26 : Collapsed

2.2K 376 16
                                    

Jinan tidak begitu yakin kapan terakhir kali ia bisa tidur dengan nyenyak seperti ini. Mungkin dirinya yang sudah terlalu letih akibat perjalanan yang memakan waktu cukup lama, atau bisa juga terlalu malas untuk mendengar laki-laki bernama Yoongi ini beceloteh pada Jimin yang mengenyitkan keningnya heran, maka dari itu ia lebih memilih memejamkan mata, menutup pendengaran dan menuju alam bawah sadar.

Sekitar lima belas menit kemudian Jinan terbangun, merasa begitu pegal karena kepalanya bersandar miring dalam waktu yang cukup lama. Suasana mulai senyap, tidak ada lagi umpatan kasar Yoongi yang terlempar di udara. Cukup penasaran kenapa tidak ada yang bersuara, Jinan pun berusaha melirik ke sebelahnya.

Tidak ada yang menarik, Yoongi yang terlelap dengan tangan disilangkan di atas dada dan juga Jimin yang kini sibuk dengan ponsel di tangannya.

Embus napas keluar dari mulut Jinan, perempuan itu mendadak mengingat sosok Taehyung. Entah kenapa setiap ia melirik wajah Jimin, pasti ia akan mengingat wajah Taehyung melalui rahang tegas Jimin yang nampak seperti pisau, begitu tajam hingga rasanya jika Jinan meletakkan jari telunjuknya di sana pasti akan terluka.

Jimin ternyata menangkap iris Jinan yang sedang menatapnya dengan sendu. Diletakkannya ponsel yang ia mainkan sedari tadi pada saku celana lalu berdeham pelan sebelum berkata dengan pelan, takut membangunkan Yoongi yang ternyata galak setengah mati padanya, padahal saat berbicara dengan Jinan, laki-laki itu bahkan merendahkan suaranya, menyebalkan sekali. "Kau benar-benar belum membacanya, ya?"

Jinan tersentak kaget. Sebegitu pentingnya 'kah isi surat itu hingga ia harus membacanya? Jadi, dengan menganggukkan kepala sebanyak dua kali, pun jemarinya yang ia tautkan satu sama lain karena udara semakin dingin, Jinan menyahut, "Lagipula suratnya sudah kubuang."

"Kau gila? Oh, Tuhan. Surat itu benar-benar penting, Ji. Kau harus membacanya."

Jimin mengusap surainya ke belakang dengan setengah kesal. Well, Jinan jadi semakin penasaran dengan hal itu. Sayang sekali kertas tersebut sudah ia gumpal menjadi bola dan membuangnya tanpa sepengetahuan Jimin sebelum ia memutuskan untuk tidur sejenak.

Di sisi lain, Jimin nyaris berteriak, tak habis pikir dengan jalan pikiran Jinan. Ini sungguh keputusan yang tidak adil, sebab Jinan membuang suratnya tanpa membacanya terlebih dahulu. Ia sendiri memang belum membaca surat itu, sebab ia menghargai urusan yang bersifat pribadi. Tapi sebelum Jimin menaiki kereta ini, Taehyung mengatakan kalau surat itu bukan hanya sekadar secarik kertas yang ia tulis dengan setengah hati. Ini ada sangkut pautnya dengan hal yang Taehyung alami selama ini dan juga tentang permohonan maaf.

Jimin tahu, seharusnya dirinya tidak ikut campur masalah Taehyung dan Jinan sejauh ini. Tapi satu hal, Taehyung itu sahabat baiknya, dan sudah seharusnya sebagai seorang sahabat harus saling menolong.

"Kau tahu, Ji, melarikan diri dari kenyataan yang kau hadapi tentu bukanlah satu-satunya pilihan yang kau miliki."

Jinan menggeleng lemah, terlalu malas untuk membuka suara dan kembali membahas masalah yang sedang ia hadapi. "Aku hanya lelah."

Iris Jimin bergerak gusar. Ia memajukan bokongnya sedikit ke depan agar suara mereka dapat terdengar jelas karena sedari tadi beradu dengan suara gesekan rel yang cukup nyaring. "Ini bukan masalah kau lelah atau apa. Semua orang juga lelah. Tidak kau saja, tapi Taehyung juga. Aku di sini tidak bermaksud membela Taehyung, aku hanya menyampaikan pendapat yang kumiliki." Jeda sejenak, Jimin memberikan waktu untuk Jinan yang kini menundukkan kepalanya. "Selesaikanlah masalah kalian sebelum semuanya terlambat."

Terlambat, ya?

Tapi, bukankah semuanya memang sudah terlambat?

Jinan mengangkat wajahnya, sirat sayu penuh akan keputusasaan bisa Jimin lihat dengan begitu jelas. "Kau diam saja, tidak usah ikut campur urusanku dengannya."

