Ketika Lee Changsub mendapatkanku dini hari ini, separuh jiwaku merasa pro dan rela untuk dibunuh olehnya. Namun bagian lain dari diriku menolak mentah-mentah. Mereka memiliki keengganan yang kuat untuk pasrah mati di tangannya: di tangan polisi itu. Bahkan aku tak tahu harus memulai dari mana, ini semua terasa sulit. Dilema ini sama sekali tidak mudah.
Ini berawal dari halmeoni. Jika ada suatu hal indah yang ingin kau ingat seumur hidupmu, bagaimanapun caranya memorimu akan memproses hal ini sampai titik di mana mungkin kau harus menuliskan itu dalam sebuah buku diary. Namun halmeoni tidak. Nenekku tidak melakukannya. Wanita tua yang senyumnya masih tetap terlihat indah itu menderita Alzheimer, penyakit yang membuatnya terpaksa menghapusku dari ingatan.
Ketika aku pulang, ia melempariku dengan barang-barang di sekitarnya karena mengira diriku seorang pencuri. Tidak ada lagi belai lembut tangan halmeoni ketika aku tengah merasa sedih dan tertekan dengan pekerjaanku. Dan yang jadi pertanyaanku kemudian adalah: sesakit itukah rasanya dilupakan oleh seseorang? Aku hidup dengan nenekku sejak diriku masih bayi yang tak tahu apa-apa. Bahkan aku menyusu dari putingnya—entah bagaimana ceritanya kala itu. Lalu secara tiba-tiba, pada suatu pagi, ia bertanya siapa namaku dan mengapa aku berada di rumahnya.
Ingatanku melayang pada pikiran-pikiran tentang kenangan kami di masa lalu: tentang Sabtu malam yang panjang, yang selalu kami lalui sambil menyusuri jalan-jalan berlampu warna-warni, tentang nenek yang menangis sambil mengelus helai-helai rambut pendekku, tentang diriku yang sering tertidur acapkali kami melihat televisi di rumah tetangga, juga tentang nenek yang suka memukulku ketika aku tak menghabiskan makanan di piring. Dan ingatan itu.. kini hanya aku seorang yang mengingatnya.
Ini sepele memang. Tapi bukankah hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, yang bahkan mungkin tak pernah kita lihat, barangkali merupakan suatu hal yang begitu berarti untuk orang lain? Ya. Mungkin juga bagimu. Aku tidak mengerti bagaimana rasanya melupakan seseorang karena diriku tak pernah melupakan semua yang ada dan hadir dalam hidupku. Jadi, bukankah wajar jika aku berharap orang lain tak melupakanku? Aku takut… takut jika hanya menjadi uap dalam ingatan orang lain. Jangankan oleh orang yang baru saja kukenal, oleh halmeoni saja nyatanya aku bisa tersisih: oleh ingatan yang terkikis.
“Jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Youngi~ssi, kau boleh membunuhku… asalkan setelahnya kau mengingatku: sampai akhir.”
Bahkan jika nyatanya aku adalah seorang yang brengsek di mata orang lain, setidaknya ia harus mengingatku sebagai ‘orang brengsek’. Hatiku tidak tenang ketika mendengar kabar bahwa Youngi tidak ada di rumah. Tidak. Ia memang bisa kebetulan berada di suatu tempat dan sekarang sudah ada di rumah lagi. Namun aku mengerti betul kekhawatiran Lee Changsub saat ini. Aku juga… mengaku salah.
“Haruskah kita melaporkan hal ini ke kantor polisi?” tanyaku. Ia, Lee Changsub, sudah benar-benar menyarungkan kembali pistolnya. Ia tengah terduduk menyandarkan punggungnya di pintu kaca toko cokelatku sambil menangkup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Ya, babo-ya! Aku juga polisi.”
“Kau masih belum bisa berpikir dengan baik… Hyung…”
“Nan gwaenchana. Mian.”
“Maaf untuk apa?” Aku menundukkan kepala, berharap mataku dan matanya bertemu, lalu kudapat sebuah jawaban dari kalimat yang akan ia lontarkan setelah ini.
“Kau tahu betul bahwa aku sangat menyayangi Youngi. Aku hanya berpikir… tak semua orang di luar sana mampu dan mau memahami orang seperti adikku, Sungjae..ya.” Itu terdengar agak canggung: panggilan Sungjae~ya. Lee Changsub, aku sudah menduga itu—hatinya hangat.
“Semua ini berawal dari kesalahanku. Akulah yang harus minta maaf… Hyung…”
“Kau sudah melakukannya.”
Aku sudah melakukannya? Benarkah? Tanpa tahu harus mencari Lee Young ke mana, aku dan Changsub~hyung berjalan cepat meninggalkan halaman toko cokelat. Kami hanya berjalan berdua sambil memantapkan pikiran dengan hal-hal positif: setidaknya itu mengurangi kekhawatiran yang meledak-ledak dalam benak ini.
Lengang. Jalanan yang kami susuri begitu lengang. Tidak ada satupun kendaraan umum yang lewat, atau bahkan satu dua taksi. Lalu semakin ke sini, kami melihat kabut menebal di depan. Entah berapa lama lagi kami harus menyusuri jalan-jalan ini, yang pasti Changsub~hyung berulang kali mengecek ponselnya. Untuk apa? jaga-jaga jika nanti Youngi menelepon? Sampai di sinilah aku tidak memahaminya. Bagaimana seorang tunawicara menghubungi Lee Changsub lewat telepon ketika Young bahkan tidak punya ponsel? Akankah ia meminjam ponsel orang lain? Di jam ini?
Aku terlalu banyak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak penting alih-alih bertanya langsung pada laki-laki yang berjalan di sampingku. Di... samping? Lee Changsub tidak ada di sampingku! Ia berada agak jauh. Tangannya mengetik sesuatu, membuat kepalanya menunduk fokus tanpa menyadari bahwa langkahnya sudah menjauh: ia nyaris tertelan kabut. Lalu kulihat cahaya yang samar mendekat ke arahnya. Sialan. Kilatnya mendekat begitu cepat: kendaraan tengah melaju kencang, mungkin sebuah motor (?).
“Ya!! Lee Changsub! Minggir!!!” Aku meneriakinya. Kakiku berusaha secepat mungkin mencapai keberadaannya. Laki-laki yang terkejut itu hanya sempat menoleh padaku. Lalu…
Aku mengerjapkan mata berulang-ulang. Kurasa kabut di antara kami kian menebal. Aku berusaha mengenali siapa orang yang ada di sekitarku namun selalu gagal: mereka hanya tampak seperti bayang-bayang, siluet, kemudian nyeri menyeruak di dada kiri. Amat sangat sakit.
“Sungjae~ya! Yook Sungjae!!! Gwaenchana? Ya! Sungjae! Ya!!! Ge jasig! Meomcho!! Berhenti kau, brengsekkk!!!!” Kudengar panggilan-panggilan Changsub~hyung yang kemudian berganti menjadi makian-makian pada… pada apa? Apakah makian itu untukku juga?
“S..Sungjae~ya, gwaenchana, hm? Kau bisa mendengarku? Bangunlah, eoh?”
Bayang-bayang itu rupanya Changsub~hyung. Samar. Pelan tapi pasti, sosoknya lalu terlihat kian jelas: mata yang panik, gestur tangan yang gelisah, kening yang mengerut bingung, ekspresi khawatir, dan telinga yang memerah. Aku tidak mengatakan apa-apa meski nyatanya banyak pertanyaan di kepalaku. Lidahku kelu dan bibirku terasa kering: aku hanya berusaha bernapas dengan baik sambil menahan nyeri. Kemudian di bagian tubuhku yang lain kurasakan perih. Apa yang baru saja terjadi?
“Hyung? Gwaen…chana?” Ia memandang aneh padaku, sementara aku berusaha bangkit. Ah, aku lupa mengatakannya: aku tertelungkup di sisi jalan.
“Apa maksudmu menanyakan itu padaku? Justru aku yang ingin bertanya itu padamu. Kau baik-baik saja, eoh?” Changsub~hyung menopang tubuhku dengan lengan kirinya yang terlihat kokoh: lengan ini juga yang mungkin menjadi tumpuan kepala Lee Young ketika gadis itu terlelap tidur, sama seperti lengan halmeoni kala itu.
“Aku… masih hidup,” jawabku susah payah. Dadaku masih berdebar tak karuan. Ingatanku yang kacau pun sedang menyusun rentetan peristiwa-peristiwa kilat yang baru saja terjadi. Seperti mimpi, kadang sesuatu yang terjadi di luar kehendakmu dan berlalu begitu cepat, itu semua tak sempat terekam dalam memori. Benar, bukan? Kau boleh protes padaku jika perkataanku salah.
Untuk kesekiankalinya, aku ingin orang lain mengingat apa yang terjadi hari ini. Dan semoga… ini tidak hanya membeku sebagai sebuah harap.
~
Note:
Annyeong readers! Wah maaf banget ini updatenya terlampau malam wkwkwkwk di sini sinyal naik turun nggak jelas #eugh
Eottoke, guys? Makin bingung dengan hubungan masing-masing tokohnya? Eheqq... Nggak usah bingung, dinikmati aja #eakkk
Sampai jumpa di bagian selanjutnya, paiiiii 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] DARK CHOCOLATE ☑
Fanfic(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Pemuda pemilik toko cokelat yang ada di ujung jalan itu gelisah. Hari demi hari tokonya menjadi kian ramai dan secara otomatis ia membutuhkan seorang asisten. Namun, siapa yang mau bekerja di toko cokelat yang kecil...