Part 9

701 72 9
                                    

Minggu ini rasanya enak sekali. Tenang tidak ada gangguan. Diluar dari teriakan berisik fans-fansku yang setiap sore menunggu di depan gerbang, tetap saja aku merasa ini tenang. Karena, tidak ada orang yang bergelayut manja padaku. 

Seperti biasa aku berjalan di depan berdampingan dengan Zero. Si cantik yang semok dan bahenol. Kalau aku jalan berdua dengannya, setidaknya tidak ada cewek yang tiba-tiba melemparkan diri padaku. Mereka pasti mengerti kalau aku tidak akan tertarik pada mereka.

Namun ada lagi masalah baru. Entah ini perasaanku saja atau gimana, aku rasa kok jumlah fanboy makin bertambah ya. Biasanya mereka meneriaki nama Ruka. Sekarang mereka juga meneriakkan nama Noir sambil membawa spanduk tulisan Noir-sama fanclub. 

Sialan. 

Tidak tahu aja mereka cantik-cantik begini Noir masih berbatang.

Setiap kali hal itu terjadi aku selalu memperhatikan Noir. Dia mengacuhkan mereka dan berjalan seolah fansclub itu tidak ada. Wajahnya benar-benar dingin sekali. Tapi cantik, jadi makin cinta.

Dan sialnya lagi, hal itu malah membuat para fanboy itu makin menggila.

................................................................................................................................................................

"Zero"

Aku memanggilnya yang duduk termenung menatap keluar ke arah jendela. Malam ini tidak ada bulan di luar, jadi rambut keperakan Zero terlihat cantik sekali seolah bercahaya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikannya menurutku. Ku panggil-panggil dia juga tidak menoleh. Maka ku putuskan mendekatinya.

Tangan ku melingkar pada area leher dan pundaknya. Ingin ku lingkarkan di dadanya tapi takut kelepasan eremas-remasnya. Ini masih di sekolah, jam istirahat lebih tepatnya. Nanti saja kalau sudah kembali ke kamar.

"Kau sedang memikirkan apa, hm?"

Aku menarik tubuhnya agar bersandar pada tubuhku. Rambutnya wangi sekali, aku suka. Aku bahkan menempelkan hidungku sambil terus menciumnya. Ku dengar helaan napas Zero yang terdengar lelah.

"Aku memikirkan Yuki."

Ah sial kenapa nama itu lagi. Aku paling benci nama itu. Masa setiap kali kita berduaan, selalu ada nama itu terselip di pembicaraan. Tapi sebagai seorang gentlemen, aku tidak bisa terus terang mengatakannya pada Zero. Nanti dia malah marah dan tidak mau bertemu denganku.

"Kenapa hm?"

"Apa dia baik-baik saja? Satu minggu dan dia tidak muncul sama sekali"

Zero melepas kedua tanganku dan berbalik badan.

"Kaname, ayo ke tempat Cross. Aku ingin bertemu Yuki."

Zero menatapku dengan binar memohon. Wajahnya terlihat sangat berharap. Tapi aku tidak mungkin menurutinya. 

"Tidak bisa sayang. Sudah ku bilang Yuki sedang di skors."

"Dan menjadikannya tahanan rumah bukan hukuman yang tepat!" balas Zero. "Kalian keterlaluan! Bagaimana kalau Yuki jadi membencimu karena ini!?"

Suara Zero naik, tapi raut wajahnya sedih. Sungguh aku tidak suka melihatnya seperti itu. Tapi aku juga tidak mau dia bertemu Yuki. Kecil-kecil begitu dia punya senjata anti-vampir. Dia bisa melukai Zero lagi.

"Zero, aku mengerti kau tidak senang. Tapi ada saatnya dia diberi hukuman agar dia jera. Agar dia berpikir dewasa. Tidak baik jika dia selalu diberi keringanan."

Aku berusaha bicara selembut mungkin.

"Jadi kalian pikir dengan men-skors-nya dan mencabut lencana prefeknya, Yuki akan mengerti apa kesalahannya? Yang ada kalian akan membuat kebencian tumbuh di hatinya! Kalian tidak mengerti betapa penting tugas Prefek baginya, betapa berharga jabatan itu baginya!"

Aku memegang kedua bahu Zero, berusaha menenangkannya. Ku rasakan atmosfer udara sudah berubah. Beberapa benda bahkan sudah bergetar dan bergoyang karena tekanan kekuatan Zero. Kaca besar di belakangnya jika terus bergetar bisa hancur berkeping-keping.

Tapi sial, di saat Zero marah seperti ini malah membuatku horny. 

