Part 3

966 92 2
                                    

Hmm ini menarik..

Bukan celah becek yang ku temui. Tapi sebuah gundukan tebal yang kurasakan. Aku menekan gundukan itu. Ku dengar suara erangan pelan yang samar diantara bibirku. Kembali ku pijit lembut bagian itu. Kali ini Zero menggeliat tak nyaman dan semakin berusaha keras lepas dari tubuhku. Dia kembali menggelengkan kepalanya dengan kuat sampai akhirnya ciuman kami lepas.

"Brengsek!!"

Tak peduli dengan umpatannya, aku mengubah arah seranganku menuju lehernya. Kuhisap dengan kuat hingga aku yakin akan membuat jejak keunguan di sana.

"Ngghh.ah..Kuran.."

Satu tanganku yang ada di bawah dengan tidak sabar membuka garmen yang melekat di area privasinya. Ah tidak benar, lebih tepatnya aku merobeknya. Tangan besarku menangkap kulit polos tanpa penghalang itu. Berdenyut dan hangat di tangan, membuat pikiranku semakin berkabut. 

"Ngghh nnn..."

Dengan tidak hati-hati aku memijat milik Zero. Sekarang tak ada lagi umpatan kasar untukku keluar dari mulutnya. Hanya geraman dan lenguhan manis dari bibir tipisnya. Bibirku kembali mencumbu miliknya. Aroma lavender dan vanila menguar dari tubuhnya. Rasanya seperti memanggilku untuk menancapkan taring di kulit porselin itu untuk yang kesekian kali hari ini.

"aaahh..uuu..ghhh"

Kurasakan tubuhnya menegang. Matanya terpejam rapat. Mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara. Lelehan cairan hangat membasahi tanganku yang sudah dengan tidak sabar mengocok milik pemuda dalam rengkuhanku ini. Ah, wajahnya yang seperti itu benar-benar cantik. Seandainya saja dia lebih memilih berteriak tadi kala euforia memuncak. Tapi dia memilih untuk tak menyuarakannya, dasar keras kepala.

"Brengsek.."

Masih dengan napas yang terengah-engah dan wajah yang merah Zero menatapku. Aku rasa sepertinya dia mencoba memberi glare khas miliknya itu, namun gagal. Ku ambil satu kecupan darinya, sebelum kuangkat tubuh lelah itu dan membaringkannya di kasurku.

"Dasar sial! mengambil kesempatan dalam kesempitan!"

Ah itu dia Zero yang ku kenal. Aku pikir dia sudah benar-benar menghilang. Entah kenapa aku merasa sedikit lega.

"Hmm benarkah? Tapi ku lihat kau juga menikmatinya."

Aku memberikan smirk milikku dan Zero hanya memalingkan wajah. Itu membuatku cemberut. Aku tak suka mata violet itu tidak melihatku. Tanganku menggapai pipinya dan menarik dagunya agar dia kembali melihatku.

"Kau berhutang penjelasan padaku" ucapku dingin.

Zero hanya bersikap datar.

"Bukankah tak ada yang perlu ku jelaskan lagi. Sudah jelas-jelas kau melihat buktinya!"

"Jadi kau, hermaphrodite ?"

"Ugh..aku benci terminologi itu. Aku merasa seperti binatang rendah."

Aku menaikkan alisku sedikit.

"Jadi.."

"Kau pernah dengar shemale...yeah anggap saja aku itu."

Sebenarnya antara hermaphrodite dan shemale itu berbeda. Hanya saja setelah ku pikir mungkin ada benarnya menganggapnya shemale. Ya, di samping dia punya buah dada dan sebuah alat sodok yang masih menggantung di antara selangkangannya.

"Kau membuatku bingung Zero. Pertama kau pureblood dan sekarang kau hermaphrodite. Sebenarnya hal apalagi yang kau sembunyikan selama ini, heh."

"Itu bukan urusanmu.. untuk apa juga aku beritahukan padamu."

Aww dia marah. Padahal beberapa saat tadi aku bilang aku merasa lega melihat sikapnya yang seperti itu. Tapi entah kenapa aku jadi ingin dia bersikap submisif seperti tadi sore. Ingin rasanya aku mendesah lelah, tapi itu sangat bukan pureblood sekali.

"Jika aku tahu apa masalahmu. Tentu akan lebih mudah untukku membantumu, bukan?"

"Bukankah sudah ku bilang sebelumnya bahwa seharusnya kau membiarkanku mati di tempat itu."

"Jangan!..JANGAN UCAPKAN ITU LAGI!"

Oh tidak, aku kehilangan cool, hanya karena mendengar dia melau suicidal lagi. Bagaimana tidak, beast ku merasa marah setiap kali dia mengatakan ingin bunuh diri. Setiap kali dia memandang rendah nyawanya sendiri.

"Apa pedulimu.." ujarnya kecil. "Bukankah akan lebih baik jika aku ma.."

Ku bungkam mulut itu dengan bibirku. Tak bisa menahan diri aku menciumnya kasar. Apapun asalkan aku tidak mendengar kata-kata bahwa dia ingin mati. Ku mohon berhenti mengatakan kata mengerikan itu.

"Puaah.. KURAN!"

"Jangan mati.."

Mata violet itu membola melihat ku. Aku tak tahu bagaimana ekspresiku sekarang. Tapi mungkin itu ekspresi yang sangat mengejutkan baginya.

"Jangan mati..Kau tak boleh mati."

Setitik cairan bening ku lihat menggenang di pipi porselinnya. Apa itu, seperti tetesan air. Ah aku tidak menyadarinya itu dari mataku sendiri. Sampai saat tangan dingin Zero menyentuh pipiku yang hangat.

"Kau tak boleh mati... kau.. ughh.."

"Shhh..hh"

Tangan dingin itu menarik tengkukku dan membawa wajahku ke dadanya. Ku rasakan gerakan tangan menyisir helai rambutku. Juga tangan lain yang mengusap lembut punggungku. Wangi lavender yang khas, seperti aroma terapi yang menenangkan

"Shhh.. tidak apa...jangan menangis.."

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat wangi lembut yang menenangkan itu juga suara halus yang membuatku mengantuk. Selanjutnya aku tidak tahu.



tbc.


Sorry pendek dan lamaaaa banget updatenya. Maafkan akuuu";_;" ojigi.



Silver Chain (Complete)Where stories live. Discover now