DC - BAGIAN 6 [LEE YOUNG]

180 41 56
                                    


Entah berapa lama aku terlelap, yang pasti mataku asing dengan pemandangan di sekitar. Ini masih di dalam bus, masih ada beberapa orang yang duduk dengan tenang sambil terkantuk, tapi sungguh: aku merasa sudah terlalu jauh dari rumah. Di kiri, aku tak mendapati Sungjae Oppa. Ah, aku ingat saat ia membangunkanku dan mengatakan bahwa dirinya tak bisa menemani sampai rumah karena ada sesuatu yang mendadak harus diurusnya.

Kemudian satu persatu penumpang yang tersisa turun. Mereka telah sampai di tujuan. Sementara aku? Aku masih belum tahu di mana keberadaanku sekarang. Semua orang yang berada di sekitarku tampaknya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sehingga bahkan jika aku bertanya, mungkin mereka tak dapat betul-betul menjawab dengan sungguh. Aku juga sangsi bahwa orang-orang seperti mereka respek akan keberadaanku—seperti yang selalu oppa katakan.

Orang dewasa selalu berpikir dan melakukan hal-hal sulit yang membuat mereka kadang bersikap kekanakan. Karena itulah tak jarang aku memikirkan tentang bagaimana jika aku tetap menjadi anak-anak. Namun Changsub Oppa menambahkan kalimat lain setelahnya, “Tapi aku tak ingin kita mengulang masa kecil itu, Youngi~ah. Terlalu sulit. Jadi, seberapapun merepotkannya hidup sebagai orang dewasa, itu semua jauh lebih baik. Bahkan jika kau merasa tak mampu, maka yang harus kau lakukan hanya berpura-pura berpikir seperti orang dewasa, hm?” Setelah mendengar cerita oppa yang panjang itu, aku hanya berharap kebahagiaan yang kami dapatkan saat ini bukanlah kepura-puraan belaka: karena kami beranjak dewasa.

Bus makin sepi, aku memberanikan diri mendekat pada sopir—memutuskan turun di sini karena tahu betul bahwa jika diriku bersikeras tetap duduk, maka kendaraan ini pun juga akan membawaku lebih jauh dari rumah. Dan jalan-jalan ini terlihat begitu asing. Ahjussi yang tengah menenggak kopi dalam botol air mineral itu lalu menyadari keberadaanku di dekatnya.

“Ada apa, Ahgassi? Apakah kau mau turun?” tanyanya.

Ya, Ahjussi. Aku turun di sini saja. Sepertinya daerah rumahku sudah terlewat jauh.” Aku menuliskan kalimat itu dalam catatan kecil dan menyodorkannya di depan sopir bus.

Eoh, sesange!! Maafkan aku, Ahgassi. Aku lupa pesan pemuda itu. Dia mengatakan bahwa aku harus menurunkan salah satu penumpang di daerah Ilsan karena kemungkinan kau masih tertidur. Aigoo, jigeum eottoke?Ahjussi itu terlihat betul-betul menyesal karena telah melupakan pesan penting: yang pasti itu dari Sungjae Oppa.

“Gwaenchana, Ahjussi. Aku bisa mencari taksi di daerah sini.

“Tapi ini sudah hampir larut…”

Iya, tak apa-apa. Lagipula Ahjussi harus melanjutkan perjalanan. Masih ada tiga penumpang yang belum sampai di tujuannya. Tidak mungkin kita berbalik, bukan? Naneun gwaenchana-yo.” Aku mengambil kembali catatan kecil yang dipegang oleh sopir bus, lalu membungkuk sedikit: pamit, lalu turun dari bus.

Langkah panjangku menyusuri jalanan yang sepi itu tampaknya akan berakhir dalam waktu yang lama. Beberapa saat lalu—ketika masih di dalam bus—aku sempat melihat beberapa taksi lewat, namun ketika diriku sudah benar-benar turun, tidak ada satu taksipun yang menampakkan diri. Apakah yang kulihat tadi adalah taksi terakhir?

Bruk.

Aku tiba-tiba terdorong ke belakang dan terjatuh. Ada sesuatu yang menabrakku baru saja. Sesuatu itu… entah datangnya dari mana. Sejak tadi aku selalu kurang fokus: terlalu lelah.

Noona! Noona! Dowajuse-yo… jebal…” Seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun berada tak jauh dariku. Ia lalu mendekat dan memegang jaketku dengan jari-jarinya yang kecil: itu terlihat kotor, bahkan di sela-selanya ada luka yang merembeskan darah. Spontan aku menanyainya dengan bahasa isyarat: wae geurae?