Laju kereta mulai melambat, orang-orang di depan mulai terbangun dari tidurnya, membuka mata dengan enggan lalu bersiap akan turun jikalau kereta sudah benar-benar berhenti. Begitu pula Jinan, ia mulai mengambil koper miliknya yang tersimpan di atas. Jimin awalnya hendak membantu namun langsung ditepis Jinan. "Tidak usah. Aku bisa sendiri"

Sebelum benar-benar pergi meninggalkan Jimin yang masih di posisi dengan sekelumit rasa penasaran yang membuncah di dada, pula juga Yoongi masih terlelap tenang, Jinan berusaha membenarkan letak mantelnya, melepaskan sarung tangan milik Yoongi yang sedari tadi ia pakai lalu berucap dengan dingin, "Kau bilang surat itu penting, aku berani bertaruh itu pasti dari Taehyung, bukan? Kau harus tahu kalau aku dan Taehyung memang sudah berakhir." Mati-matian Jinan berusaha menahan air matanya yang hendak meluncur bebas. "Jadi, kurasa tugasmu sudah selesai. Tolong jangan ikuti aku lagi."

Tungkai Jinan perlahan berjalan melewati Jimin yang tadinya bersiap hendak mengejar Jinan, tapi usaha itu ia urungkan tatkala melihat bagaimana perempuan itu mengambil langkah demi langkah. Jinan benar, tugasnya sudah berakhir. Lantas dirinya kembali duduk, mencoba meraih ponselnya dan menelpon sesorang.

Dengan tenaga yang masih tersisa, setengah menyeret kedua kakinya yang mulai memberat, Jinan berbelok ke arah kiri menuju toilet. Kiranya mencuci wajah sejenak bisa menghapus bekas air matanya bersamaan dengan rasa bersalah yang bercokol di hati.

Kelewat aneh memang, tapi Jinan merasa ia juga bersalah pada Taehyung. Ia kembali mengingat saat laki-laki itu tergeletak di atas lantai, terlihat begitu lemah dan tidak berdaya, seolah-olah nafsu untuk hidupnya sudah menguap ke udara. Tidak seharusnya Jinan meninggalkan laki-laki itu dalam keadaan yang begitu rapuh.

Tapi kembali lagi, ini masalah hati, masalah yang paling sensitif. Kendati dirinya sudah disakiti oleh Taehyung berkali-kali, apa daya jika Jinan masih memiliki secuil rasa sayangnya pada laki-laki itu.

Mungkin karena terlalu banyak menghabiskan waktu menangis di dalam toilet membuat perut Jinan sedikit mual, matanya jelas merasa berkunang-kunang. Kau kuat, Ji. Setidaknya itulah kalimat yang ia sebut berkali-kali di dalam hati, sebab rumah ibu masih jauh. Pingsan di tempat seperti ini sungguh bukan pilihan yang tepat.

Jinan mendadak mengernyitkan kening kala irisnya yang menyipit itu mendapati presensi tubuh Taehyung yang sedang bersandar pada salah satu pilar. Tubuh tinggi itu mulai berjalan mendekat ke arahnya. Jinan ingin melarikan diri, tapi kakinya seakan terpaku begitu erat.

Dekapan hangat itu mendadak Jinan rasakan. Tubuhnya sejenak menegang kala napas memburu itu mengenai ceruk lehernya. "Aku hampir gila rasanya."

Gila?

Jinan bahkan merasa dirinya sudah gila terlebih dahulu sejak mengetahui hal yang sebenarnya. Dirinya masih diam, tidak berniat membalas pelukan Taehyung atau melepaskannya. Ini terasa begitu aneh, pelukannya mendadak menjadi asing bagi Jinan.

"Jangan pergi, Ji. Jangan." Jinan masih membisu dengan Taehyung yang kini memeluknya dengan gemetar. Jinan sadar, laki-laki ini menangis. "Aku akan memperbaiki kesalahanku, beri aku kesempatan, Ji."

Jemari Jinan perlahan mengambang di udara lalu mendarat di pundak Taehyung sementara. "Aku sudah memberikannya waktu itu."

Sakit. Sakit sekali rasanya. Lidah Jinan kelu saat mengucapkan kalimat itu. Ia tidak bisa langsung mengambil keputusan dengan cepat seperti halnya memberikan kesempatan lain untuk laki-laki ini. Dan juga, ini bukan pertama kalinya Taehyung melukai hati Jinan. Jadi, sulit baginya untuk kembali menaruh kepercayaan, sebab Jinan tidak ingin lagi kembali jatuh.

"Aku tahu ini berat. Tapi kurasa hubungan kita telah berakhir."

Straight to Hell | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang