Seharian sudah Jinan terbaring di atas ranjang. Melewati siangnya dengan begitu membosankan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain membuka mata lalu melanjutkan tidur. Bahkan jika Taehyung tak memaksanya untu makan siang, mungkin tak ada makanan yang bisa dicerna saat ini.
Matahari mulai condong ke arah barat. Menyisipkan secercah cahaya kuning yang menerangi sudut kamarnya. Pohon di depan rumahnya bergerak pelan, beberapa daun kecoklatan berguguran ke atas tanah. Huh, menyusahkan saja.
Tenggorokan Jinan kering. Ia pun mencoba bangkit dari ranjang dan menjejakkan kakinya di atas ubin yang dingin. Tangannya sibuk meraba dinding sebagai pegangan. Berjalan ke arah dapur dengan langkah yang terhuyung-huyung.
"Kenapa bangun? Aku baru saja ingin membawakanmu beberapa roti yang masih hangat ke kamarmu. Mau kuambilkan?"
Kaus putih polos dipadukan dengan jeans hitam ketat. Kedua kaki jenjang Taehyung melangkah mendekati Jinan. Tangannya kembali mendarat pada kening Jinan. "Sudah mendingan," gumamnya pelan.
Otak Jinan masih belum terbangun sempurna. Bahkan ia masih tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi. Jadi, apa ini juga termasuk dari mimpi?
"Kenapa melamun? Sini, kita ke sofa depan. Acara televisi mungkin seru dan sedikit menghiburmu."
Jinan membiarkan lengan Taehyung melingkar di bahunya, mendekapnya begitu erat seakan gadis itu bisa lepas jika ia mengendurkan tangannya. Manik tajam Taehyung sedari tadi tak lepas dari tulang selangka Jinan yang terekspos akibat bagian lehernya yang sedikit longgar.
Mengambil remote televisi yang tersimpan di laci lalu menekan tombol power. "Nah, kau bisa mencari saluran yang kau sukai. Aku akan ke dapur sebentar untuk mengambil roti dan teh hijau hangat."
Layar televisi sedang menampilkan acara mingguan yang membosankan. Jadi, Jinan memilih bersandar pada sofa lalu memejamkan matanya. Membiarkan volume televisi yang cukup mengisi keheningan yang ada.
Mungkin jika tak ada Taehyung saat ini, Jinan sudah terkapar tak berdaya di wastafel. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Bersyukur atau tidak dengan kembalinya Taehyung di dalam hidupnya. Pikirannya buyar seketika saat bel rumahnya berbunyi.
Jinan ingin bangkit dan menuju pintu depan, sayangnya Taehyung ternyata bergerak lebih cepat. Meletakkan roti dan secangkit teh hijau yang sempat diambilnya ke atas meja lalu berlari ke arah pintu.
Tak lama kemudian, seseorang mendekat ke arahnya. Jinan pikir itu Taehyung, ternyata ia salah.
"For God sake. Ji, what happen?"
Lekas Jinan membuka kelopak matanya yang cukup berat. Matanya masih merah dan juga sedikit perih. "Sivan? Kau di sini?"
Sivan melepaskan tas punggung hitamnya di atas lantai lalu duduk di sebelah Jinan. Menggenggam jemari ringkih Jinan dengan begitu erat. "Kau sakit apa? Aku sangat khawatir saat tidak menemuimu di perpustakaan."
Ah, bisa saja anak Australia yang satu ini. "Hanya flu biasa. Sebentar lagi mungkin akan sembuh," tukas Jinan menenangkan Sivan yang terlihat begitu khawatir padanya.
"Kau tidak boleh menyepelekan penyakitmu, Ji. Sudah minum obat?"
Jinan mengangguk sekali.
Sivan menghembuskan napasnya lega. Rambut ikalnya terlihat sedikit lepek karena keringat yang menempel.
Jinan menarik beberapa lembar tissu yang terletak di atas meja dan menyerahkannya pada Sivan. "Keringatmu sangat bau."
Sivan membelalakkan matanya. "Oh babe, kau terlalu berlebihan. Bau katamu? Hei, aku ini wangi." Walau mungkin sedikit kesal karena diledek Jinan, Sivan tetap mengambil tisu tersebut, kemudian menempelkannya di kening sebelum mengusapnya pelan.
Kelakuan mereka berdua itu rupanya mampu membuat laki-laki bermarga Kim yang tengah bersandar di pintu depan terbakar api cemburu. Dirinya masih tak percaya. Bagaimana laki-laki bernama Sivan itu dengan tak tahu sopan santun langsung memasuki rumah Jinan. Padahal ia yakin bahwa saat membuka pintu Sivan sempat melirik ke arah Taehyung.
Rahangnya mengeras. Jika saja ini rumah miliknya, pasti Taehyung akan segera melempari Sivan dengan beberapa benda yang ada di sekitarnya. Melihat bagaimana laki-laki itu menggenggam jemari Jinan dengan erat juga sepasang manik amber Sivan yang menatap Jinan dengan kekaguman dan bahkan saat ini Sivan ingin mendaratkan kecupan singkat di pipi kiri Jinan.
Tentu hal itu sontak membuat Taehyung naik pitam. Dirinya melangkah cepat dan menarik kerah baju Sivan dengan kasar. "Jangan sentuh apa yang telah menjadi milikku, boy."
Sivan bangkit lalu berdiri menghadang Taehyung. Keduanya sama-sama dilanda rasa amarah yang begitu besar. Sivan merasa tidak terima diperlakukan seperti ini, sedangkan Taehyung juga merasa tidak terima saat Jinan ingin dicium oleh orang asing. Ya, asing baginya.
"Bung, bersikaplah dengan baik," ucap Sivan dengan geram.
"Siapa namamu? Ah, Sivan kan?" Taehyung mendelikkan matanya. "Dengar, jangan sekali-kali kau merebut apa yang telah menjadi milikku."
Sivan tertawa mengejek. "Dengar laki-laki asing. Jika kau berpikir aku menyukai Jinan, kau salah besar." Manik amber laki-laki bernama Sivan itu menelisik ke milik Taehyung yang pekat. "Kurasa kau lebih menarik dibandingkan gadis yang kau sebut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight to Hell | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Beware. He will bring you to the same hell. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 03/03, 2018