Noona, kenapa diam saja? Tolong aku...hm? Mereka mau membawaku, Noona,” katanya lagi. Aku bisa melihat raut wajah ketakutan dari sana. Sepasang matanya yang was was bahkan kini sudah basah air mata. Tangannya gemetar. Sontak ingatanku melayang pada waktu itu: sebelas tahun lalu. Ini… situasi ini sama persis seperti…

___

“Eomma, jebal!!! Jangan pukul Youngi… jangan! Ia tidak tahu apa-apa…Anak laki-laki itu terus memohon sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman laki-laki paruh baya yang disebutnya ‘Appa’.

Anak bisu ini tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik, Changsub~ah! Kau juga! Jika kau tahu adik tidak bergunamu ini enak-enakan tidur di saat harus bekerja, maka kau mestinya memarahi dia!” Mata wanita itu berkilat-kilat sementara Young kecil hanya menangis tanpa suara: disaksikan belasan anak lain yang meringkuk dekat-dekat satu dengan yang lain sambil gemetaran.

“Andwae… andwae… Eomma dan Appa boleh marah padaku, tapi jangan pukul Youngi, jebal. Aku akan menggantikan posisinya, eoh?”

Bulir bulir air mata menetes di pipi kakakku sebelum ia benar-benar dipukul sampai hampir mati. Ia dipukul dengan brutal di hadapan kami semua yang hanya bisa ngilu menyaksikan tubuhnya yang terluka dan menahan tangis acapkali dirinya berteriak kesakitan. Tiga hari. Oppa-ku seperti orang mati selama tiga hari. Ia tidak kunjung terjaga, tidak makan, bahkan tidak minum. Bibirnya kering, pecah, pucat.

Anak itu sudah mati. Buang saja. Tak berguna.” Laki-laki yang selama lima tahun terakhir kami panggil ‘Appa’ mengatakan hal-hal kejam tentang kakakku. Tapi akan lebih baik begini. Setidaknya, jika memang ia akan dibuang, ia tak dibunuh, juga aku akan ikut bersamanya: karena aku bisu dan tak berguna.

Buang juga anak bisu ini. Entahlah. Sama sekali tak menguntungkan memberi makan mereka selama ini.”

Malam itu, aku dan Changsub Oppa dibawa pergi—terpisah dengan yang lain. Mataku ditutup, sementara tubuh kakakku dibiarkan begitu saja. Kami berdua diseret ke tengah hutan. Aku tahu itu: suara-suara hewan malam sangat khas. Ketika diriku berhasil melepas penutup mata, kakiku segera berlari menuju tubuh anak laki-laki yang terkulai tak jauh dari sana: wajahnya membiru.

“Oppa… Oppa… ireona! Oppa, jangan mati…” Seberapa keraspun teriakanku dalam hati, tak ada satupun orang mendengar. Aroma malam hanya menangkap suara isak tangisku saja: hanya itu.

___

Tanpa berpikir panjang, kuraih tangan kecil yang makin gemetar kedinginan itu. Aku menariknya agar mengikuti langkah lariku. Tanpa bersuara, kami meninggalkan jejak suara alas kaki yang ringan memecah malam. Sejauh mungkin. Aku ingin membawa anak ini sejauh mungkin dari ‘orang-orang’ yang hendak membawanya: meski nyatanya tak kutahu ini di mana. Kemudian tak sengaja aku mengulang situasi dan kondisi belasan tahun lalu. Ini akan menjadi malam yang panjang.

Changsub Oppa, bagaimana aku akan menghubungimu sekarang? Anak ini…aku ingin membuatnya bahagia dengan masa kecil itu. Jangan marah pada siapapun, jebal: karena aku akan mencari cara—cara apa pun—untuk terhubung denganmu sekalipun aku bisu.
















Note:
Annyeong, readers. Tiga part sudah author publish secara maraton yak sejak Jumat. Wah gimana nih? Sekarang pada tahu kan alasan kenapa Changsub sikapnya begitu :")
Nah, bagaimana kelanjutannya? Sampai jumpa Minggu depan. Tapi Minggu depan author blm tahu update weekend atau nggak karena mau liburan #ehhh pokoknya stay aja yah.. 😂💙 salam sayang #chu

[2018] DARK CHOCOLATE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang