Pagi itu seperti biasa, setelah urusan sarapan dan bersih-bersih selesai, Dewi dan Lana duduk di gazebo dekat mushola. Suami mereka telah berangkat ke kantor. Dewi mengaji tanpa membuka Al-kitab. Di sebelahnya, dengan sebuah mushaf terbuka di depannya, Lana menyimak dan mengoreksi bacaan Dewi.
"Wa ulaaaaika humul faaaaizuun, Shodaqollahhul adzim. Alhamdulillah juz 10 sudah. Satu juz dulu aja, Kak. Kasian Kak Lana dan dedek bayinya capek," kata Dewi sambil tersenyum.
"Terserah Dewi aja. Ya udah kakak istirahat dulu, ya. Lalu kakak akan memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Mumpung hari ini kakak nggak ada jadwal mengajar."
Setelah Lana pergi ke kamarnya di lantai satu, Dewi tak langsung istirahat. Ia memutuskan melanjutkan tulisannya yang kemarin tertunda. Dewi memang suka menulis, ia menulis apa saja di buku diari. Mulai dari resep memasak, catatan harian, cerpen juga puisi.
Tak lama setelah itu, ia menaruh pulpen dan bukunya dan kembali membuka mushaf. Tak ada capeknya Dewi mengulang dan membaca kitab suci itu. Perempuan itu tidak tahu ada sepasang mata elang mengamati dari balik jendela sebuah kamar di lantai dua rumah sebelah. Siapa lagi kalau bukan Zahid.
"Rupanya Dewi itu hafal Al-Quran," gumam Zahid. Mata pemuda itu tak lepas memandangi Dewi yang sedang membaca Al-Kitab. Itu adalah kesimpulan yang diambil Zahid setelah seminggu ini mengamati gerak-gerik mereka. Ia semakin kagum pada sosok istri pertama Pak Wirya itu.
Tiba-tiba ada seorang perempuan tua memanggil dan menghampiri Dewi.
"Shodaqollahhul adzim." Dewi menghentikan bacaannya. "Iya ada apa, Bi Sum?" tanyanya pada perempuan itu.
"Itu, Bu. Tempo hari si Nanang cerita kalau ada Mas-mas tetangga sebelah mencari Bu Lana. Apa Bu Dewi kenal?"
"Saya belum kenal, Bi. Bibi kan tahu, saya kan jarang keluar rumah kalau nggak penting banget. Saya lebih suka di sini sambil membaca dan mengulang hafalan qur'an. Tidak banyak laki-laki yang saya kenal. Coba nanti tanyakan langsung sama Bu Lana, tapi sekarang dia kayaknya sedang istirahat."
"Iya nanti Bi Sum tanya langsung sama Bu Lana. Bu Dewi memang perempuan cantik, sholihah, hafal qur'an lagi. Pantas Pak Wirya sangat mencintai dan memilih Ibu jadi istrinya," puji Bi Sum.
"Eh, Bi Sum jangan terlalu memuji, ah. Saya biasa aja, apalagi saya ini mandul, Bi. Udah lima tahun menikah dengan Mas Wirya tapi Allah belum memberi kami keturunan. Kata dokter ada masalah di rahim saya." Dewi menitikkan air matanya.
"Aduh maaf, saya tak bermaksud membuat Bu Dewi sedih." Bi Sum menyesal.
"Nggak apa, Bi. Saya belum bisa memberi kebahagiaan pada mas Wirya dengan kehadiran anak. Jadi wajar kalau dia menikah lagi dengan perempuan lain."
"Aduh, Bu Dewi yang sabar, ya. Mungkin suatu saat Allah memberi keturunan." Hibur Bi Sum.
"Amin. Tapi saya senang kok sama Kak Lana, ia baik dan menyayangi saya layaknya adik sendiri. Saya juga ikut bahagia Mas Wirya akan punya anak walau bukan dari rahim saya." Dewi meraih mushafnya dan membaca lagi perlahan. Air matanya terus mengalir.
Sepasang mata di balik jendela masih lekat memperhatikan Dewi. Zahid, si empunya mata meraba-raba apa sih pembicaraan istri pertama pak Wirya itu dan pembantunya.
"Jadi setegar apapun seorang perempuan yang dimadu, hatinya pasti akan terluka." Zahid menatap Dewi dengan penuh iba.
Tapi Zahid sedikit lega. Dewi melampiaskan kesedihannya dengan membaca Al-Quran. Selama ini ia menyaksikan teman-teman perempuannya, bila sedang sedih atau sakit hati, mereka akan menangis meraung atau lari pada minuman keras. Diam-diam kekagumannya bertambah pada perempuan itu.
Tiba-tiba Zahid merasa aneh. Buat apa ia memperhatikan kehidupan orang lain? Buat apa ia mengamati istri orang? Matanya terus menatap Dewi, namun hatinya merenungi kehidupannya sendiri. Zahid yang suka dugem. Zahid yang suka gonta-ganti pacar.
Ia merasa ada yang berubah di hatinya setelah bertemu Lana, perempuan cantik berhijab istri orang yang sedang hamil. Apalagi ketika melihat Dewi, perempuan yang menghabiskan hari-harinya dengan membaca dan menghafal Al-Qur'an serta menulis itu.
Keluarga Pak Wirya tak menyadari gerak-gerik mereka ada yang mengintai. Sungguh Zahid sangat penasaran dengan gaya hidup keluarga itu. Sejauh ini ia tak pernah mendapati mereka berantem. Sehari-hari keluarga itu sering menghabiskan waktu luang mereka dengan membaca, mengaji atau menulis. Bahkan ia sering melihat Dewi jatuh tertidur di gasebo depan mushola sambil memegang mushaf.
Ah, bagaimana bisa Pak Wirya menyatukan mereka dalam satu rumah. Bagaimana bila ia ingin berhubungan badan dengan salah satu istrinya? Oh,...! Zahid menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sesaat Zahid tak memikirkan urusan perusahaan seperti yang diharapkan mamanya sepeninggal sang ayah. Toh di kantor telah ada susunan pegawai yang telah solid. Untuk sementara ini ia bisa memantau keadaan kantor melalui telepon, WA dan email. Ia kini sedang asyik mengamati keluarga tetangga. How i get a someone like Dewi?
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...