Oh, ternyata dia temanmu, ya?"
"Menyingkir sekarang sebelum aku memukul kepalamu hingga tewas."
Yoongi tergelak. Ini lucu, sumpah. Lelucon yang baru saja Taehyung lontarkan seakan menggelitik isi perutnya. Sekilas Yoongi melirik ke arah tangan Taehyung yang mengepal. Hm, ia jadi ingin merasakan bagaimana pukulan itu mengenai rahangnya, dan tentunya Yoongi sama sekali tidak gentar. Pasalnya dari sekali lirikan saja ia tahu bahwa pukulan itu terlihat lemah. Seperti seorang pengecut.
"Baiklah Tuan Kim. Sampai jumpa di lain waktu." Taehyung menggeram, berusaha menahan amarahnya yang benar-benar berada di batas ambang. Melihat reaksi lawannya sesuai dengan apa yang ia harapkan tentu Yoongi merasa sangat senang. Sekali lagi ia berusaha menggoda Taehyung sebelum benar-benar meninggalkan dua insan itu dalam senyapnya malam, "Terima saja nasibmu, Bung. Inilah akibatnya jika kau merebut apa yang bukan hakmu."
Malam itu juga, tidak, pagi buta itu juga, Taehyung melecutkan tangannya yang mengepal itu pada sebuah tiang besi terdekat yang sempat tertunda, merasakan nyeri yang seketika membuat sarafnya mulai berhenti bekerja. Memar biru berada di buku-buku jari Taehyung. Menyakitkan memang, tapi lebih sakit lagi jika mengingat fakta bahwa Jinan telah menganggap semuanya berakhir.
Tiba-tiba Taehyung tersenyum, entah itu bisa disebut senyum atau lebih layak disebut seringaian. Sebisa mungkin ia menegakkan tubuhnya dan Jimin yang masih setia berada di belakang tubuh Taehyung tersentak kaget. Terlebih saat suara laki-laki itu berubah lebih berat daripada biasanya. "Kau. Kemari!"
Seakan menjadi anak yang penurut, dengan lekas Jimin mendekat. Meneliti raut wajah Taehyung yang saat ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
"Kumohon tetap bersamaku di sini. Awasi Yoongi. Aku perlu tahu rencana ia yang selanjutnya. Aku harus membunuhnya sebelum ia membunuhku." Jimin bergidik ngeri saat mendengar kata bunuh membunuh. Oh ayolah, Jimin itu paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau darah atau penyiksaan. Irisnya berkali-kali mengedip saat udara dingin di sekitar menggelitik bulu matanya dan seketika langsung membola karena mendengar satu hal yang tidak terduga lainnya, "She's mine. Tidak ada yang bisa memilikinya selain diriku. Bahkan jika takdir mengatakan hal yang lain, aku bersumpah akan menentangnya."
Lagi, Jimin menghela napas pelan kala bau kotoran mulai menyengat penciumannya. Sepertinya pupuk ini baru di buat beberapa hari yang lalu, terbukti dengan teksturnya yang masih lembek dan juga baunya yang luar biasa. Jika bisa, Jimin pasti akan muntah di sini, sekarang juga. Sayangnya ia mengurungkan niatnya kala objek yang ia amati bergegas mengambil ponsel di saku celanaya.
"Oh, hai, Ji. Bagaimana kabarmu?"
Jimin memasang telinganya baik-baik, mencoba merekam percakapan tersebut pada ponsel yang telah ia keluarkan beberapa detik yang lalu. Taehyung perlu mendengar percakapan ini, harus.
"Benarkah? Syukurlah. Kupikir bajingan itu akan memaksamu untuk ikut bersamanya."
Bajingan? Ah, Jimin bisa menyimpulkan kalau itu adalah Taehyung.
"Kau ingin bertemu denganku? Di cuaca seperti ini?"
Yoongi berusaha mengontrol ekspresinya kala ia merasakan rasa asam akibat menggigit ujung dari buah strawberry yang ia petik. "Tidak, bukan begitu. Baiklah, kau bisa mengirim lokasinya padaku."
Sambungan telpon terputus. Jimin benar-benar tersenyum puas akan rekaman yang ia dapatkan. Ia bertaruh Taehyung akan senang dan barangkali mau mentraktirnya makan di restoran ternama akibat kebehasilannya ini.
"Well, Taehyung, kuharap kau bisa menjadi penguntit yang andal."
Tunggu, apa Yoongi baru saja menyebutkan nama Taehyug?
Sial, bukankah Taehyung berada di penginapan karena harus menerima perawatan kecil pada tangannya akibat pukulan yang ia lakukan? Tapi, sepertinya Taehyung telah membohonginya. Laki-laki itu malah keluar dari persembunyiannya yang tidak jauh dari Jimin. Berusaha merutuk pada dirinya sendiri yang bahkan tidak menyadari hal itu sedari tadi.
"Masih tidak bisa menerima fakta, huh?"
Dari sini Jimin bisa melihat Taehyung yang terdiam. Namun, diamnya Taehyung itu memiliki seribu makna yang tidak bisa Jimin ungkapkan. Terlalu buram untuk sekadar menganalisanya.
"Aku hanya menginginkan apa yang pernah menjadi milikku kembali lagi dalam genggamanku."
Yoongi menyilangkan tangannya di atas dada, irisnya ia arahkan pada seekor anak kucing yang bersembunyi di dekat pot bunga. Bahkan rasanya melihat binatang lebih baik dibanding melihat wajah Taehyung. Dan tadi apa katanya? Miliknya?
"Jaga ucapanmu, Bung. Tidak usah mencap sesuatu yang bahkan bukan milikmu."
"She's mine, Dude. Kau bahkan tidak mengetahui fakta bahwa kami bercinta setiap malamnya. Maka dari itu, dia milikku." Yoongi diam. Mencoba mencerna semuanya baik-baik di dalam otak. Ia tidak ingin gegabah. Pada kesempatan kali ini ia tidak boleh kalah dari Taehyung.
Tidak ada raut terkejut sama sekali yang terukir dari wajah pucat Yoongi, laki-laki itu hanya mengendikkan bahunya singkat, membuat obrolan semakin memanas mungkin akan menarik. Ya, sangat menarik. "Begitu, ya? Aku sudah mengetahuinya. Tapi, apa kau tahu ..."
Sial sekali. Taehyung benar-benar murka dengan wajah congkak dari Min Yoongi. Berusaha menggantungkan ucapannya yang sangat Taehyung nantikan. Jantungnya seolah berlomba-lomba berpacu lebih cepat. "Apa kau tahu jika aku juga pernah bercinta dengannya? Oh, asal kau tahu juga, bukan aku yang meminta, tapi dia sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018