Semalam aku tak pulang ke rumah, tak pula menjumpainya: ia yang cantik dan manis, Lee Young, adik kecilku. Di perempatan besar yang ada di depan sana aku akan turun dari bus ini, meninggalkan orang-orang yang selama empat puluh menit melakukan perjalanan bersamaku-yang beberapa tidur pulas karena kelelahan, dua ibu yang sibuk menenangkan anaknya sebab mereka minta lolipop, juga ahjussi yang melamun di sudut.Aku sungguh penasaran soal hal apa yang dilakukan Young-i sekarang. Apakah ia sedang berada di rumah, memasak sebungkus ramnyun untuk kami berdua, membuatkanku kopi tanpa gula yang aromanya nikmat, atau justru duduk-duduk tak jauh dari toko cokelat di ujung jalan kecil. Aku lupa nama jalannya, tapi ingat betul tempatnya. Ah, itu... aku tak peduli apa namanya, rumit. Bukankah kalian juga pernah mengalami ini? Bukan amnesia sesaat, tapi ini semua tentang memori otakmu yang takkan mengingat hal yang tak penting.
Untuk sampai ke toko cokelat kecil itu, ia harus naik taksi selama setengah jam dari rumah. Begitu sampai di sana, ia akan menjauh, mencari tempat duduk, lalu hanya berakhir mengamati toko itu sampai senja menjelang. Tidak, bukan toko cokelatnya, tapi si pemilik: laki-laki muda dengan senyum teduh yang selalu menarik pelanggan untuk datang. Mendadak aku ingin tahu apa kelebihan pria itu sehingga Young-i rela pergi ke sana dua atau tiga kali dalam seminggu hanya untuk mengamati bocah laki-laki ini. Ini bukan lagi soal senyumnya atau segala apa pun yang ia miliki, tapi sungguh, ia membuat adikku tampak seperti penguntit. Sialan, bukan?
Sebuah taksi silver berhenti setelah kuayunkan tanganku untuk menyetop. Perjalanan ini akan melewati toko cokelat kecil di ujung jalan 'entahlah' itu dan mari kita lihat apakah Young-i berada tak jauh dari sana.
Aku hanya khawatir padanya. Pekerjaanku yang selalu memburu waktu ini saja terlalu berat. Acapkali aku harus menginap di kantor polisi untuk sekedar berjaga, dan jika itu terjadi, aku takkan bisa bertemu dengan Young. Hatiku menolak, namun aku tetap melakukan semua seperti biasanya: ini masih untuk Young juga. Ia mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik, namun pikiranku terus melayang padanya tiap waktu. Hanya diam di rumah saja ia tetap membuatku khawatir, apalagi sekarang: ketika ia menemukan hobi baru-mengamati seorang laki-laki pemilik toko cokelat.
"Ahjussi, ketika masuk daerah itu, tolong laju taksinya dipelankan." Sopir taksi mengangguk mengerti. Pelan tapi pasti, taksi yang kutumpangi ini melewati toko cokelat di ujung jalan. Sesuai dugaan, seorang gadis muda tengah berjalan menuju bangku-bangku berjejer tak jauh dari toko.
Gadis dengan kemeja pastel biru, jeans yang panjangnya sampai mata kaki, sepatu kets, dan earphone yang terpasang di kedua telinganya itu tiba-tiba duduk. Dengan malu ia mencuri pandang ke arah toko cokelat. Pandangannya menembus kaca-kaca toko, tertuju pada satu objek: lelaki muda yang... sok tampan itu (maaf, aku sungguh kesal untuk sekedar mendeskripsikannya).
"Jamkanman-yo, Ahjussi. Aku akan turun di sini saja. Ini bill-nya. Jusyeoseo gamsa habnida..." Usai menutup pintu taksi, aku berjalan pelan: menghampiri Young.
"Youngi~ah!!!" panggilku. Ia tak menoleh. Ia tak mendengar panggilanku barusan, mungkin karena volume mp3-nya yang terlalu keras, mungkin juga karena ia terlampau khidmat mengamati bocah laki-laki 'penebar pesona' itu.
"Ya! Lee Young-i!!!" Kesal, aku menyambar earphone dari telinga kanannya hingga ia menoleh setelah terkejut. Entah kenapa, kami sama-sama merengut. Aku menjadi kesal karena ia tak mendengar panggilanku, ia kesal karena earphone-nya kucabut. Lalu kami pun terdiam: aku menunggu reaksinya.
"Oppa??!!! Kau datang?? Itu kau??!!!" Ia menggerakkan kedua lengannya, membentuk sandi-sandi isyarat yang sudah kuhafal betul sejak lima belas tahun lalu: aku yang mengajarinya, juga kedua 'orang' itu. Aku tak mau mengingat yang itu.
Dengan ekspresi terkejut bercampur bahagia, Young sampai kebingungan mengungkapkan perasaannya. Ia tak lagi merengut, namun justru menghambur ke dalam pelukanku hingga tubuhku terdorong mundur. Ya, sekarang terbukti sudah: bahwa laki-laki di toko cokelat itu tak semempesona aku. Bagi Young, satu-satunya pria keren hanya aku, bukan begitu?
"Apa yang kau lakukan di sini, eoh? Apa kau sudah membuatkan oppa-mu ini sebungkus ramnyun sesuai pesanan kapan hari?" Masih kupeluk erat ia. Young berusaha melepaskan diri dariku dan memberi jawaban, namun tak kubiarkan itu terjadi-meski tahu betul apa yang akan menjadi jawabannya: bahwa ramnyun akan mengembang jika ia membuatnya sebelum aku betul-betul sampai di rumah.
"Youngi~ah, kajja. Ayo pulang..." Sepertinya aku yang harus sedikit demi sedikit membuatnya menghentikan kebiasaan buruk ini. Harus.
Kemudian gadis kecilku meronta. Ia betul-betul melepaskan diri dari dekapanku. Dipandangnya sepasang mataku yang bertemu dengan miliknya, lalu digelengkannya kepala beberapa kali: ia menolak pulang sekarang.
"Tidak, Oppa. Aku ingin berada di sini sampai beberapa saat lagi. Aku baru sampai di sini dan bertemu denganmu. Jadi, belum sempatlah aku melihatnya..." Gadis itu mengerutkan keningnya. Apakah baru saja ia menolak pulang bersamaku?
"Ya. Siapa sih dia? Kenapa kau harus memperhatikannya demikian serius, eoh? Kau bahkan tidak tahu bagaimana dirinya yang sebenarnya. Kau bisa menilai laki-laki itu hanya dengan melihatnya dari kejauhan???" Tanpa sengaja aku memarahinya. Namun ia bergeming. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Ada perasaan menyesal yang tiba-tiba menyeruak ketika kusadari bahwa baru saja aku berkeras.
"Mianhae, Youngi~ah. Oppa tidak berniat memarahimu. Hanya saja, aku betul-betul ingin tahu alasanmu mengamatinya seperti ini. Kau suka padanya?" Mata adikku membulat. Aku tak pernah jatuh cinta. Jadi, apa maksud dari membulatnya sepasang mata itu? Apakah itu berarti pertanyaanku sudah mendapatkan jawabannya?
"TIDAK, OPPA!!! AKU TIDAK MENYUKAINYA... nan geunyang..." Ekspresinya tidak jelas. Mendadak gestur tubuh Young kacau. Sebetulnya, apa yang sedang ia lakukan?
"Geurae? Kalau begitu tidak ada alasan bagimu penasaran dengannya. Kalau seandainya kau suka dengan laki-laki itu, bukankah lebih mudah mengetahui semua tentangnya dari dekat? Atau... apakah aku betul-betul kurang peka padamu akhir-akhir ini, Youngi~ah? Jangan-jangan kau sangat ingin cokelat, tapi tak mau bilang padaku (?)" Aku semakin tak mengerti. Ini mungkin saja terjadi, bukan? Aku menyadarinya, bahwa diriku terlalu sibuk: mungkin Young-i enggan mengatakan keinginannya karena takut membebaniku. Tapi jika hanya cokelat...
"Tidak, tidak. Aku tidak ingin cokelat. Tentang alasan... aku tidak tahu kenapa diriku harus mengamati seseorang: dan seseorang itu adalah dia." Ia menggerakkan lengannya untuk bicara padaku, membuatku mengerti, namun sepasang matanya terpaku pada pemuda itu.
Baiklah, aku akan menemani Young sampai senja menyapa nanti, lalu setelahnya, kami akan pulang bersama dan memasak ramnyun. Seperti orang bodoh, aku hanya duduk diam di samping adikku yang asyik mengamati objeknya, sementara diriku berulang kali mendesah: lelah. Youngi~ah, kapan kau menyelesaikan semua ini, hm?
2019 -
Note:
How? Little different than prologue, isn't? The ask, What is that? If you curious about this story, please stay tune! It's still part 1 hahahahaha 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] DARK CHOCOLATE ☑
Fanfic(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Pemuda pemilik toko cokelat yang ada di ujung jalan itu gelisah. Hari demi hari tokonya menjadi kian ramai dan secara otomatis ia membutuhkan seorang asisten. Namun, siapa yang mau bekerja di toko cokelat yang kecil...