14.

20.5K 1K 78
                                    

............



"JIMIN......!!!"

'Buugh.. buugh.. buugh...!'

"Jimiiiiin... buka pintunya... jangan tinggalkan aku… uhuhuuu, huuuu... huuuuuu...."

Tangisanku pecah, tubuhku merosot ke lantai dengan kedua tangan yg masih menggantung di badan pintu. Ketukan yg kutimbulkan pun semakin lirih seiring kelelahan hatiku yg kian melanda. Sedih, hanya kata itu yg kini asik mengusik pikirku. Sedih lantaran kenyataan yg tak pernah berpihak padaku. Yang kini aku tidak tahu lagi apa artinya 'kesabaran'. Haruskah aku tetap diam saja, menyimpan perasaan terlarangku terhadap Jimin sementara dia terus menyiksaku seperti ini? Lalu sampai kapan aku akan seperti ini? 1 bulan? 2 bulan? 3 bulan? Tidak, ini bahkan sudah setengah tahun lebih & aku sudah sangat lelah. Aku lelah, sangat-sangat lelah. Tolong lakukan sesuatu padaku, Tuhan... terserah, asalkan aku tidak merasa hampir gila karena tersiksa dengan perasaanku sendiri seperti ini.
Aku beralih posisi berdiri, berjalan lambat entah apa yg sedang kutuju. Kutarik nafasku dalam & mengeluarkannya perlahan-lahan mencoba untuk menerimanya. Namun gagal, nyatanya amarahku lebih mengungguli dari sekian banyak sifat baik yg kumiliki. Aku marah, benar-benar marah atas semuanya. Aku tidak bisa mengendalikan gejolak cinta & kecewa yg menjadi satu di egoku. Aku menginginkan Jimin bersamaku, aku menginginkannya lebih dari siapapun. Tapi mengapa harus dengan cara seperti ini? Harus dengan cara menyiksa seperti ini? Sesulit inikah hanya untuk bisa bersamamu?

Perhatianku tiba-tiba beralih pada dua pasang jendela yg berada di seberang tempat tidurku. Gambaran penyelamatan diri seperti melompat atau mengulurkan sambungan kain pun mulai mempengaruhi akalku. Hh, tapi kemudian aku tersenyum miring dengan pemikiran bodohku itu. Bagaimana mungkin aku akan menyelamatkan diriku dengan cara seperti itu? Toh, ada puluhan pengawal berbadan tentara yg sedang berjaga di bawah sana. Aku tidak mungkin bisa, lupakan saja. Langkah tanpa arahku berhenti pada sisi tempat tidur yg kini menarik perhatianku untuk mendudukinya. Aku menatap lantai yg masih menjadi pandangan favoritku saat ini. Dan lagi-lagi kata-kata Jimin bagai terangkum rapi di dalam ingatanku, berjajar paragraf demi paragrafnya silih berganti memamerkan diri.

"Harus kuapakan lagi agar kau mau menurut? Haruskah aku mengikatmu, mengurungmu semalaman di kamar?...."

Ya, jadi inikah alasanmu mengambil handphone-ku & menghancurkan pesawat telepon itu? Kau sengaja mengurungku & memutus semua cara agar aku tidak keluar dari sini dengan keadaan seperti yg kau inginkan? Hh, aku bergidik, meremas dress hitam yg katanya adalah favoritmu ini di atas pahaku. Apakah sekarang aku peliharaanmu yg bisa kau pakaikan pakaian yg kau sukai, Jimin? Tak apa, paling tidak aku punya satu kabar baik dari alasanmu mengurungku. Kau tidak mengikatku.

"Apa kau... merasa bahagia dengan rencana pertunanganmu, ha? Hh, kau pasti merasa senang karena sebentar lagi kau bisa terbebas dariku, hahahaa…."

Demi Tuhan, aku adalah satu-satunya orang yg paling sedih dengan rencana pertunangan itu. Bagaimana tidak? Tuan Park bahkan tidak memberitahuku sebelumnya. Tanpa kabar & kejelasan lalu tiba-tiba aku mengetahuinya dari mulut Han Jae Ra. Dan kini aku pun mulai mengingat tentang kedekatan Tuan Park & Tuan Kim di pesta ulang tahunku yg seharusnya bisa kujadikan peringatan tentang kabar pertunangan itu. Hanya bodoh saja diriku sampai tidak memiliki firasat itu. Jadi... apakah yg seperti itu bisa kau katakan bahagia, Jimin? Tidak sekali-kali.

"Kau tahu betul apa yg sangat kuinginkan darimu, Seun Ji? AKU HANYA MENGINGINKAN PENDERITAANMU!!! AKU INGIN KAU MENDERITA & MERASAKAN SAKIT SEPERTI YG KURASAKAN KARENA DIRIMU!!!"

"Ya! Dan sekarang kau mendapatkannya, Jimin? Kau puas, kau puas aku menderita karenamu!!!" Frontal aku berteriak menjawab kata-kata Jimin dari lamunanku seolah aku sedang berhadapan dengannya.

MISS YOUR TOUCH (Sudah Terbit) - [ff Park Jimin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang