Entah sudah berapa lama kami berlari seperti orang kesetanan. Tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, aku terus menetapkan langkah demi langkah, maju: meski kakiku rasanya membengkak tak karuan dan napas tak beraturan. Sesekali kulihat anak kecil yang tangannya kugenggam. Ia terseok, berusaha mengikuti lariku dengan langkah lebar-lebar.Tangan yang terluka itu terus mengeratkan genggamannya seolah tak ingin lepas. Kami sudah selayak magnet yang saling bertaut. Ia tidak bersuara sedikitpun. Yang saling bersahutan hanya suara tapak sepatu yang nyaris menggema di antara halimun-halimun yang tiba-tiba turun dari pegunungan. Pegunungan? Ya, sepertinya kami masuk area kaki gunung: dan aku tak tahu tepatnya ini di mana.
"Noona, aku lelah..." Anak itu kemudian bergumam dan menghentikan lakunya sambil terengah-engah: aku pun demikian.
Kubawa ia bersembunyi di balik salah satu pohon besar. Kami sama-sama membekap mulut ketika mendengar suara dedaunan kering terinjak tapak sepatu yang lain. Aku tak mengerti apa yang dirasakan anak ini, namun yang pasti birama jantungku tak lagi teratur bukan karena lari yang sebelumnya, tapi suara berisik yang semakin mendekat itu.
"Noona tidak bisa bicara, tolong mengertilah. Kita harus segera pergi dari sini. Apakah kau tahu kantor polisi terdekat? Atau... atau kau punya ponsel?" Aku menulis cepat di buku catatan yang masih terbawa bahkan sampai kemari.
Anak itu hanya memandangiku sambil menggelengkan kepalanya. Aku tahu. Pertanyaanku mungkin tak masuk akal. Bagaimana juga orang yang diculik bisa melakukan persiapan membawa ini-itu? Sejenak aku lupa bahwa diriku dan Changsub oppa dulu mengalaminya: berkali-kali berusaha kabur, dan sebanyak itu juga kami tertangkap lagi.
Jika saja aku tahu sedang berada di daerah mana dan ada telepon meski hanya telepon umum, setidaknya dari situ aku bisa menghubungi oppa-ku atau kantor polisi terdekat. Sayangnya, tak ada satupun. Dan kami masih membeku di balik pohon besar sambil menajamkan telinga: tidak ada lagi suara-suara berisik... mungkinkah penculik itu sudah pergi? Bagaimana dia bisa menyusul kami secepat..."Kalian di sini, hm?" Seseorang muncul dari sisi pohon yang lain, anak itu memekik singkat, tangannya ditarik paksa, dan aku tertegun sesaat sebelum berusaha meraih lengan lain bocah yang meronta ini.
Aku terus berusaha mencari cara agar laki-laki itu tidak bisa pergi lebih jauh. Beberapa kali lengannya yang kuat itu kucakar: anak itu juga menggigitnya. Bahkan seolah tak memiliki rasa sakit, ia, penculik itu tetap bergeming dan berjalan menjauh. Lalu kemudian dengan sekuat tenaga kutancapkan ujung bolpoin pada bahu lelaki bermasker gelap ini dan sontak ia melayangkan tamparan hingga tubuhku terjerembab ke tanah setelah membentur pepohonan.
"Kau gadis kecil yang keras kepala juga, ya? Kemarilah... kemarilah... daripada menghalangi, lebih baik kau ikut saja, eoh?" Meski mataku berkunang-kunang dan tubuhku seolah tak mau berkonspirasi, aku masih bisa merasakan aura menggelap yang muncul ketika kudengar langkah kakinya mendekat: aku tak mendengar suara bocah tadi, ke mana perginya?
'Oppa... Changsub~Oppa, dowajuseyo. Jebal, selamatkan aku, Oppa. Selamatkan kami dari orang biadab ini.' Batinku hanya bisa berteriak, tangisku meleleh ketika tangan kasar laki-laki itu membelai pipiku, bibirku, leherku, lalu turun ke belahan dada. Sesak, aku bahkan tak bisa meronta. Gadis bodoh ini tak bisa... meronta untuk sekedar menepis tangannya, juga tak bisa berteriak untuk meminta tolong. Kemudian sebuah pukulan mengejutkanku. Tidak. Bukan pukulannya, tapi cipratan... darah...nya. Lalu laki-laki ini ambruk di atas tubuhku.