Mata lavender yang menyala terang. Rambut silver yang seakan berkibar tertiup angin. Hawa dingin yang keluar menusuk-nusuk dari tubuhnya. Rasa sesak yang dibuatnya membuat beast dalam dadaku bergairah. Mate- ku sangat indah katanya. Aku lama-lama khawatir kalau sebenarnya aku mengidap masokis.

Mataku menyala merah. Taring ku juga menajam. Seperti terpancing aku juga ikut mengeluarkan aura pureblood milikku. Aura milikku berusaha menekan aura miliknya, berusaha menekan sisi dominannya. Sebagai seorang pureblood tentu saja aku tak suka ada aura dominasi lain di wilayahku. Semua hal yang ada di tempat ini adalah milikku. Aku yang mengendalikannya.

Kaca jendela yang semula bergetar akhirnya pecah tak kuat menahan energi kami. Sebelum pecahannya mengenai tubuh kami, aku sudah membuat pelindung tak kasat mata terlebih dahulu. Pelindung itu membuat pecahan tajam kaca berubah menjadi debu. 

Aku menarik tubuh Zero cepat. Aku mencium bibir mungilnya. Tangan Zero berusaha mendorong dadaku, namun aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku menahan tengkuknya agar dia tetap di tempat. Sementara aku menghisap bibirnya. Zero masih juga berontak untuk lepas. Tapi aku tak bergeming, aku ingin menaklukannya.

Aku mengelus punggungnya. Pelan-pelan turun menuju bokongnya dan meremasnya sensual. Lidahku memaksa masuk mulutnya, dia mengatupkan rahangnya rapat. Tak habis akal aku meremas dadanya. Dia kelepasan mendesah. Segera saja lidahku masuk dan mengaduk-aduk mulutnya. Melumpuhkan lidahnya dalam tarian indah.

Tanganku yang berada di bokongnya kini sudah menyingkap rok seragam dan masuk ke celana dalamnya. Jariku terselip diantara dua bongkahan padat berisi miliknya sambil mengelus lubang kecil yang bersembunyi disana.

"Annn hhh Kana... tidak.. di sini...nn"

Kembali ku bungkam mulutnya dengan lidahku. Satu tanganku bergerak mengelus dadanya, meremasnya dengan semangat. Sesekali menggoda tonjolan merah muda di tengah yang menegang dan terasa di tangan.

"Hmmm..apa sayang..."

Atmosfer yang tadi dingin mencekam sudah berubah sekarang. Aura kami tidak lagi saling mendominasi dan menyesakkan ruangan. Sekarang malah berubah panas. Rasa panasnya membuatku ingin menelanjanginya di sini. Di ruang kelas kami.

Tubuh kami begitu dekat tanpa ada jarak. Saling bergesekan memberi impuls nikmat. Aku menekan kemaluanku yang sudah menggembung di dalam celana pada paha Zero. Dia melenguh saat merasakannya. Sekarang bahkan sudah mulai bergerak frustasi mencari sensasi. Aku juga merasakan batang miliknya sudah ereksi.

"Kanaaaa......mau..."

"Apa sayang...katakan.."

Aku kembali melumat bibirnya yang bagaikan candu. Satu tangan Zero turun dan meremas milikku yang sudah mengeras. Ah sial ini nikmat sekali. Persetan dengan kelas, aku ingin Zero sekarang.

Aku mendorong tubuh Zero ke atas meja. Kakinya langsung mengangkang di depan wajahku. Memperlihatkan celana dalamnya yang berenda putih. Aku mendekatkan wajahku pada bagian itu dan menciumnya sensual. Bahkan menjilat kemaluannya dari luar.

"Kana...."

Aku terlalu asik, tidak mendengar Zero memanggilku. Sampai tiba-tiba ada yang menggeplak kepalaku keras. Baru aku mau marah karena berani sekali memukul kepala pureblood tampan sepertiku.

Saat aku lihat ke atas ternyata Zero.

"Ish, Kana bodoh. Yagari ada 200m dari pintu masuk. Jangan di sini. Nanti ketahuan." bisik Zero dengan wajah memerah.

Aku baru ingat kalau salah satu pengajar kami adalah Vampire Hunter yang dulu menjadi mentor Zero. Akan repot sekali kalau sampai tertangkap tangan olehnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau dia sangat membenci vampir. Terutama pureblood  sepertiku. 

Sudah kepalang tanggung. Aku sudah horny separah ini dan tinggal tusuk saja. Mana mungkin tidak dituntaskan. Milikku sudah keras dan berdenyut nyeri. Aku butuh lubang Zero untuk pelampiasan. Maka aku segera menggendong Zero dan keluar dari kelas. Aku gunakan langkah seribu kecepatan vampirku untuk segera sampai di asrama. 

Apapun demi melihat Zero mengangkang di bawahku sambil mendesah namaku.


tbc


Silver Chain (Complete)Where stories live. Discover now