DC - BAGIAN 5 [YOOK SUNGJAE]

198 41 24
                                    


Toko cokelat ini belum kubuka juga bahkan setelah tak kulihat lagi punggung kakak Lee Young, Lee Changsub. Baru saja ia memintaku untuk menemani adiknya pulang. Tanpa ragu aku menyetujui itu. Kupikir, untuk apa enggan berbuat baik? Lee Young~ssi adalah gadis yang sopan, akan sangat wajar jika kakaknya begitu memperhatikan dirinya, bukan?

Akhir-akhir ini tingkat kejahatan di sekitar sungguh tak dapat ditoleransi. Profesi sebagai polisi jugalah yang mungkin membuat Changsub~ssi merasa begitu terbeban. Aku memahami itu. Melihatnya setiap hari mampir ke toko cokelat sepulang kerja membuatku menyadari bahwa Young-i begitu berarti untuknya; juga bahwa ia masih belum memercayaiku, atau mungkin sama sekali tak memercayai orang lain.

Setiap orang hidup dengan kekhawatirannya sendiri, itulah mengapa (mungkin) kami tak sama: kekhawatiran kami tentang hal-hal, itu berbeda.

“Lee Young~ssi, apa yang begitu kau sukai?” tanyaku pada Young sambil mengelap kaca-kaca yang berdebu di sisi tertentu. Ia menoleh padaku, sedikit terkejut karena mendapati diriku tiba-tiba menanyakan hal-hal yang begitu ia suka. Buru-buru, dikeluarkannya catatan kecil dan bolpoin dari saku, lalu menulis: kakakku, kebebasan, dan suaramu.

Aku tersenyum seraya membaca jawabannya yang terakhir. Kukira ia akan menyukai hal lain seperti makanan, minuman, hobi, atau tempat yang indah. Ya, mungkin semua itu pasti ada, namun yang ditulisnya adalah… suaraku (?). Apakah aku terlalu tidak tahu diri menyanyikan lagu random sehingga membuatnya terpaksa mengatakan ‘menyukai suaraku’?

“Eung.. itu, ada apa dengan jawaban yang terakhir?” tanyaku sambil menatap wajahnya. Garis wajah yang halus itu berbeda dengan milik gadis Korea kebanyakan. Entah bagaimana aku menggambarkannya, wajah itu menyenangkan untuk dilihat. Ia juga pandai berekspresi.

Aku menyukai suaramu, Sungjae~ssi.” Sesaat Young lupa. Ia tiba-tiba menggerakkan kedua lengannya untuk membuat isyarat, lalu kemudian menyadari kesalahan kecil itu dan menuliskan kembali apa yang tadi dikatakannya dalam bahasa isyarat: lalu aku hanya tersenyum melihat ia salah tingkah.

“Mengapa kau begitu menyukai suaraku? Apakah ini semacam sarkasme? Sebuah upaya untuk membuatku berhenti bernyanyi sembarangan? Hehehe…” Aku menggodanya. Ia lantas tersenyum: senyum yang ditempa cahaya mentari—yang menembus kaca-kaca toko cokelat—itu begitu hangat. Lalu ia membalas: karena aku tak bisa melakukannya (bersuara), maka yang mampu kulakukan hanya mengagumi suara indahmu.

Maaf, tapi sungguh, gadis ini mengatakan semua tanpa menggubris perasaanku usai ia menyelesaikan kalimatnya. Aku kehabisan kata-kata. Jawabannya itu.. apakah itu yang akan dikatakan orang padaku jika kutanyakan hal sama? Jika tidak, bolehkah aku menilai Young-i sekarang? Pertanyaanku dijawabnya dengan sederhana dan apa adanya. Pertanyaanku selanjutnya, bisakah orang sepertinya berbohong?

“Ah, ternyata begitu. Boleh aku bertanya satu lagi? Umm… Youngi~ssi, pernahkah kau berbohong?” tanyaku. Ia menghentikan pekerjaan kecilnya, menoleh sebentar padaku dengan alis terangkat sedikit, kemudian aku buru-buru meralat pertanyaan tak penting itu karena sepertinya ini akan berakhir menyinggung perasaan, “Tidak, tak usah dijawab… abaikan saja yang barusan.”

Lee Young hanya tersenyum, lalu ia mengatakan sesuatu lewat bahasa isyarat: tanpa menuliskannya sama sekali—kali ini bukan kesalahan. Aku tahu ia betul-betul menjawab pertanyaan ‘tak penting’ yang kuajukan baru saja. Usai melihat gadis itu menyelesaikan gerakan isyaratnya, aku beringsut pergi: tanpa tahu mengapa tiba-tiba jantungku berdebar tak karuan.

Hari itu waktu tampak berlalu begitu cepat. Kami melakukan segala hal seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya: bahkan pelanggan datang dengan pesanan yang menggila. Sepertinya besok akan menjadi hari paling sibuk dalam minggu ini—kurasa. Toko kecil ini betul-betul kututup setelah senja menghilang dan petang menyapa. Bersama Young, aku berjalan menuju halte bus. Kami lebih banyak diam, ah, mungkin hanya aku. Benak bodohku tak mengerti mengapa diriku menjadi canggung berada di dekatnya. Aku bahkan tak bernyanyi sembarangan seperti yang biasa kulakukan dan hanya berfokus pada suara-suara angin yang berkolaborasi dengan deru mesin kendaraan menghias petang.

Lalu kami betul-betul berjalan menuju halte tanpa mengatakan apa pun. Lee Young juga terlihat sangat lelah, jadi akan lebih baik kalau kami menyimpan sisa tenaga agar sampai di rumah dengan baik. Sejauh yang kutahu, Changsub~ssi pernah mengatakan bahwa butuh waktu setengah jam perjalanan untuk sampai ke toko cokelat dari rumahnya jika menggunakan taksi dan delapan puluh menit jika menggunakan bus—tentu saja karena jalanan yang memutar.

“Kau baik-baik saja jika naik bus, Youngi~ssi?” tanyaku. Kami berjalan menuju halte karena tak jenak menunggu taksi yang tak kunjung lewat selama lima belas menit, sementara gadis ini harus cepat sampai di rumah. Kulihat matanya sudah memerah karena mengantuk.

“Gwaenchana~yo, Sungjae-ssi.” Ia menyodorkan catatan padaku.

Geuttae, kurasa kita harus naik bus yang berbeda dari yang seharusnya. Kudengar ada perbaikan jalan di beberapa jalur sehingga mengacaukan rute lalu lintas untuk sementara. Apakah kau masih baik-baik saja?”

Tidak apa-apa, Changsub Oppa pasti akan mengerti nanti,” jawabnya dalam catatan kecil itu. Baiklah aku mengerti. Setidaknya ia sudah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.

Kami berakhir duduk bersebelahan di bus yang nyaris penuh itu. Bus dengan nomor berapa pun yang ber-rute memutar, mereka semua berada dalam kondisi sesak karena pengalihan penumpang. Untung saja, aku dan Young masih mendapat tempat duduk: setidaknya kami dapat mengistirahatkan kaki yang sejak pagi sudah bekerja keras lari ke sana kemari untuk memenuhi pesanan, juga berdiri sepanjang hari karena keramaian.

“Lee Young-ssi, kalau kau mengantuk, kau bisa…” Aku tak melanjutkan kalimatku. Young sudah memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke kaca bus: gadis itu terlelap. Tampaknya ia betul-betul lelah hari ini.

Aku membiarkannya tidur seperti itu karena ia bahkan terlihat sudah sangat nyaman dengan posisinya. Kemudian sebuah pesan singkat masuk. Tertera di layar ponsel: petugas krematorium.

_
Yook Sungjae-ssi, kami akan memindah paksa abu mendiang Ny. Seon Kang Hee besok pagi. Maafkan kami. Ini kami lakukan sebagai upaya pendisiplinan administrasi.
_

Guci abu nenek akan dipindahkan paksa? Apa mereka gila? Tiga bulan lalu aku sudah membayar cicilannya. Mengapa mereka seperti ini lagi. Astaga…sekarang bahkan uang yang kumiliki untuk cicilan selanjutnya belum cukup.

Aku memandangi Young yang masih terlelap. Kuberanikan telapak tanganku menyentuh pundaknya pelan—agar ia bangun. Jika itu masih berhubungan dengan nenek, maka tubuh dan jiwaku tak bisa berdusta: ini tentang aku  yang benar-benar harus pergi menyelesaikan itu semua dengan segera.

“Lee Young-ssi, Youngi-ssi…maaf, aku harus mengurus sesuatu yang mendesak. Ini tentang keluargaku. Apakah kau baik-baik saja jika aku hanya menemani sampai di sini?” tanyaku. Gadis itu mengerjapkan matanya, mencoba mengerti apa yang kubicarakan baru saja, lalu mengangguk. Ia sempat menulis di catatannya: gwaenchana-yo, cepatlah pergi.

Hatiku gusar tentang dua hal: urusan abu nenek yang begitu kuhormati sepanjang hidupku dan tanggung jawabku menjaga amanah Lee Changsub. Namun, diriku hanya bisa melakukan satu dari dua. Maka aku betul-betul menghampiri sopir bus, mengatakan sesuatu yang betul-betul harus diingatnya tentang salah satu penumpang, kemudian turun di sebuah halte: menunggu bus lain yang akan membawaku pergi menuju krematorium dengan tergesa.

Naleul gidaligo, Halmeoni…















Note:
😶😶😶
Eottoke?  Menurut kalian bagaimana kelanjutannya? Apakah Changsub akan menggila karena adiknya ditinggal Sungjae? Atau.... Hmmm 😏 kira-kira apa yg dipikirkan si Njae ttg Young? Apa sudah sedalam itu? Gimana, guys?
Sampai jumpa besok 💙

[2018] DARK CHOCOLATE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang