Min Yoongi masih ingat bagaimana jemari Jimin dengan cepatnya meluncurkan sebuah suntikan yang berisi obat bius tepat di titik terlemahnya. Bahkan sebelum kesadarannya ditarik begitu saja, ia bisa melihat punggung Jimin yang berada di depannya, menarik Jinan dalam kukungannya. Ia ingin bertindak. Namun, cairan sialan ini terlalu kuat. Yoongi bahkan tidak mampu melangkahkan kaki barang sedikit pun. Otaknya tidak lagi befungsi dengan benar seiiring dengan tubuhnya yang terkapar di atas lantai.
Butuh waktu sekitar dua jam bagi Yoongi untuk bisa tersadar sepenuhnya. Iris kelamnya berpendar ke seluruh penjuru ruangan. Kosong. Semuanya kosong. Tidak ada Jimin, tidak ada Jinan. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih ingat dengan jelas kedua insan itu tengah berada di hadapannya. Tunggu, jam berapa sekarang? Lantas Yoongi mengalihkan atensinya pada rolex hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Jam lima sore. Sial, ini sudah hampir senja.
Setelah menerka-nerka apakah ia bisa bangkit, Yoongi pun mencoba berpegangan pada sebuah nakas kecil yang terdekat dari posisinya. Kakinya masih lemah, ditambah kepalanya yang sedikit pening karena terbentur dengan ubin begitu keras.
Perlahan, laki-laki itu berjalan menuju dapur. Tempat awal kericuhan terjadi. Dan tepat di atas meja makan, ada Ibu Jinan yang tengah tak sadarkan diri dengan tangan yang terikat. Suasana di dapur sangat mengerikan. Pecahan kaca yang berserakan di lantai, alat-alat makan yang berjatuhan, juga air keran yang terus mengalir hingga membuat sebagian lantai basah. Jelas Yoongi dengan cepat mendekat ke arah Ibu Jinan, menggoyangkan bahu wanita paruh baya tersebut dengan sedikit tergesa-gesa. "Bibi, bangun!"
Berkali-kali Yoongi mencoba menyadarkan Ibu Jinan namun hasilnya nihil. Untungnya kekuatannya sudah pulih dengan cepat, maka dari itu ia memindahkan wanita tersebut ke atas punggungnya setelah melepaskan tali yang melilit di tangan beliau. Pun Yoongi bergegas menuju klinik terdekat, meninggalkan kekacauan yang mengerikan terkunci di dalam rumah.
Ini sungguh bukan yang Yoongi harapkan. Semua yang terjadi ini sungguh peristiwa yang perlu ia garis bawahi sebagai kesalahan yang tidak disengaja. Yoongi tidak menyangka jika ini terjadi begitu saja. Berurusan dengan Taehyung ternyata tidak main-main.
Sekarang, yang Yoongi harapkan hanyalah; Jinan baik-baik saja saat ini.
Di sisi lain, matahari nampaknya masih malu-malu untuk menampakkan diri. Namun, Taehyung yakin ini adalah waktu yang tepat. Semuanya berjalan sesuai dengan rencana yang ia susun sedemikian rupa bersama Jimin. Benar-benar sempurna. Jinan kini telah kembali di dalam pelukannya, pun Yoongi telah disingkirkan. Dan sekarang, tentunya Jinan telah menjadi milik Taehyung seutuhnya, lagi.
"Sesampainya di Seoul, aku akan mentraktirmu. Kalau bisa aku akan membelikanmu sekaligus dengan kedainya," ucap Taehyung dengan senang, irisnya berbinar kala menatap kekasihnya yang kini terlelap tak sadarkan diri di pangkuannya. Sedangkan yang diajak bicara malah mengalihkan pandangannya ke luar, menatap jejeran pohon yang tertutup oleh salju. Melihat Jimin seperti itu, lantas Taehyung kembali bersuara, "Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Jimin terlihat menghela napas. Terlihat tidak begitu bersemangat dengan apa yang ia hadapi sekarang. "Entahlah, aku rasa ini tidak benar."
"Maksudmu?"
"Semuanya. Hidupmu, hidupku, hal yang baru saja terjadi."
Taehyung menatap tidak suka. Apa yang baru saja Jimin sampaikan membuat amarah yang telah padam kini kembali membara mengobarkan percikan api. "Apa maksudnya? Hei, kita ini sahabat. Memangnya kau tidak suka dengan rencana kita yang telah berhasil ini? Semuanya berjalan mulus, Jim. Tidak ada lagi Yoongi yang akan menghancurkan hidupku."
Kedua mata Jimin terpejam, merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya yang mulai menjadi-jadi. Sekilas menggeleng pelan, mencoba tersenyum simpul sebelum berkata, "Maaf, tapi aku tidak bisa melakukannya." Nada bicaranya terdengar begitu letih, seolah ada sebuah beban besar yang bersandar di kedua bahunya. "Aku tidak membunuhnya."
