SEPULUH

826 62 7
                                    

Sepengetahuan Aryneta, hari Senin adalah hari yang paling dibenci oleh setiap anak yang bersekolah, dan sepertinya Ia juga akan kembali membenci hari Senin, karena alasan lain untuk dirinya semangat berangkat sekolah, sudah tidak berlaku lagi, meskipun Ary masih ingin memberlakukanku hal itu.

Hal itu, adalah melihat Yanuar!

Lupakan..!

Lupakan Yanuar, Aryneta!!!!

Turun dari angkutan umum, Ary berpapasan dengan Jeka dan Gavil, yang mendadak menghentikan laju motornya.

"Morning my sunrise!" seru Jeka nyengir kuda dari jok belakang.

"Apaan sih, Jek!" Ary terkikik, melangkah pelan di sisi motor yang juga bergerak perlahan oleh si pengemudi. Siapa lagi, jika bukan Gavilo orangnya.

"Gue cuma berusaha nyampein apa yang belum bisa Gavil sampein, sih...." Jeka menepuk bahunya Gavilo.

"Turun ga lo, Jek!" seru Gavil memicingkan kedua bola matanya begitu mendengar apa yang Jeka ucapkan.

"Sayang, kok sensi banget hari ini?" goda Jeka malah bikin Gavil bergidik ngeri.

Dari pada menjawab pertanyaan ngawur dari Jeka, Gavil lebih  memilih bertanya pada gadis berambut hitam sebahu di sisi motornya.

"Kemaren pas pulang ada angkotnya?" Aryneta terdiam.

Bukan angkot yang ditumpanginya untuk sampai kerumah kemarin, tapi ada yang menawarinya tumpangan dan Ary tidak mungkin mengatakan itu adalah Yanuar, Gavil pasti akan ceramah panjang lebar untuk menasehatinya menjauhi cowok itu.

"Gue...gu-e, iyah! gue naik angkot...." Ary tersenyum kikuk padanya, yang setahu Gavil jarang sekali Ary menunjukan hal itu padanya. Jadi Gavil yang melihat gelagat itu hanya beroh mengangguk. Pasti ada yang disembunyikan Ary.

Kemudian, cowok itu berkomando "Jeka lo  turun ya!"

Jeka melotot, sempat ingin melayangkan protes. Tapi melihat tatapan Gavilo yang serius, Ia menuruti saja.

"Temenin, Ary!" Gavil mengambil keputusan pasti, selanjutnya kembali melajukan motornya melesat menuju parkiran--meninggalkan Jeka dan Ary.

"Kok lo mau aja sih?" tanya Ary masih sebal, memandangi punggung Gavil yang mulai luput dari pandangan.

"Ya maulah lo 'kan cewek cantik," kata Jeka riang. "Gue ga keberatan, malahan seneng," imbuhnya jujur.

Sementara Ary memutar bola matanya. Hening menemani beberapa langkah mereka sebelum Jeka bertanya.

"Ary! Lo ga ngerasa beda gitu, sama perlakuan Gavil?" Pertanyaan Jeka membuat kening Ary mengkerut. "Kalian udah temenan dari lama 'kan?"

"Maksudnya?" Ary berterus terang atas ketidak mengertiannya akan hal yang ditanyakan Jeka. Lelaki beransel biru itu menatapnya, salut. Sungguh, Aryneta bukan tipe cewek yang peka.

"Aduh gimana ya. Temenan. Rasa beda ... gitu eh, gimana ya?" ujar Jeka berkelit, dia bingung menjelaskannya seperti apa. "Intinya gitu sih, ngerti ga?"

"Dia mah emang beda dari dulu." sahut Ary santai usai beberapa detik kemudian, membuat Jeka tak perlu susah payah menjelaskan maksud dari pertanyaannya barusan.

"Nyebelin dia nyebelin," cerca Aryneta, terbaca jelas dari raut wajahnya, kalau dia membayangkan Gavil dengan kesal level tinggi. Tapi bukan beda yang seperti ini yang Jeka maksud.

"Kadang kalo lagi serius dia malah bercanda. Gue sebel. Dan yang paling gue ga suka, dia hobi banget ngikutin gue, kemana ajaaa...," lanjut Ary menggebu gebu. Jeka hanya mengangguk membiarkan informasi itu mengalir untuknya.

"Lo jangan bilang sama dia, yah!" tiba tiba Ary menunjuk wajahnya dengan tatapan sangsi. Jeka menggeleng cepat.

Detik selanjutnya, apa yang diucapkan Ary membuat Jeka merubah sedikit pemikirannya tentang wanita itu. "Gue malahan sempat mikir, kalo mungkin Gavil ... Gavilo itu suka sama gue."

"Ih, mitamit ... gue ga mau." Aryneta histeris setelah melafalkan sendiri.

Yah, Aryneta bukannya tidak peka tapi Aryneta nyaris peka.

Jeka berinsting.

Sesak ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang