Kau tahu? Hari paling melelahkan adalah hari ketika kau berada dalam sebuah penantian yang tak pasti. Saat itu terjadi, kau bahkan tak merasa lapar atau haus, namun tubuhmu seolah lelah tiada henti. Seluruh persendian tulangmu akan terasa nyeri, beberapa bagian tubuhmu mungkin menjadi lebam ungu kebiruan, dan rasanya kau hanya ingin sesegera mungkin merebahkan tubuh di atas kasur empuk yang menanti setia di rumah. Bukankah demikian kira-kira gambarannya? Aku mengalaminya hari ini.Aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, pun juga melakukan penyelidikan, terjun langsung ke lapangan bersama timjang-nim dalam misi penyelesaian kasus penculikan. Pelaku penculikan itu bukanlah orang yang sama: kukatakan itu berkali-kali, dan akhirnya dengan seluruh upaya yang kumiliki aku berhasil membuktikan asumsiku. Dan kami tengah duduk diam di balik kemudi mobil sambil menunggunya—penculik itu. Menurut kabar terakhir yang kami dengar beberapa menit lalu, lokasi si penculik tidak berubah. Ia masih di tempat yang sama dan kami pun belum beranjak dari dalam mobil.
“Sunbae-nim, boleh aku pergi ke mini market sebentar?” tanyaku. Aku sudah tak tahan lagi. Ini jam ke Sembilan kami berada di dalam mobil dan bernapas dengan oksigen minim. Sialan bukan?
“Ya! Kau mau apa? Mau curang, ya? Sejak kita berada di dalam sini, kita belum makan apa-apa. Kau mau mendahuluiku makan sementara aku tetap berada di sini seperti kambing bodoh, eoh?” tanyanya sambil berbisik.
“Anieyo. Aku sudah tidak tahan untuk buang air kecil, Sunbae. Jebal. Kau mau aku buang air di sini???” tanyaku balik sambil memasang wajah garang. Sungguh, mungkin takkan sampai semenit untuk semua yang tertahan itu meluncur bebas. Aish.
“Kau gila????!!! Ya, sudah, cepatttt!!!! Aku akan menunggu di sini. Jika kau melihat dia, segera hubungi aku lewat handy-talkie, araseo?”
Aku hanya mengangguk lalu buru-buru membuka pintu mobil dan menghirup udara sejuk di luar. Secepat kilat kakiku meluncur ke barat, arah mini market yang kemarin sempat kami lewati sebelum sampai ke lokasi pengintaian. Ah, ya, apa yang kau lakukan ketika kau hanya punya satu waktu untuk pergi ke toilet? Hanya buang air kecil? Atau justru memanfaatkan waktu untuk buang air besar sekalian karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan? Tolong pertanyaan yang baru saja ini kau jawab dalam hati saja. Aku tengah memikirkan hal itu ketika kakiku melangkah cepat—seperti berlari—menuju mini market.
Selama berada dalam bilik toilet pun bahkan aku masih memikirkannya. Jika aku memanfaatkan waktu untuk melakukan keduanya, Kim Sunbae akan terlalu lama menunggu dan mungkin saja pelaku penculikan itu tak tertangkap mataku. Namun jika aku memutuskan untuk buang air kecil saja, apa yang terjadi ketika waktu pengejaran tiba dan aku merasa perutku tak bisa kompromi? Lalu aku berakhir buang air kecil saja: semacam belajar bijaksana dan tak memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi dengan susah payah.
Kau lihat? Aku bertingkah seperti biasanya padahal kemarin telingaku baru mendengar hal-hal tak terduga dari Yook Sungjae. Kucoba bersikap senormal mungkin karena aku harus bekerja, namun memori otakku tak bisa berhenti menampilkan sejumput ingatan tentang hari kemarin. Bukankah ini agak konyol?
“Jamkanman-yo, Changsub-Hyung. Aku tahu ini sangat bodoh dan kekanakan, tapi bisakah… kau biarkan aku sendiri yang memberitahu Youngi-ssi?” tanyanya menghentikan langkahku yang hendak keluar dari laboratorium kecil di balik rak buku resep.
“Kau mau mengatakan kebohongan lain untuk menutupi kebohonganmu yang ini, Yook Sungjae? Ini sulit… untukku. Kumohon, jangan pernah temui Young lagi setelah ini, eoh?”
“Hyung, jebal. Aku tahu permasalahan yang tengah kau pikirkan sekarang. Jika kau memang betul-betul tak mau aku menemui Young, setidaknya biarkan aku membantu kalian menemukan jalan keluarnya, hm? Aku tak punya niatan untuk melakukan kebohongan apa pun, Changsub-Hyung…” Kata-katanya itu nyaris membuat hatiku meluluh. Anak itu terdengar tulus, namun lagi-lagi aku tak bisa begitu saja memercayainya. Mengapa? Karena aku masih belum bisa menerima ceritanya.
“Kau tahu apa tentang kami, eoh?!” Aku menyangga kalimatnya.
“Kau bekerja keras mengubah statusmu dari petugas kepolisian menjadi detektif agar gajimu naik dan kau bisa mendaftarkan Youngi untuk operasi. Aku benar, kan?” Sejenak, aku ingin memukul Yook Sungjae dengan kepalan tanganku. Entah mengapa meski jawabannya itu benar, hatiku merasa agak tersinggung. Iya, jawaban itu memang benar adanya. Lalu apa? Setelah ia tahu hal ini, apa yang akan dilakukannya? Aku bahkan sudah tak memercayainya lagi.
“Eoh, benar. Lalu apa?”
“Tolong biarkan aku berkata jujur padanya, Hyung. Jika memang aku harus dihukum karena menutupi segala sesuatunya, biarkan kuterima hukuman itu sendiri. Tapi jangan Youngi. Aku... aku tidak apa-apa jika pada akhirnya tersingkir dari ingatan itu. Namun setidaknya.. aku baik-baik saja karena pernah mampir di hari-hari kalian.
“Changsub-Hyung, aku hanya ingin membantumu dan Young. Biaya operasi itu mahal. Hanya sekali. Aku memintamu percaya padaku sekali lagi. Operasi Young nanti, biar aku yang melakukannya.” Aku mengerutkan kening, berbalik ke arahnya, lalu sekali lagi berjalan menghampiri bocah yang terlihat sangat percaya diri bahkan dalam nada suaranya itu.
“Mwo? Apa yang kau katakan baru saja? Kau bilang akan mengoperasi Youngi? Ya! Kau … beberapa saat lalu kau mengaku bahwa dirimu dokter ahli syaraf, tapi sekarang kau mau mengoperasi Youngi? Youngi yang terkena kanker pita suara. Berapa banyak lagi kebohongan dan dusta yang kau pupuk dalam ingatanku, Yook Sungjae?” Aku hendak berhenti mendengar bualannya.
“Aku bisa melakukannya, Hyung.”
“Tutup mulutmu! Jangan pernah kau sentuh Young. Sedikitpun… jangan.”
“Bagaimana jika… setelah mengoperasinya… aku yang pergi menjauh? Kau akan memperbolehkannya, Hyung?” Aku tercekat. Bocah bodoh ini tak berhenti berusaha. Sungguh.
“Kenapa kau bersikeras melakukan segala hal? Aku sudah mengatakan bahwa aku takkan memercayaimu lagi. Tapi kenapa? Kenapa kau tak menyerah, hm? Kau menyukai Youngi? Kau menyayanginya? Wae? Katakanlah padaku, Yook Sungjae.” Kutatap matanya tajam. Ia juga melakukan hal yang sama, bedanya, tatapan mata itu teduh tanpa memiliki tendensi kebohongan.
“Eoh, aku menyukainya. Aku menyukai Youngi. Aku bersikeras melakukan operasi itu karena berada di posisinya sekarang tidaklah mudah…”
Aku menghentikan ingatan-ingatan itu ketika kudengar Kim Sunbae berteriak. Ah, aku sudah berada dekat dengan mobil ketika kulihat sekelebat bayangan yang berlari bersimpangan denganku—itu si penculik. Spontan tanpa memikirkan apa pun kusentak tulang keringnya dengan kakiku, ia jatuh tersungkur di muka jalan. Beberapa saat kemudian, ia berusaha kabur lagi, namun dengan terampil aku justru melingkarkan borgol di salah satu pergelangan tangannya dan memasangkan yang lain di pergelangan tanganku.
Aku sudah mengatakan itu sebelumnya—bahwa penculik dalam kasus-kasus itu tidak sama. Kurang lebihnya, beginilah akhir dari penyelidikan dan pengintaian yang menyita waktu juga tenaga kami selama beberapa jam tanpa makan tanpa mandi. Lalu kudengar kabar bahwa tim yang tengah berada dalam penyelidikan kasus lain bersama timjang-nim juga berhasil menangkap pelaku penculikan. Kasus ditutup.
Ah, sampai di mana ingatanku yang tadi?
Note:
Annyeong readers! Good night. Hahahahaha i'm comeback 😀
How? It's really boring? I'm so sorry ghahaha...
Aku akan mengakhiri work ini dalam beberapa part lagi. Kalian mau ending yang bagaimana, gaes? 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] DARK CHOCOLATE ☑
Fanfiction(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Pemuda pemilik toko cokelat yang ada di ujung jalan itu gelisah. Hari demi hari tokonya menjadi kian ramai dan secara otomatis ia membutuhkan seorang asisten. Namun, siapa yang mau bekerja di toko cokelat yang kecil...