Sudah tiga hari Wirya dan Lana berada di Batu. Wajah Wirya tampak puas dengan meeting kali ini karena dua proyek besar berhasil ia menangkan. Kini, mereka bersiap-siap untuk kembali ke Malang. Begitu pula wajah Lana tak kalah berseri-seri, ia senang bisa mendampingi sang suami pada meeting yang penting ini. Sedan Accord yang dikemudikan Wirya melaju pelan meninggalkan hotel. Di luar, gerimis tipis mengiringi perjalanan mereka.
Meski tampak tersenyum, sebenarnya hati Wirya saat itu sedang galau memikirkan Dewi di rumah. Benar, meeting kali ini sukses, tapi ia belum bisa merasa adil pada istri pertamanya itu. Ketika ditinggal pergi, wajah Dewi masih terlihat murung. Ia jadi kasihan padanya, seorang istri yang cantik dan setia.
Memori Wirya terbang pada masa enam tahun yang lalu ketika dia pertama kali bertemu Dewi. Dewi adalah keponakan kyai-nya di Tuban. Memang, sejak usia duabelas tahun Wirya yang asli Malang dikirim oleh orangtuanya untuk nyantri di sebuah Pondok Pesantren di Tuban dibawah asuhan Kyai Abdul Hakim. Selain nyantri untuk belajar agama, Wirya juga sekolah tingkat SMP dan SMA di sekolah umum. Jadi ketika lulus dari pesantren dan merantau ke Jakarta untuk kuliah, Wirya memilih jurusan Teknik Sipil dan diterima di sebuah Universitas ternama Ibukota. Di Jakarta, selain kuliah Wirya juga merintis usaha jasa arsitek dan kontraktor bersama seorang rekannya dari jurusan arsitektur.
Ketika lulus, ia memutuskan kembali ke Malang untuk menjaga ibunya yang sudah tua. Usaha yang mulai berjalan di Jakarta itu ia serahkan pada rekannya lalu ia memulai usaha baru yang sejenis di kota kelahirannya ini. Berkat keuletannya usahan itu kini maju sekali.
Enam tahun lalu, ketika mendapat proyek pembangunan sebuah gedung di Tuban, Wirya menyempatkan diri sowan pada Kyai Hakim.
"Alhamdulillah kau sukses sekarang, Wirya." Kyai Hakim tersenyum lebar menyambut mantan santrinya yang semasa di pondok dulu paling rajin membawakan kitabnya itu.
"Alhamdulillah Kyai, berkat doa panjenengan." Wirya mencium tangan kyainya takzim.
"Kau sudah berkeluarga belum?" selidik Kyai Hakim setelah beberapa lama mereka mengobrol ngalor ngidul melepas kangen.
"Ndereng, Kyai. "
"Mau nggak aku jodohkan dengan seseorang?"
Wirya tertunduk malu. Sebenarnya masalah jodoh ini adalah termasuk salah satu tujuannya sowan ke ndalem Kyai Hakim, siapa tahu kiyainya itu memiliki solusi. Umurnya kini telah cukup untuk membina rumah tangga.
"Ditanya kok diam saja?" Kyai Hakim terkekeh melihat Wirya menundukkan wajahnya. "Aku punya keponakan. Ia yatim piatu sejak kecil. Sekarang berusia 18 tahun. Sehari-hari ia hanya berada di pesantren bahkan ke pasar atau Mall pun dia belum pernah. Ia selalu sibuk dengan Al-Qur-annya," lanjut Kyai Hakim. Matanya menerawang memandang asrama santriwati yang hanya terlihat atap di kejauhan.
Wirya takzim mendengarkan. "Sendiko dawuh, Kyai."
"Mengenai wajah dan fisik, menurutku ponakanku ini sungguh cantik dan lembut. Untuk lebih jelasnya kau harus melihatnya sendiri."
"Injih, Kyai."
Keesokan harinya, Kyai Hakim mempertemukan Wirya dan keponakannya itu.
"Oya, satu lagi Wirya, setelah kau melihatnya nanti dan bersedia menikahinya, kau harus berjanji untuk menjaganya baik-baik. Di dadanya ada Al-Quran. Bila kau menjaganya, maka berarti sama saja kau menjaga hafalannya. Jangan kau berikan dia pada dunia." Sekali lagi kyai Hakim memberikan wejangan terkait gadis tersebut.
Wirya mengangguk takzim.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah ada bu nyai Hakim dan seorang gadis bercadar. Awalnya Wirya merasa aneh melihat perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...