"Noona... noona...aku takut... noona..." Mataku membelalak. Bocah itu... dan batu besar di tangannya bersimbah darah. Cepat-cepat kusingkirkan tubuh lelaki ini, ia masih hidup, masih bernapas. Kami harus segera lari.Kudekap kuat tubuh ringkih anak kecil yang tengah ketakutan di depanku usai membuang jauh-jauh batu di tangannya, lalu kami sekali lagi berlari: mencari telepon umum, atau setidaknya kantor polisi resort, atau jika memang betul-betul tak ada, rumah warga pun boleh menjadi tempat pelarian kami-hanya sampai mentari muncul.
Tanpa alas kaki, baju yang berantakan, napas yang tersengal, dan luka gores di mana-mana, kami masih berusaha berlari hingga akhirnya memasuki sebuah pemukiman lengang yang di area masuknya terdapat box telepon. Box telepon...aku... aku hanya butuh beberapa koin. Aku butuh koin-koin itu untuk bisa menggunakan teleponnya. Sambil terus mendekap bocah yang masih gemetaran, aku merogoh saku celana. Nihil. Tanganku beralih pada tas kecil di pinggang. Dua. Kutemukan dua koin di sana. Changsub~Oppa, cepatlah angkat teleponnya... kau harus cepat... sebelum...
"Annyeonghaseyo??"
Hatiku lega ketika mendengar sapaannya dan tanpa sengaja air mataku meleleh lagi ketika mengingat apa yang terjadi hari ini. Sambil mengetuk-ngetuk morse, aku berusaha berkomunikasi dengan oppa-ku di sela isak tangis.
"Y.. Youngi? Youngi~ah, apakah itu kau, eoh???!! Kau.. baik-baik saja? Gwaenchana? Eodisseo jigeum? Uljima, Lee Young, uljima. Jawab oppa dulu, eoh?" Aku mendengar nada gelisah di ujung sana. Aku tahu, Changsub~oppa pasti mengkhawatirkanku sepanjang malam.
"Aku baik-baik saja, Oppa. Aku takut, tapi aku baik-baik saja. Ini... ini di.. Gyeonggi..." Dengan yakin kukatakan bahwa diriku tengah berada di Gyeonggi setelah melihat pertokoan yang ber-banner besar: mereka mencantumkan alamat di sana.
"Tunggu oppa, Youngi~ah!! Tunggu oppa, eoh?? Oppa akan segera ke sana secepat mungkin. Jika kau menemukan kantor polisi, itu akan lebih baik, araseo? Atau, jika kau benar-benar takut, diam saja di situ, jangan pergi ke mana pun, hm?" Usai mengatakan itu, sambungan telepon kami terputus. Ya, antara Changsub~oppa yang menutupnya duluan, atau koinku yang sudah habis.Aku tak tahu berapa lama kemudian Changsub~oppa benar-benar datang, yang pasti aku melihatnya berjalan terburu-buru mendekati box telepon yang sudah seperti tempat persembunyian sia-sia ini. Anak kecil dalam dekapanku terlihat kelelahan, ia tertidur, sementara oppa lekas mendapatkanku dalam pelukannya: sangat erat, lalu aku menangis lagi.
"Jigeum gwaenchana, Youngi~ah. Gwaenchana. Oppa tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa kalian... tidak baik-baik saja. Tapi jangan khawatir, oppa sudah datang, hm? Gwaenchana." Ia mengelus rambutku. Tangannya yang besar lalu betul-betul membuat wajahku tenggelam dalam dada bidangnya: ini nyaman, aku hanya ingin terus seperti ini untuk beberapa saat.
Dini hari yang panjang itu kemudian kami habiskan di kantor polisi Gyeonggi. Dengan kesaksian tertulis dariku, anak itu-yang berlari bersamaku-diberi perawatan dan dibawa ke rumah sakit, petugas kepolisian juga menangkap laki-laki yang masih tak sadarkan diri di kaki pegunungan, sementara aku... diriku masih berada dekat dengan Changsub~oppa dan tidak memikirkan hal selain pulang ke rumah.
"Youngi~ah...kau...tidak usah bekerja lagi ya. Oppa tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu." Aku tidak menanggapi perkataannya. Changsub~oppa lalu mengeratkan pelukannya padaku: sekali lagi.
~
Note:
😲😲😲 Gimana ini gaes? Gimana?
Sampai jumpa Minggu depan yaakkk!! Boleh dong author kepo dugaan-dugaan kalian buat part selanjutnya :")
Ditunggu di kolom komentar 😱😱💙
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] DARK CHOCOLATE ☑
Fanfic(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Pemuda pemilik toko cokelat yang ada di ujung jalan itu gelisah. Hari demi hari tokonya menjadi kian ramai dan secara otomatis ia membutuhkan seorang asisten. Namun, siapa yang mau bekerja di toko cokelat yang kecil...