Well, Taehyung rasanya tidak pernah dikecewakan oleh Jimin sebelumnya. Semuanya, apapun. Jimin selalu membuatnya terlindungi. Mencoba membantu Taehyung kala ia benar-benar membutuhkan, bahkan pernah melakukan hal-hal konyol seperti mengikuti Jinan ke Pohang, padahal Taehyung bertaruh pekerjaan yang menumpuk menunggu Jimin untuk diselesaikan. Tapi kali ini Taehyung harus menelan pil pahit kenyataan, Jimin mengecewakan Taehyung untuk pertama kalinya.
Jemari Taehyung bergerak menggaruk pada tengkuknya yang bahkan tidak terasa gatal sama sekali, mencoba tersenyum kikuk dan bertingkah seolah tidak mengerti. "T—tapi, bukankah kau sudah berjanji padaku?"
"Memang. Tapi untuk membunuh seseorang, kurasa aku tidak bisa. Kalau kau ingin membunuhnya, bunuhlah dengan tanganmu sendiri." Jimin bangkit dari tempat duduknya, menepuk beberapa kali pada sisi mantel seolah ada debu yang baru saja menempel. "Satu lagi, aku harap kita tidak bertemu di kemudian hari. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh. Maaf."
Taehyung terdiam menyaksikan sahabat yang dulu sering berbagi keluh kesah dengannya, berjalan menjauh dari sisinya. Ia bisa merasakan satu cahaya yang menerangi setiap langkahnya perlahan redup dan akhirnya menghilang ditelan masa. Rasanya seperti ada sebuah jarum kecil yang menusuk ulu hati, sakit, sakit sekali. Dirematnya dada yang masih berbalut kemeja berwarna abu-abu itu, mencoba tersenyum walau hatinya benar-benar teriris. Netranya beralih pada sang kekasih yang masih enggan terbangun dari lelapnya tidur. Diusapnya pelan puncak kepala Jinan. "Jangan pergi, Ji. Kau satu-satunya yang kumiliki sekarang."
•••
Sofa memanjang berwarna marun itu tengah ditempati oleh laki-laki bermarga Kim. Tepat di tangan kanannya ada sebuah gelas berlapis kristal berisi alkohol yang telah ia tenggak sejak satu jam yang lalu. Irisnya menggelap, sesekali terpejam kala rasa pahit menggelitik tenggorokkannya. Efek candu yang ditimbulkan benar-benar kuat, bahkan sudah ada lima botol yang telah kering kerontang berserakan di atas meja.
Sudut bibirnya tersenyum tatkala mendapati sang kekasih telah terbangun dari tidur lelapnya. Sejenak melirik ke arah jam yang menempel, jam setengah satu pagi. Waktu yang tepat untuk melepaskan hasrat yang sedari tadi membuncah di dalam dada.
Derap langkah yang diambil, Taehyung buat sehalus mungkin agar tidak mengganggu pendengarannya. Hanya ada bunyi pemanas ruangan yang terpasang di sudut kamar dengan debaran jantung Taehyung yang berpacu dua kali lebih cepat. Barangkali ini efek samping dari alkohol, atau bisa jadi karena faktor lain. Jemarinya bergerak menuju bahu Jinan yang terekspos, sepertinya baju tanpa lengan merupakan pilihan yang terbaik. Sedangkan yang disentuh mulai membuka matanya yang masih berat.
Pening. Itulah yang Jinan rasakan saat ini. Semuanya seakan seperti kepingan puzzle yang berhamburan. Sekilas, peristiwa kecil yang terjadi beberapa saat lalu terlintas dalam benak. Dengan cepat perempuan itu beringsut menjauh, menarik selimut yang tergulung di sisi kirinya hingga menutupi dada. "Sialan kau, Taehyung! Mau kau apakan aku?"
Melihat kekasihnya yang setengah ketakutan kepadanya membuat hati Taehyung terluka. Iris sayunya menatap lembut Jinan. "I told you before, right? I want you. I want your body under mine, tonight."
Berkali-kali Jinan menggelengkan kepalanya, mencoba menolak apa yang Taehyung inginkan. Sumpah demi apa pun, rasanya ia tidak sudi lagi bersetubuh dengan laki-laki sialan ini. "Tidak. Aku tidak mau! Setelah apa yang kau perbuat dengan keluargaku, sekarang kau malah mencoba menghancurkanku lagi?"
Tatapan nyalang yang Jinan layangnya rupanya membuat amarah di hati Taehyung mulai tersulut. Apalagi ia sedang berada di bawah tekanan alkohol yang membuat dirinya tidak bisa berpikir jernih. Dan puncaknya sekarang, Jinan melihat laki-laki itu membuka sebuah laci dan mengeluarkan benda-benda yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Detik-detik berlalu dengan mendebarkan, Jinan tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dalam diam, merapalkan beberapa doa di dalam hati supaya ia bisa mati dengan tenang—jika mana malam ini adalah malam terakhir yang ia miliki.
Pilihannya sedari awal memang telah jatuh pada orang yang salah, dan ia malah memilih untuk jatuh pada orang sama untuk yang kedua kalinya. Meniti jalan dengan hati-hati bersama tanpa sadar kalau itu adalah jalan lurus menuju neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018